Pemiskinan Berkedok Kontrak Tambang

(dimuat di Koran Sindo, 11 Oktober 2011)

Kita semua tahu bahwa Indonesia adalah negara kaya, namun kita juga sama tahunya bahwa hanya segelintir orang yang mampu menikmatinya. Saya jadi teringat sejarah, betapa Bung Karno menginginkan bangsa Indonesia mandiri dan mampu mengelola sumber daya alamnya sendiri.

Bukan seperti sekarang ini,yang cenderung menjadi budak. Siapa yang tidak tahu film Laskar Pelangi yang diadaptasi dari kisah nyata, bapaknya Ikal merupakan potret buram dunia buruh pertambangan. Penduduk lokal hanya menjadi semacam sapi perah yang dibayar tidak sepadan. John Pilger dalam bukunya yang berjudul The New Rulers of the World (2002) menyebutkan bahwa ada semacam penguasaan ekonomi Indonesia oleh kekuatan asing dalam konferensi di Jenewa pada 1967.

Konferensi di Jenewa tersebut menjadi titik awal, yang kemudian menentukan nasib ekonomi bangsa kita selanjutnya. Disebutkan pula bahwa ada proses pembagian atau pos-pos sumber daya alam dengan proses tawar-menawar, tanpa mengindahkan asas ekonomi kerakyatan yang cocok untuk bangsa Indonesia.

Sebut saja Freeport, yang kemudian mendapatkan pos yang kaya akan tembaga di Papua Barat, lalu konsorsium Eropa mendapatkan nikel di Papua Barat dan Alcoa mendapatkan sebagian besar bauksit di Indonesia. Lahirnya UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang disusul dengan UU No 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan serangkaian perundang-undangan dan peraturan beserta kebijakan-kebijakan yang sangat jelas menjurus pada liberalisasi.

Kalau kita perhatikan bidang-bidang yang diminati dalam melakukan investasi besar di Indonesia,perhatian mereka tertuju pada pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia yang produknya untuk mereka, sedangkan bangsa Indonesia hanya memperoleh pajak dan royalti yang sangat minimal.

Seharusnya dalam kesepakatan kontrak tambang ada renegosiasi yang menguntungkan rakyat, dan pemerintah baik pusat maupun daerah harus lebih mementingkan rakyat.Alih-alih menjadi tuan di negeri sendiri, rakyat justru menjadi kacung. Penjajahan telah mengalami modernisasi dan dijalankan secara lebih halus tetapi perampokan dalam skala besar dan dijalankan dengan apik serta menggunakan teknologi canggih.

Rakyat dibiarkan bodoh dan tidak diizinkan untuk mengelola sumber daya alam di tanahnya sendiri. Mengutip pernyataan Mahatma Gandhi,“Bumi cukup untuk memuaskan setiap kebutuhan manusia, tetapi tidak untuk satu manusia yang serakah”Padahal, kekayaan yang melimpah ruah tersebut jika dikelola dengan baik mampu mencukupi hajat rakyat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi