Postingan

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Gambar
Kenapa perempuan bekerja? Begitu pertanyaan seorang kawan kepada saya. Saya bilang jawabannya kompleks. Tergantung kondisinya.  Ada perempuan bekerja karena harus bekerja. Ada sebagian lain yang bekerja karena ingin bekerja. Keharusan dan keinginan tentu dua hal yang berbeda.  Ada yang tak ingin bekerja, tapi dia harus bekerja. Ada juga yang tak harus bekerja, tapi dia ingin bekerja.  “Lalu, kenapa kamu bekerja?” desaknya.  Saya jawab, saya berada di kondisi harus dan ingin. Kenapa? Saya harus bekerja, karena saya butuh tempat piknik dari peran dasar perempuan. Saya ingin karena ada kebutuhan tempat piknik. Saya sering sakit kalau tidak beraktivitas dan hanya memikirkan satu hal yang sama secara konstan setiap hari.  Bagi sebagian perempuan ruang domestik tak cukup bagi mereka. Bahasa era milenium menyebut aktivitas itu sebagai aktualisasi diri.  Sebagian perempuan yang punya keharusan lainnya memiliki kasus berbeda. Terutama mereka para pejuang mandiri. Perempuan yang belum atau tidak

Arena Gembira di Kampung Damai

Kampung Damai tentulah bukan satu-satunya pesantren putri yang menerima santriwati dari penjuru Indonesia. Tapi, hanya di sini kita bisa lihat santriwati dari Madura dan Sampit bisa bersahabat erat. Mereka adalah Ainun dan Binti.  Ainun mengenal Binti saat keduanya sama-sama kehilangan ember di mansyar, area jemur dekat kamar mandi dua tahun lalu. Padahal, ember itu berisi cucian kotor mereka. Ember raib, cucian kotor teronggok di pojokan dekat pintu keluar.  Siapa saja yang pernah kehilangan ember berisi pakaian kotor pasti tahu betul bagaimana perasaan Ainun dan Binti. Kesal, sudah pasti. Geram, tentu saja.  “Padahal, baju pramuka akan dipakai dua hari lagi,” keluh Binti.  “Iya, aku pun kehilangan jubah hijau, cuma tersisa jilbabnya,” kata Ainun menimpali.  Dari ember, persahabatan mereka meluas. Mulai dari saling titip sajadah jika salah satu terlambat ke masjid atau ingin pergi duluan, gantian antri di dapur saat menu makan malam ayam, sampai saling berbagi makanan saat dapat kirim

Kisah dari Pesantren

Gambar
Bagaimana Gontor akan bercerita tentang dirinya?  Apakah tentang harapan membangun peradaban Islam dalam masyarakat Indonesia? Tentang impiannya melihat umat Islam bersatu dan merangkul semua golongan tanpa membedakan suku, ras, dan mazhab? Apakah tentang keinginannya melihat alumni berkiprah dan berkontribusi membangun negeri, menjadi politisi, pejabat, hingga diplomat? Atau cita-cita sederhana, keinginannya mencetak alumni berdikari, berdiri di atas kaki sendiri mampu membangun usaha yang meski kecil namun mampu menciptakan lapangan pekerjaan?  Apakah ia akan bercerita tentang semua itu?  Atau ia berangkat dari titik paling pribadi mereka yang bermukim dan menimba ilmu di sana?  Sebab, Gontor juga merasakan kekhawatiran saat kamu menginjakkan kaki pertama kali  menggotong tas yang berisi baju-baju dan makanan kering sebagai bekalmu. Kamu makin khawatir saat barang bawaanmu ternyata harus melewati bagian penyortiran.  Ia juga melihat senyummu saat keluar ruangan ujian lisan seleksi ca

Menghadapi Pudarnya Pertemanan

Gambar
Saya takjub betul meski baru menonton beberapa episode Hospital Playlist season satu. Betapa persahabatan di antara para dokter itu begitu sakral dan awet. Bahkan Indomie yang pakai pengawet pun punya tanggal kadaluarsa.  Saya jadi memperhatikan tren pertemanan saya beberapa tahun terakhir. Tidak ada perkelahian, tidak ada drama-drama, tidak ada pertemuan atau reuni rutin, tidak bertukar kabar kecuali ada sanak keluarga meninggal atau sakit parah. Banyak hal dalam pertemanan mulai memudar.  Saya pikir apa yang membuat para sahabat dokter di Hospital Playlist itu masih terus akrab karena mereka masih punya satu common interest : menyelamatkan nyawa manusia lewat operasi-operasi, yang keliatannya tak perlu tagihan. Sungguh mulia.  Kedua, mereka juga mulai menghangatkan kembali pertemanan yang hampir pudar dengan bekerja dalam satu tim dalam rumah sakit yang sama. Ketiga, mereka memaksakan diri untuk meluangkan waktu bermain band bersama. Itu juga awalnya terpaksa. Macam keluarga urban me

Membaca Masa Depan

Gambar
Saya kerap ngeri membayangkan masa depan. Entah kenapa. Konon, kengerian hadir lantaran ketidaktahuan seseorang. Ya, mungkin karena saya tidak tahu masa depan akan seperti apa. Penuh rahasia.  Kita pun tahu, hidup kita semua sekejap berubah drastis dengan kehadiran virus dan musim pagebluk tiada akhir ini mengubah cara kita bekerja, belajar, dan bersosialisasi. Entah kapan berakhir. Siapa yang tahu? Tak ada.  Meski kerap ngeri, saya selalu senang membaca buku yang berbau masa depan. Seperti buku Alvin Toffler yang terbit puluhan tahun lalu: Future Shock (Kejutan Masa Depan versi Indonesia). Tapi semakin saya baca dan tahu, justru saya semakin ngeri.  Era Gelombang Ketiga Toffler tak tahu banyak tentang Internet, tapi prediksinya tentang masa depan sangat luar biasa dengan membentuk mode keberadaan baru yang dia sebut "The Ad-hocracy”. Mode keberadaan ini mengubah dunia menjadi "dunia bebas" serta organisasi kinetik.  Dia juga memprediksi, hubungan kita dengan benda tidak

Work from Home: Harmonisasi Kehidupan Personal dan Profesional

Gambar
Pandemi memaksa kita bekerja dari rumah. Mungkin sebagian nyaman dengan cara kerja remote seperti ini, sebagian lain mungkin berjuang balancing antara tanggung jawab profesional dan tanggung jawab domestik. Mendampingi anak sekolah sambil monitor tim, dan mungkin sambil juggling other family demands . Banyak juga di antara mereka bisa jadi enggan mencampur kehidupan personal dan profesional.  Sebelum pandemi, para pekerja bisa memisahkan kehidupan pribadi dan profesional. Tapi sekarang, bekerja dari ruang privat di rumah dan melakukan pekerjaan atau profesi kita secara jarak jauh, mungkin bagi yang tak terbiasa akan kurang fokus. Lagi meeting tiba-tiba anak tantrum. Sedang menulis email penting tiba-tiba hewan piaraan naik ke atas meja dan menginjak laptop.  in between baby sitter, school tutor, and corporate slave Saya cukup mengerti kondisi semacam ini ketika kita sulit memisahkan antara kehidupan pribadi dan kehidupan profesional. Work-life balance memang penting. Tapi, saya juga

Business travel in the time of pandemic

As a corporate slave, I was very excited anytime I got any assignment to travel. To have a business trip was such a gift amid the routine we have behind our desk. Whether in my previous company mass media industry, or my current company. As a journalist I used to travel a lot. In my current company as well.  Like many of you, I haven't been on a train, plane, etc since March. We cancel our events and another trip plans. Due to my fear of contracting the virus, I also canceled family end year vacation plan.   But then, since the Covid vaccine produced and distributed and given us hope and a light at the end of what has seemed to be never-ending tunnel, people begin to assume that travel is safer now. As long as they are doing the protocols. Such swab test, masker on, wash hand frequently, and disinfect anytime they probably could.  Travel is on everyone's mind right now. So do on my office mate and teammate mind. Earlier this month, we were planning to have a kick-off meeting in