Postingan

Menampilkan postingan dengan label Perempuan

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Gambar
Kenapa perempuan bekerja? Begitu pertanyaan seorang kawan kepada saya. Saya bilang jawabannya kompleks. Tergantung kondisinya.  Ada perempuan bekerja karena harus bekerja. Ada sebagian lain yang bekerja karena ingin bekerja. Keharusan dan keinginan tentu dua hal yang berbeda.  Ada yang tak ingin bekerja, tapi dia harus bekerja. Ada juga yang tak harus bekerja, tapi dia ingin bekerja.  “Lalu, kenapa kamu bekerja?” desaknya.  Saya jawab, saya berada di kondisi harus dan ingin. Kenapa? Saya harus bekerja, karena saya butuh tempat piknik dari peran dasar perempuan. Saya ingin karena ada kebutuhan tempat piknik. Saya sering sakit kalau tidak beraktivitas dan hanya memikirkan satu hal yang sama secara konstan setiap hari.  Bagi sebagian perempuan ruang domestik tak cukup bagi mereka. Bahasa era milenium menyebut aktivitas itu sebagai aktualisasi diri.  Sebagian perempuan yang punya keharusan lainnya memiliki kasus berbeda. Terutama mereka para pejuang mandiri. Pe...

Normal Baru

Seorang sahabat datang mengeluh. Tentang cita-citanya yang tak kunjung utuh. Lalu kutanya: "memang apa cita-citamu?" Dia jawab, menikah.  Kutanya lagi. "Lantas, setelah menikah, apa cita-citamu?" Sederhana saja: ingin punya anak. Supaya dapat melanjutkan keturunan? "Bisa jadi," ujarnya.   Atau sekadar punya foto keluarga lebih utuh: ada ayah, ibu, dan anak. Setidaknya menurut versi orang kebanyakan.  Dia bilang, orang-orang di kampungnya menikah di awal usia 20-an. Dia kini berusia kepala 3. Sejawat ibunya kerap bertanya, kapan dia bercucu.  Aku kembali menegaskan, "apakah itu berarti cita-citamu adalah terlihat normal?"  Seperti orang kebanyakan. Tumbuh besar, menikah, punya anak, menghadiri wisuda, mengadakan pesta pernikahan dan mengundang tetangga hingga kolega. Syukur-syukur hidup sampai tua melihat cucu.  Dia jawab lagi, "bisa jadi." Melihat saja. Bukan merawat. Semoga si anak kelak bukan menjadi orang tua kelas pekerja kebanyakan...

Entrok dan Simbah

Gambar
sampul buku fiksi Entrok karya Okky Madasari. sumber: goodreads Saat pertama kali membaca buku fiksi berjudul Entrok, karya Okky Madasari beberapa tahun lalu saya langsung teringat pada Simbah. Meski latar dan plotnya berbeda, tokoh Sumarni selalu mengingatkan saya akan sosok Mbah yang meninggal ketika saya di pesantren. Novel yang mengangkat latar tahun 1950-an itu menceritakan kehidupan Sumarni, seorang perempuan yang bekerja di pasar sebagai pengupas singkong untuk bertahan hidup bersama ibunya. Tapi, dia tak puas hanya jadi tukang kupas singkong. Dia ingin jadi kuli seperti lelaki karena bayarannya uang, bukan singkong. Sebab, Sumarni punya satu keinginan: membeli Entrok atawa bra untuk payudaranya yang mulai tumbuh. Akhirnya dia mendobrak stigma dan menjadi perempuan pertama yang jadi kuli. Bermula dari daya juang itu, Marni punya uang lebih dari sekadar modal untuk beli Entrok. Dia piawai memutar uang dan melihat potensi usaha. Kepiawaian memutar uang dan melihat p...

Sulitnya berlaku adil sejak dalam pikiran[1]

Gambar
Riuhnya media sosial karena aksi demo 4 November. Buka Facebook, Twitter dan kanal-kanal media online riuh bukan main. Bahkan, grup chat di aplikasi WhatsApp penuh dengan opini para anggotanya. Semua orang seakan jadi yang paling tahu kejadian sebenarnya. Semua orang ingin agar suaranya di dengar. Yang suaminya ikut demo, istri ikut live report ke tetangga dan kawannya di grup. Siapa pun yang bisa dia jangkau dan bisa diajak berdiskursus perlu tahu pendapatnya. Yang ikut demo langsung, tak lupa selfie dan update di akun media sosialnya. Yang parah itu, (menurut saya) yang keluarganya tak ikut aksi, dia ikut mengabarkan apa yang (mungkin) sebenarnya dia tak tahu persis. Hanya memperkeruh suasana. Hanya agar dia dianggap. Dan (ini agak kasar, sih) dia tetap eksis di antara kerumunan [2] . sumber gambar: keepo.me Beberapa kawan tanya pendapat saya, soal pidato Ahok dan soal aksi demo lewat japri. Bah, berlebihan! Memang saya siapa? Hanya ibu satu anak yang gemar baca novel...

Saya dan Pernikahan

Gambar
Dalam hitungan hari, saya telah masuk ke gerbang kehidupan baru. Sebuah dunia yang memiliki dimensi berbeda dari dunia sebelumnya. Banyak yang terkejut dan bertanya kepada saya mengenai perasaan, kesiapan, bahkan pertimbangan memilih menikah.  Bagi saya pernikahan bukan melulu perihal kebutuhan biologis yang harus dipenuhi. Seperti pertimbangan kakek nenek kita zaman dahulu yang dinikahi begitu dianggap sudah dewasa dalam konteks reproduksi. Bukan juga seperti deadline yang harus dipenuhi ketika usia telah memasuki angka-angka tertentu. Saya memang anak kemarin sore yang memutuskan menikah di tahun yang sama dengan acara penyelenggaraan pernikahan. Tapi izinkan saya berbagi persepsi saya perihal pernikahan, minimal mengapa saya kemudian memilih menikah.  Saya pernah begitu takut menikah, padahal saya berasal dari keluarga harmonis dengan ayah ibu yang selalu bersikap manis. Tidak ada istilah broken home. I come from a sweet home. Kala itu, pernikahan bagi saya adala...

PEREMPUAN DAN MEDIA MASSA: Sebuah Potret Bias Gender di Media

Gambar
Melihat perkembangan media massa dengan segala teknologi dan perangkat digitalnya ada sebuah paradoks. Di tengah perkembangan perangkat kerasnya, ada konten yang tidak begitu dibangun secara positif oleh para pelaku industri media massa. Padahal konten merupakan pesan yang disampaikan dan bersifat lebih krusial dibanding peranti kerasnya.  Salah satu konten media yang banyak menuai kritik adalah konten yang menyangkut isu perempuan. Meski banyak kritik yang telah dilontarkan namun belum belum mengubah praktik media massa dalam menampilkan perempuan. Media massa masih memposisikan perempuan dalam posisi subordinat.  Jika membicarakan media massa dan perempuan kita perlu memetakan posisi perempuan sebagai konsumen media massa dan perempuan sebagai pelaku dalam industri media massa. Untuk ulasan yang komprehensif, penulis merasa perlu sedikit mengulas bagaimana mitos kecantikan berperan sebagai dasar pencitraan dan citra harapan dari kaum adam.  Mitos Kecantikan N...

Perda ‘Ngangkang’ Nirguna

Gambar
sumber:  http://alfredoelectroboy3.wordpress.com Awal tahun 2013 sebuah perda yang sedang digagas oleh Pemerintah daerah Lhokseumawe Aceh cukup menyita perhatian publik. Perda tersebut melarang setiap perempuan berkendara dengan posisi duduk ‘ngangkang’. Di tengah gagalnya sistem politik di tanah air, perda yang mendiskriminasikan perempuan menjadi bukti nyata bahwa dalam membuat kebijakan pun pemerintah masih belum dapat membedakan mana yang berguna, dan nirguna. Berkendaraan khususnya motor, menjadi keniscayaan di tengah gagalnya sistem transportasi kita. Tuntutan mobilitas pun membuat, bukan hanya perempuan tapi juga laki-laki, untuk menggunakan kendaraan. Namun anehnya perda yang dibuat oleh Walikota Lhokseumawe ini rencananya hanya diberlakukan kepada perempuan.  Stereotipe  Perempuan yang diharapkan pemerintah kota Lhokseumawe, (mungkin) adalah perempuan yang dapat tampil feminin dengan cara duduk yang menyamping. Dalam banyak kasus, kita kerap ter...