Catatan Kecil di Hari Buruh Internasional




Hari ini tepat pada tanggal 1 Mei adalah Hari Buruh Internasional yang biasa disebut May Day. Buruh dari berbagai Federasi buruh dan serikat pekerja turun ke jalan untuk menyuarakan tuntutannya. Saya ambil bagian menjadi pewarta untuk sebuah media online, dan ini pertama kalinya saya meliput sebuah aksi yang masif. Saya mengikuti para buruh yang melakukan longmarch sepanjang jalan Sudirman dari Senayan hingga bundaran HI. Dan hal yang paling menggetarkan adalah saat mereka berhenti dekat patung Jenderal Sudirman dan melakukan solat zuhur bersama. Saat azan berkumandang ada suatu perasaan aneh. Perasaan haru, sedih tapi juga kesal. Ada sesuatu yang berkecamuk. Perasaan yang seolah mewakili kegeraman atas gagalnya pemimpin bangsa ini membawa kami pada kesejahteraan.

Saya memang masih berstatus mahasiswa yang magang pada salah satu media massa online, meski demikian lingkungan saya dekat sekali dengan kehidupan buruh. Di belakang rumah saya ada kontrakan yang dihuni oleh para buruh yang berkerja di pabrik garmen dan elektronik. Dan ada juga teman, sahabat kecil saya yang kini bekerja sebagai buruh di pabrik otomotif. Belum lagi keluarga saya, seperti paman ipar saya dan sepupu saya.

Menjadi buruh memang sudah sistem yang mengaturnya. Contoh, ketika sahabat kecil saya itu tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi maka secara otomatis untuk menyambung hidup ia melamar pekerjaan dan bursa pekerjaan yang terbuka lebar adalah menjadi buruh yang bekerja di pabrik dan menggunakan shift. Jika pengetahuan keluarga tentang pendidikan minim, meski ia dari keluarga mampu, yang terpikir setelah lulus SMA adalah bekerja.

Hari ini para buruh menyuarakan tuntutannya yakni penghapusan sistem kerja kontrak, outsourcing yang disinyalir merupakan bentuk penjajahan baru, peningkatan kesejahteraan dengan menaikkan upah, komitmen pemerintah untuk jaminan sosial bagi kaum buruh, dan tanggal 1 Mei dijadikan hari libur nasional. Tapi rupanya Indonesia yang katanya negara Pancasila cenderung lebih kapitalis daripada Amerika. Di Amerika tanggal 1 Mei menjadi hari libur. Mungkin tanggal ini cenderung dianggap kekiri-kirian, jadi libur nasional itu hanya milik tanggal kanan seperti hari-hari raya agama, hari kemerdekaan, dan hari-hari lainnya. Buruh adalah kaum mayoritas yang dimarjinalkan. Diperas tenaganya dan dibuang ampasnya.


Saya jadi teringat sebuah film dokumenter yang dibuat oleh John Pilger ‘The New Economic Order’. Di sana disebutkan bahwa Indonesia negara kaya yang sedang dibentuk menjadi negara miskin dengan penduduk yang tidak memiliki kapasitas untuk bersaing di dunia globalisasi selain menjadi buruh yang bekerja pada perusahaan asing. Pemerintah Indonesia dengan sengaja membuat tarif atau upah pekerja murah agar menarik hati para investor. Selain itu, mereka terpaksa bekerja meski hanya dengan upah yang minim karena tingkat pengangguran sudah sedemikian tinggi. Jadi, daripada tidak bekerja lebih baik bekerja dengan upah yang minim.

Sangat disayangkan jika gerakan massal ini hanya menjadi ritual semata, karena buruh sesungguhnya memiliki kekuatan yang sangat ‘huge’. Saya melihat belum ada perubahan yang signifikan bagi kehidupan buruh, meski May Day telah dilakukan berkali-kali. Dan meski seorang Dita Indah Sari seorang aktifis buurh yang pernah dipenjara telah masuk menjadi staf ahli di kementrian tenaga kerja. Kenapa, karena kita dilemahkan oleh undang-undang dan peraturan. Para kapitalis yang berekspansi di Indonesia mudah menyogok mafia di DPR untuk melegalkan sebuah undang-undang yang sifatnya sangat inti bagi negara hukum seperti Indonesia. Jadi yang busuk adalah anggota DPR-nya. Yaa, meski tidak semua, tapi yang benar dan jujur cenderung minoritas.

Mungkin bagi sebagian orang yang beruntung seperti saya, kamu, dan dia yang dapat duduk di bangku kuliah dan menikmati manisnya menjadi mahasiswa kurang menyadari bahwa peran yang sedang kita jalani saat ini akan menentukan ke mana kita menuju, dan akan menjadi apa kita ke depannya. Mungkin kita akhirnya baru menyadari ketika kita menjadi buruh, buruh media massa, buruh kantor-kantor swasta dengan gaya sedikit necis daripada buruh pabrik. Bahwa kita sama seperti mereka. Maka, jangan sia-siakan peran mahasiswa yang tidak semua orang dapat mengecapnya dengan hanya meghabiskan waktu nongkrong di mall, bukan membaca dan berdiskusi atau menempa diri. Dan menghabiskan uang untuk beli pulsa bukan hal lainnya yang dapat meningkatkan kompetensi diri. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi