Perda ‘Ngangkang’ Nirguna

sumber: http://alfredoelectroboy3.wordpress.com
Awal tahun 2013 sebuah perda yang sedang digagas oleh Pemerintah daerah Lhokseumawe Aceh cukup menyita perhatian publik. Perda tersebut melarang setiap perempuan berkendara dengan posisi duduk ‘ngangkang’. Di tengah gagalnya sistem politik di tanah air, perda yang mendiskriminasikan perempuan menjadi bukti nyata bahwa dalam membuat kebijakan pun pemerintah masih belum dapat membedakan mana yang berguna, dan nirguna.


Berkendaraan khususnya motor, menjadi keniscayaan di tengah gagalnya sistem transportasi kita. Tuntutan mobilitas pun membuat, bukan hanya perempuan tapi juga laki-laki, untuk menggunakan kendaraan. Namun anehnya perda yang dibuat oleh Walikota Lhokseumawe ini rencananya hanya diberlakukan kepada perempuan. 

Stereotipe 

Perempuan yang diharapkan pemerintah kota Lhokseumawe, (mungkin) adalah perempuan yang dapat tampil feminin dengan cara duduk yang menyamping. Dalam banyak kasus, kita kerap terjebak dalam pelabelan/stereotipe mengenai perempuan. Dan pelabelan ini kemudian dianggap sebagai kodrat. Padahal, kodrat dan stereotipe merupakan dua hal yang berbeda. 

Kodrat merupakan sifat alamiah yang tidak dapat diubah. Kodrat bagi perempuan adalah menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui. Kodrat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya kekuasaan Tuhan. Penulis menafsirkan bahwa kodrat merupakan sifat yang tidak dapat dipertukarkan perannya. 

Lain halnya dengan stereotipe, yang dapat dibentuk dan disosialisasikan serta berbeda-beda sesuai dengan kultur masing-masing. Contohnya stereotipe tentang perempuan yang kerap digambarkan sebagai sosok yang feminin, memakai rok, dan duduk menyamping, yang akan dicanangkan oleh pemkot Lhokseumawe. Stereotipe ini yang kerap mengebiri perempuan. Perempuan selalu ditampilkan seperti gambaran perempuan dalam benak laki-laki. Hal ini terjadi karena proses konstruksi stereotipe berlangsung lama dan dilanggengkan. Water Lippman mengatakan bahwa pola-pola stereotipe tidaklah netral dan selalu saja terjadi ketidakadilan di dalam stereotipe (Day, 2006:419). 

Dalam konteks perda ini, ada hak perempuan yang dilanggar: hak untuk mendapatkan kenyamanan. Berlindung di balik asumsi moralis, kenyamanan perempuan berkendara pun dikebiri. Bukan tidak mungkin jika Perda ini akan menjadi pintu masuk bagi pembatasan aktivitas perempuan di ranah publik. 

Penulis tak ingin berbedat mengenai persoalan kesetaraan gender atau terjebak dalam alur pikir modernis. Tapi jika melihat fakta bahwa perempuan dibatasi ruang geraknya dengan perda tersebut bukan tidak mungkin negara, dalam hal ini diwakili oleh daerah, mengebiri hak-hak warganya. 

Nirguna

Naif rasanya jika mengangkat isu moralitas melalui pengaturan posisi duduk dalam berkendaraan. Masih ada banyak hal yang perlu dipikirkan pemkot dalam mengatasi permasalahan moralitas selain pengaturan posisi duduk. Daripada memikirkan kebijakan perihal moralitas, lebih baik membuat kebijakan yang dapat memberikan solusi bagi kebutuhan perempuan Aceh. 

Perda tersebut tidak dapat memberikan manfaat substansial yang dibutuhkan perempuan. Permasalahan dan kepentingan perempuan masih banyak yang belum diperjuangkan. Seperti kebijakan layanan kesehatan, sosialisasi kesehatan reproduksi, atau kebijakan yang dapat mereduksi angka kematian ibu dan bayi. 

Permasalahan perempuan yang kompleks tidak dapat diselesaikan dengan perda yang diskriminatif. Ada 350.000 perempuan dari berbagai pelosok dunia, termasuk Indonesia di dalamnya, tewas akibat penanganan hal-hal yang berkaitan dengan reproduksinya. 200.000 kematian ibu akibat pelayanan kontrasepsi yang salah. Dan Angka Kematian Ibu (AKI) karena hamil, melahirkan dan masa nifas perempuan tertinggi di kawasan ASEAN. 120 hingga 150 juta perempuan yang ingin membatasi kehamilannya masih belum tahu cara kontrasepsi yang tepat dan efektif. 70.000 perempuan setiap tahunnya tewas akibat aborsi yang tidak aman, ada sebagian yang selamat namun akhirnya meninggal karena infeksi. 2 juta anak perempuan antara usia 5 hingga 15 tahun dijual menjadi pekerja seks komersial. Dan permasalahan kehidupan dan upah buruh migran yang memprihatinkan khususnya sektor non formal yang banyak dialami oleh buruh migran perempuan (Jurnal Perempuan). Perda-perda yang solutif dan ramah perempuan dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut.

Data dari Komnas Perempuan, saat ini di Indonesia ada 282 kebijakan diskriminatif yang tersebar di 100 kabupaten/kota dan 28 provinsi di seluruh Indonesia. Peraturan tersebut nirguna, karena kerap memojokan perempuan dan bukan solutif dan responsif terhadap kebutuhan mendasar perempuan. Contohnya mengkriminalkan perempuan melalui prostitusi, membatasi ruang gerak perempuan, dan aturan jam malam bagi perempuan. 

Jika dianalogikan perempuan sebagai kambing dan laki-laki adalah serigala, yang dilakukan pemerintah adalah, mengebiri kambing bukannya memberantas serigala yang meresahkan. Contoh nyata dari pemberantasan ‘serigala’ adalah, memperberat hukuman bagi kasus pemerkosaan, KDRT, dan trafficking. 

Perempuan dibatasi ruang geraknya di area publik, demi menjaga sebuah penglihatan laki-laki yang tidak dapat dijaganya sendiri atau memperindah pemandangan sesuai dengan gambaran feminin yang dikonstruksi ratusan tahun.  Apabila perda ini diloloskan, selain menjadi bentuk pengebirian, perda ini pun akan menjadi pintu diskriminasi lainnya terhadap perempuan. 

Pemerintah baik pusat maupun daerah, harusnya lebih memahami permasalahan dan kebutuhan warganya. Pembuatan kebijakan seperti perda ini, menunjukkan bahwa pemerintah belum ramah terhadap perempuan dan memahami masalahnya. 



Komentar

  1. gpp sih peraturannya gini asalkan setiap perempuan aktiv diberi fasilitas mobil dengan kondisi transportasi yang mendukung.... hahahaha

    BalasHapus
  2. kalau pun diberi fasilitas gw tetep ga setuju. semacam iming-iming supaya kita mau diatur2 :p

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi