Saya dan Pernikahan

Dalam hitungan hari, saya telah masuk ke gerbang kehidupan baru. Sebuah dunia yang memiliki dimensi berbeda dari dunia sebelumnya. Banyak yang terkejut dan bertanya kepada saya mengenai perasaan, kesiapan, bahkan pertimbangan memilih menikah. 

Bagi saya pernikahan bukan melulu perihal kebutuhan biologis yang harus dipenuhi. Seperti pertimbangan kakek nenek kita zaman dahulu yang dinikahi begitu dianggap sudah dewasa dalam konteks reproduksi. Bukan juga seperti deadline yang harus dipenuhi ketika usia telah memasuki angka-angka tertentu. Saya memang anak kemarin sore yang memutuskan menikah di tahun yang sama dengan acara penyelenggaraan pernikahan. Tapi izinkan saya berbagi persepsi saya perihal pernikahan, minimal mengapa saya kemudian memilih menikah. 

Saya pernah begitu takut menikah, padahal saya berasal dari keluarga harmonis dengan ayah ibu yang selalu bersikap manis. Tidak ada istilah broken home. I come from a sweet home. Kala itu, pernikahan bagi saya adalah komitmen yang begitu mengekang dan mengikat begitu kuat, sampai-sampai perempuan tidak memiliki pilihan hidup selain mengurus rumah tangga. Karena kesan yang saya dapatkan, bahwa keharmonisan rumah tangga, pendidikan anak, adalah tugas istri semata. Rumah tangga tidak harmonis, anak Bengal adalah kesalahan istri. Waktu itu juga saya melihat, satu per satu teman saya yang telah menikah mengurangi intensitas komunikasinya dengan kami yang belum menikah. Kami dulu dekat. Sejak salah satu di antara kami menikah, kami renggang. Jadi persepsi kedua yang muncul adalah, pernikahan menghancurkan sisterhood. Persahabatan yang dibangun lama, hanya menjadi ampas ketika dia sudah menemukan suami. 

Menurut saya setiap manusia perlu sesekali keluar dari cangkang pemikirannya, dan melihat realitas yang ada. Kadang kita terlalu meyakini sesuatu sampai-sampai enggan melakukan kroscek. Saya pernah begitu meyakini bahwa saya akan menikah di usia, minimal, 28 tahun. Artinya masih 3 tahun lagi dari sekarang, itu minimal. Karena saya masih belum mendapatkan kepuasan dalam mengeksplorasi dan mengaktualisasikan diri saya. Saat itu saya berpikir saya akan menamatkan sekolah pasca sarjana terlebih dahulu. Tapi kemudian keputusan menikah itu datang lebih cepat. 

Bagaimana perasaannya? Ya senanglah. Bagaimana persiapannya? Disiapkan sedikit-sedikit dalam beberapa bulan dengan hening. Bagaimana pertimbangannya? Ini dia yang perlu saya ceritakan lebih lanjut. 

Everybody needs friend, partner. Kalau kita telah selesai dengan diri kita sendiri, kita akan bisa menyelesaikan urusan per-partner-an. Partner seperti apa yang kita inginkan, hidup seperti apa yang ingin kita jalani. Saya baru menyadarinya kemudian. Saya pelan-pelan menyelesaikan urusan diri saya sendiri. Apa yang saya inginkan dalam hidup, bagaimana saya ingin menjalaninya, dengan siapa saya ingin menghabiskannya. Bukan berarti saya menikah karena saya takut hidup sendiri, Karena setelah nikah pun kita harus hidup sendiri. Menghormati kesendirian diri dan kesendirian pasangan. 

Ok lalu pertimbangannya apa? Menurut saya, setiap orang harus bertumbuh. Bukan hanya fisiknya, tapi juga mentalnya. Dan menikah salah satu pilihan untuk sekolah mental. Prosesi mempertimbangkan pernikahan pun sudah menjadi satu mata pelajaran tersendiri di sekolah mental. Saya hanya merasa mental saya tidak akan benar-benar tumbuh jika saya hanya menjalankan hubungan yang sama selama beberapa tahun. Hubungan saya harus di-upgrade ke jenjang yang lebih tinggi. Seperti sekolah yang terus dituntut untuk naik kelasnya. Saya harus berani melawan rasa takut. Pertimbangannya karena saya ingin dewasa. Saya tidak akan dewasa jika saya hanya berada dalam grade hubungan ‘pacaran’. 

Saya akui ada peristiwa kebetulan yang terjadi dalam prosesi pendidikan mental saya di sini. Kebetulan yang saya yakini perbuatan Tuhan. Tuhan hanya ingin tampil dalam hidup saya secara anonim. Terlepas dari campur tangan Tuhan, saya sebagai manusia memiliki argumen lain yang mungkin bisa dijadikan pertimbangan.

Saya tiba pada titik, di mana pernikahan juga merupakan pertualangan. Pernikahan tidak serta merta menghentikan kegemaran berpetualang dan mencoba pengalaman baru dalam hidup. Bukankah pernikahan juga pengalaman yang baru? Banyak peristiwa kebetulan yang terjadi dan datang dengan cara yang misterius. Saya hanya perlu menerima dan menghargainya. Saya menikmati petualangan baru yang sedang saya jalani sekarang, tidak sedang memikirkan hasil akhirnya. Karena saat kita memikirkan hasil akhirnya, kita justru tidak menikmati proses. Begitu pula dalam proses mencinta dan pernikahan, bila menghitung untung-rugi dan memikirkan hasil akhir, kita akan kehilangan sesuatu yang jauh lebih berarti yaitu kenikmatan petualangan itu sendiri. 


Komentar

  1. Dah baca ini dua kali, dulu dan sekarang.

    You are lucky if you know and get the point of your life.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

EKOFEMINISME