Kemilau Ibu Kota Menggoda Mata

Sentralisasi, satu kata yang cukup mewakili kondisi ibu kota saat ini. Jakarta memang tidak cukup merepresentasikan Indonesia, tapi tengok bagaimana perkembangan ibu kota ini lebih pesat daripada kota lainnya yang mungkin bisa dikatakan ‘anak’. Apakah si ibu ini gila, menghabiskan makanan sendiri tanpa memberi makan anak-anaknya yang sedang dalam masa pertumbuhan (apasih? :p). Memang begitu kenyataannya. Ibu kota melahap habis makanan sehingga kota-kota lainnya menjadi anak busung lapar saja.

Anggaran belanja daerah DKI Jakarta selalu lebih besar daripada daerah lainnya. Belum lagi lengkapnya sarana dan infrastruktur dibanding kota lainnya. Hal tersebut karena Jakarta dijadikan pusat pemerintahan, perekonomian sekaligus hiburan. Betapa kilaunya menggoda mata untuk melirik, bukan.

Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke kota tua, dan ngobrol dengan ibu penjual minuman sachet, bernama Watinah. Dia bilang kini berdagang di Jakarta meski harus membayar uang kontrakan tetap lebih untung daripada bekerja jadi buruh tani di desa, atau berjualan di desa. Sejak tahun 2010 ia mulai mengikuti jejak tetangganya yang sukses meniti karir di ibu kota sebagai penjual minuman sachet.

“Saat itu, anak saya mulai masuk SMA saya mikir mbak uangnya darimana kalau ngandalin jadi buruh. Tetangga saya sukses bisa beli kios dari usaha begini,” katanya pada saya sambil mengaduk minuman.

Berjualan di desanya yang terletak di daerah Wonosari (saya juga ngga tahu di belahan dunia mana itu, :p), tidak seuntung di sini. Ibu Watinah pernah menjadi tukang sayur keliling, tapi hasilnya jauh lebih kecil dibanding jualan minuman sachet. Menjual minuman sachet ia bilang dapat meraih omzet Rp100-an ribu dalam sehari kalau sedang hari libur. Belanja modalnya sebesar Rp500 ribu untuk beli berbagai minuman sachet, air panas dan gelas plastik. Harga minumannya rata-rata Rp3.000 per gelas.

“Yah, jauh dari anak asal ada hasilnya, mbak. Anak saya tinggal di kampung.”

Watinah satu dari ratusan, ribuan, bahkan jutaan penduduk Indonesia yang terpesona dengan kemilau Jakarta.  

Watinah kenal Jakarta dari tetangganya, yang juga berjualan minuman sachet hingga mampu menjadi juragan bajaj. Ia bercerita, tetangga di kampungnya itu, bahkan sudah memiliki lapak di pasar untuk berjualan kelontong. Lompatan yang bagus. Dan menggoda rekan serta tetangga untuk berbondong-bondong ikut serta dalam barisan jualan minuman sachet.

Masih banyak Watinah-Watinah lainnya di ibu kota ini. Betapa mudahnya mencari uang di kota, bahkan hanya dengan bernyanyi dari satu bis ke bis, atau hanya menengadahkan tangan dan meminta-minta. Karena, mudah sekali mengeksploitasi rasa iba manusia kota ini. Atau mungkin karena uang receh tidak lagi berarti bagi mereka.

Bagaimana pun, ibu kota menyimpan sejuta asa bagi para penghuninya. Begitu juga dengan para penguasanya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi