Kenapa Cita-Cita itu Enggak Penting


masih punya cita-cita?
Bicara tentang cita-cita selalu banyak bumbu cerita. Terutama mengenai betapa sulitnya menggapai cita-cita. Ada yang harus berdarah-darah untuk mendapatkan cita-cita masa kecil, ada juga cerita sedih saat cita-cita enggak tercapai dan sekarang jadi abang Go-Jek. No offense, ya!

Tapi, apakah hidup melulu tentang menggapai cita-cita. Menurut saya, konsep cita-cita yang dibangun sejak zaman sekolah sudah usang. Kenapa kita harus punya cita-cita? Apakah kalau kita tidak punya cita-cita lantas hidup kita akan sia-sia?

Sayang dunia membentuk jawabannya adalah, iya! Kalau kamu enggak mencapai cita-cita, kamu enggak sukses. Kalau mau sukses harus punya cita-cita dulu, terus kejar sampai dapat. Karena banyak film dan buku motivasi yang beredar, cita-cita menjadi maha penting untuk dicapai. Kalau enggak, kamu akan menjadi orang paling menyedihkan sejagat.

Kita seringkali bercita-cita dengan ambisi. Itu kenapa saya pikir konsep cita-cita yang ditanamkan pendidik sejak sekolah dasar sudah usang. Cita-cita selalu identik dengan pekerjaan. Selalu identik dengan profesi.

"Kalau sudah besar mau jadi apa?" pertanyaan yang sering diajukan ke anak-anak.

Jawabannya bervariasi, tapi masih dalam lingkup yang sama: profesi dan pekerjaan. Dokter, pilot, astronot, guru, tentara, polisi dan lain-lain. Pertanyaan tentang cita-cita masih fokes pada menjadi apa, bukan hendak berbuat apa.

Terpopuler adalah menjadi dokter. Entah, kita harus berterima kasih pada Ria Enes dan Susan, atau harus nuntut ke pengadilan karena merendahkan profesi yang lainnya. Profesi dokter menjadi begitu megah dan mewah. Apalagi melihat proses dan perjalanannya yang sulit. Bukan hanya harus pandai, sekarang ini kalau mau jadi dokter juga harus kaya. Modalnya gede. Sawah satu petak enggak cukup.

Yang paling enggak populer adalah menjadi Pemadam Kebakaran atau Satpol PP. Saya kira, saya enggak perlu jelaskan kenapa dua pekerjaan ini kurang populer sebagai cita-cita masa kecil nan menggemaskan.

Tapi, pernahkah kita sadar. Cita-cita yang kita pasang setinggi Monas langit saat masih menjadi murid di sekolah adalah cita-cita penuh ambisi?

Iya, penuh ambisi bukan cita-cita dengan hati. Mari kita tengok. Berapa jumlah lulusan ilmu kedokteran, dan berapa jumlah tenaga medis di daerah? Jangan tanya saya, saya juga enggak punya datanya. Tapi, konon Puskesmas di daerah lebih banyak yang pakai mantri daripada dokter.

Masih mau tengok lagi. Mari. Berapa jumlah lulusan fakultas pendidikan, dengan jumlah tenaga pengajar yang kompeten di daerah? Enggak tahu juga, saya enggak punya data lagi. Mungkin kita perlu tanya Pak Anies Baswedan.

Yang paling epik adalah, berapa jumlah sarjana pertanian yang kemudian bercocok tanam? Lagi, tulisan ini enggak berkualitas karena enggak ada data sama sekali.  Mungkin kenapa pangan kita masih banyak yang impor bisa jadi ukuran.

Tapi, jurusan kuliah bukan jadi patokan cita-cita juga, sih. Cita-citanya apa, kuliahnya apa. Ya, daripada enggak kuliah, kan. Malu juga sama tetangga.

Untung, cita-cita saya tempo hari adalah jadi wartawan. Jadi, ya saya ada alasan kenapa saya harus menetap di kota besar dan enggak harus mengabdi di daerah. Sebab, kantor-kantor berita adanya di pusat perekonomian negara. Begitu juga dengan sumber berita, semuanya berkumpul di situ. Jadi, buat apa susah-susah hidup di daerah, kan. Apalagi perlu repot menetap di Papua misalnya, untuk melaporkan ketimpangan antara penduduk lokal dengan karyawan Freeport. Capek amat, ya. Atau mengorek skandal pajak, korupsi proyek atau penyimpangan yang dilakukan pemerintah daerah. Hiy, serem. Kerja kan buat hidup dan menikmati kehidupan, buat apa kerja mengurus urusan yang mendekatkan pada kematian. Jangan sampai deh kayak Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin, wartawan Harian Bernas yang sering berkicau tentang penyelewengan di Bantul.

Mending jadi wartawan di kota, liputan di tempat ber-AC, akses ke narasumber mudah, berita langsung dimuat karena memang sudah dirikues pimpinan redaksi yang berjabat erat dengan narasumber. Jadi wartawan kota itu enak lah pokoknya. Enggak harus pusing harus nulis apa, sebab gubernur ibu kota misuh-misuh, bapak pejabat doyan soto kikil,  sampai perusahaan rilis produk anyar pun bisa naik jadi berita.

Enggak pernah ada yang mempermasalahkan kenapa wartawan hanya berkumpul di kota saja, sedangkan banyak yang mempermasalahkan dokter dan guru tidak merata untuk mengisi puskesmas dan sekolah di wilayah terpencil. Aman.

Saya beri tahu. Jadi wartawan di daerah itu enggak enak. Selain status karyawannya enggak pasti, berita yang dapat ditulis pun lebih enggak pasti lagi. Nah, kalau enggak ada berita, wartawan daerah enggak dibayar. Statusnya lebih bikin galau daripada status 'friend zone'. Freelance tapi terikat. Terikat tapi dibayar tergantung berita yang masuk. Hayo!

Ya, kalau mau sering dapat honor, kita bisa jadi orang jahat. Lho, iya. Berdoa di daerah lebih sering ada tawuran penduduk atau mahasiswa, skandal pejabat dengan perempuan simpanan atau nikah siri dan berita-berita sumbang lainnya. Mending jadi wartawan di kota. Kalau liputan difasilitasi. Apalagi kalau jadi anak tongkrongan pemerintahan, potensi diajak pejabat berkunjung ke kampung halamannya tinggi, belum lagi kunjungan dinas ke daerah lain, lebih tinggi lagi potensinya. Siapa yang enggak mau kerja sambil wisata gratis.

Jadi, buat apa pusing mikir kalau sudah besar mau jadi apa. Cita-cita yang kita harapkan dan targetkan belum tentu mulia dan bermanfaat, kok. Ya, bermanfaat sih buat status. Misalnya, kalau ditanya tetangga. Atau kalau lagi ada acara kumpul keluarga.

Mosok, sudah mahal-mahal bayar kuliah cuma jualan sembako. Padahal jualan sembako dan kelontong di pasar bisa jadi lebih mulia. Pertama, sisi kemuliaan jualan sembako atau kelontong daripada beli franchise Alfamart atau Indomaret adalah menjaga kemanusiaan kita. Lha wong kalau belanja di tempat franchise itu  interaksi sosial kita terkikis sedikit demi sedikit. Beli ambil sendiri, sudah begitu harga enggak boleh ditawar. Kembalian bisa berubah jadi permen atau disumbangkan tapi laporannya enggak jelas.

Kedua, bukan cuma mulia, tapi jualan sembako juga berarti memutar roda ekonomi sektor ril. Ya daripada punya modal maunya gampang dengan cara investasi saham. Yang gede  makin gendut, yang kecil makin kurus. Perusahaan raksasa makin banyak yang suntik dana. Padahal mungkin, ini mungkin lho ya, ada tetangga kita yang suaminya tukang ojek, istrinya bisa dagang tapi enggak punya modal jadi enggak produktif dan menggantungkan hidup dari penghasilan suami saja. Kalau enggak menggerakkan sektor ril, bukan cuma enggak ada pemberdayaan ekonomi tapi juga perempuan. Duh, berat, brur..

Ketiga, eh kok jadi enggak fokes ke masalah cita-cita ya. Oke, kembali ke cita-cita ya.

Jadi, masih mau mengejar cita-cita? Kalau iya, untuk apa? Untuk melunasi utang biaya kuliah? Ya kalau begitu mendingan ndak usah kuliah, ya. Mending dagang selagi mudah biar seperti Om Bob Sadino. Kaya raya dan mati (mungkin) masuk surga.

Supaya kita kelihatan enggak egois-egois amat, minimal bilang saja demi membahagiakan orang tua dan keluarga.

Kalau jawabannya begitu, berarti ada yang salah dengan standar bahagia manusia. Mungkin kita perlu setting ulang standar bahagia kita sebagai manusia. Jadi, kamu masih punya cita-cita? Kalau iya, sudahkah kamu bahagia dengan cita-citamu?

Ini tulisan apa sih. Saya saja yang nulis enggak tahu, kok kamu masih mau baca? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi