Sulitnya berlaku adil sejak dalam pikiran[1]

Riuhnya media sosial karena aksi demo 4 November. Buka Facebook, Twitter dan kanal-kanal media online riuh bukan main. Bahkan, grup chat di aplikasi WhatsApp penuh dengan opini para anggotanya. Semua orang seakan jadi yang paling tahu kejadian sebenarnya. Semua orang ingin agar suaranya di dengar.
Yang suaminya ikut demo, istri ikut live report ke tetangga dan kawannya di grup. Siapa pun yang bisa dia jangkau dan bisa diajak berdiskursus perlu tahu pendapatnya. Yang ikut demo langsung, tak lupa selfie dan update di akun media sosialnya. Yang parah itu, (menurut saya) yang keluarganya tak ikut aksi, dia ikut mengabarkan apa yang (mungkin) sebenarnya dia tak tahu persis. Hanya memperkeruh suasana. Hanya agar dia dianggap. Dan (ini agak kasar, sih) dia tetap eksis di antara kerumunan[2].

sumber gambar: keepo.me

Beberapa kawan tanya pendapat saya, soal pidato Ahok dan soal aksi demo lewat japri. Bah, berlebihan! Memang saya siapa? Hanya ibu satu anak yang gemar baca novel sambil ngelonin anaknya. Begitu sesak. Bahkan di ruang privat pun bahasan masih soal demo 4 November. Di kamar sambil kelonin anak, pak suami bahas demo juga. Hadeuh. Bahas akhir tahun liburan ke mana aja kenapa, bang? :P

Akhirnya, pertahanan saya bobol. Terutama di grup pertemanan alumni sekolah. Walau karena saya salah kirim chat untuk orang lain malah masuk ke grup itu jadi ya terlanjur sekalian komentar apa yang jadi topik ajalah. Ternyata itu sudah jadi topik sejak beberapa hari lalu. Iya topik penistaan agama. Ewww.. How strong they are. Hehe..  kuat banget engga kroscek dan cari tahu apa yang terjadi sebenarnya. Minimal membuka diri untuk menerima pandangan dari orang yang berbeda dan tak sependapat. Supaya bisa lihat dari perspektif yang berbeda.

Awalnya, aksi demo tanggal 4 November 2016 ini soal Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), gubernur Jakarta yang dianggap menistakan Al-Quran. Dalam beberapa kesempatan cocote Pak Ahok memang perlu manner. Tapi, soal menistakan menurut saya, ada peran si Bapak Buni Yani yang sempat mengaku memotong kata ‘pakai’ yang ada dalam pidato Koh Ahok dalam transkip laporannya. – harusnya "Dibohongi ‘pakai’ Al Maidah 51". Jadi bagian mana dari Al-Quran yang dinistakan? Bukankah maksud beliau itu yang nista adalah orang-orang yang suka nipu dan jualan ayat buat politik. Well, agama memang suci, tapi pemeluknya belum tentu. Termasuk saya.

Saya engga bermaksud bela Pak Ahok. Saya juga engga suka sama dia karena main gusar gusur rumah orang dan mencabut orang dari akar kehidupannya. Lalu, dia sebagai pemimpin hanya tegas dan galak soal preman tapi tak bisa menentramkan dan mengayomi warga. Tapi kita tetap harus berlaku adil, bahkan sejak dalam pikiran. Memang sih ini quote-nya Pramoedya, tapi bukankah Nabi juga mengajarkan begitu?

Yang saya bela adalah independensi kita sebagai manusia yang katanya makhluk arif bijaksana dan punya otak sakti mandraguna, tak seperti binatang.  Era smartphone bikin kita jadi merasa manusia segala tahu dan paling benar. Padahal pembenaran dan merasa benar itu datang karena kita enggan membuka diskursus terhadap pandangan yang berbeda dengan kita. Sebab, di internet saat kita berselancar kita hanya mau klik dan baca konten yang judulnya sesuai dengan opini kita. Kalau yang beda pandangan dan pendapat, tak mau di-klik. Begitu juga di Facebook. Statemen yang tidak sependapat, dihujat habis-habisan.

Hey, kamu alumni UIN pantes aja sekuler liberal. Itu yang demo ulama besar loh. Gila kali. Ada hal besar yang terjadi. Gak mungkin gak ada apa-apa mereka sampai turun ke istana.

Oke. Tapi pertama-tama kalau niatnya bela agama, duduk persoalan penistaannya dicek detil. Jangan sampai kita hamba Allah yang lemah ngantukan kalau solat tahajud dan subuh ini mendadak semingit 45 hanya karena ajakan yang kita belum tahu duduk perkaranya. Jangan-jangan kita hanya dipolitisir oleh orang yang sedang berebut kue kekuasaan. Kebetulan, di kampus sempat belajar komunikasi politik yang membuat saya tak lantas berpikir ini murni soal agama. Ada juga buku berjudul The Confession of Economic Hit Man, yang sempat saya baca. Buku itu membuka jendela berpikir bahwa ada tangan-tangan tak terlihat siap menerkam negara ‘berkembang’ yang kaya akan sumber daya alam. Negara itu akan dibuat berutang finansial dengan dalih pembangunan. Soal itu, salahkan Raja Cendana yang memberi akses pada Economic Hit Man beroperasi di Indonesia dengan melengserkan Soekarno. Sekarang pun masih, presiden sekarang dapat backup dari Cina, padahal presiden sebelumnya – yang anaknya jadi cagub rival Ahok – dulu dibackup Amerika. Ini asumsi saya, lo. Belom tentu benar.  

Tapi, imam masjid tokoh ulama daerah saya turun. Dia opinion leader saya. Dia valid pasti benar. Bahkan yang dari luar Jabodetabek juga berangkat.

Setiap manusia berpolitik. Imam dan habib juga. Mereka manusia, kan? Di zaman khalifah dulu juga bunuh-bunuhan karena politik. Kalau saya ingin punya sikap politik. Saya bisa mengikuti dan mencotohnya dalam soal agama, terkait aqidah dan fiqh terutama. Tapi soal politik, saya lebih baik memilih jalan sendiri. Saat ini suara dan eksistensi kita sebagai umat sering diperdagangkan. Tengok beberapa pesantren kerap di datangi oleh para calon kepala daerah. Bukan minta restu saja, tapi juga minta suara. Kerap kali agama kehilangan ruh saat masuk ke ranah politik. Makanya, saya lebih respek dengan ulama yang tidak terjun ke dunia politik seperti Cak Nun.

Tapi, agama memang selalu jadi isu seksi. Sekali sulut, dua tiga pabrik terbakar (semacam, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui – *ngarang peribahasa baru) :D Teman-teman bisa baca juga sejarah soal penulisan berita mengenai Nabi Muhammad peminum arak apalah yang memicu kemarahan penganut Islam, di sini. Kalau lihat polanya semacam mirip, ya.

Tapi, Irena Handono, mantan biarawati pakar Bible yang masuk Islam juga bilang ini penistaan.

Itu saya angkat tangan. Kita perlu tanya sama beliau. Informasi seperti apa yang beliau terima. Jangan-jangan beliau hanya react dan amplify dari berita yang disebar Pak Buni Yani itu. Sama seperti yang lain. Tanpa kroscek kebenarannya. Wallahu a’lam.

Pada akhirnya, kita semua hanya pion. Itu yang saya takutkan. Kita hanya pion dan para aktor politik bisa jadi raja dari pemain catur sang invisible hand yang ingin menguasai sumber-sumber ekonomi negara kita. Agama kita Islam tak pernah dibela. Begitu juga dengan agama lainnya. Mereka hanya membela kepentingan politik dan kepentingan pemodalnya. Kebetulan ada kendaraannya yang bisa dia tunggangi untuk bisa menggerakkan kita, massa, umat Islam. Mayan nih, gratis. Gak perlu nyiapain nasi bungkus malah pada patungan sendiri biayai aksinya dari daerah ke ibu kota. Sebab, yang saya heran kenapa ada pergerakan massa ke gedung DPR/ MPR, di sana mereka juga engga tahu mau menuntut atau menemui siapa. Wong, wakil rakyat kalau sidang siang hari aja ngantuk, apalagi malam. *Eh, gak semua wakil rakyat, sih. Entar saya dikerjain 'pakai' UU ITE lagi. 

Memang perlu diakui, presiden tidak sigap merespon isu seperti ini. Kita tak pernah tahu politik di dalam istana seperti apa, bukan? Walau satu kabinet, bisa jadi mereka tetap menjalankan kepentingan politik golongannya masing-masing dengan cara lebih smooth. Misalnya, kenapa Pak Wapres yang menerima aspirasi dari pengunjuk rasa malah tak ikut rapat terbatas luar biasa yang digelar jam 22.30? Seperti ada yang salah dan kurang sreg gimanaaa gitu. Ini masih common sense sebagai rakyat jelata yang hanya mantengin televisi.

Presiden dan kabinetnya memang perlu kita kritik. Tapi tidak dengan cara menghujat. Melampiaskan emosi yang justru memperkeruh suasana. Memang lantas keadaan jadi lebih baik? Lalu, apa yang tersisa? Sampah di timeline media sosial, hehe. Itulah kenapa kita dulu mudah dijajah. Dan (mungkin) sekarang juga masih terjajah. Sebab, kita terlalu lemah untuk bersatu, bahwa kita Indonesia.

Demikian tulisan ini dibuat tanpa bermaksud mendiskreditkan seseorang atau pun golongan tertentu. Karena saya pun masih solat, tiap ramadhan masih puasa dan bayar zakat. Doakan bisa segera berangkat ke Mekkah (apa sih, curcol). Di luar itu semua, KTP saya dikeluarkan oleh disdukcapil Serpong, Tangsel, Banten tapi (masih) tinggal di Bekasi (dan bertetangga secara rukun dengan etnis Cina :D penting). Kedua kota itu bagian dari pulau Jawa dan wilayah NKRI. Jadi, kitorang masih basaudara!





[1] Kutipan dari Pramoedya Ananta Toer: “Bersikap adillah sejak dalam pikiran. Jangan jadi hakim bila kau belum tahu duduk perkara yang sebenarnya.”
[2] Meminjam istilah Okky Madasari dalam Novel Kerumunan Terakhir. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi