Normal Baru

Seorang sahabat datang mengeluh. Tentang cita-citanya yang tak kunjung utuh. Lalu kutanya: "memang apa cita-citamu?" Dia jawab, menikah. 

Kutanya lagi. "Lantas, setelah menikah, apa cita-citamu?" Sederhana saja: ingin punya anak.

Supaya dapat melanjutkan keturunan? "Bisa jadi," ujarnya.  

Atau sekadar punya foto keluarga lebih utuh: ada ayah, ibu, dan anak. Setidaknya menurut versi orang kebanyakan. 

Dia bilang, orang-orang di kampungnya menikah di awal usia 20-an. Dia kini berusia kepala 3. Sejawat ibunya kerap bertanya, kapan dia bercucu. 

Aku kembali menegaskan, "apakah itu berarti cita-citamu adalah terlihat normal?" 

Seperti orang kebanyakan. Tumbuh besar, menikah, punya anak, menghadiri wisuda, mengadakan pesta pernikahan dan mengundang tetangga hingga kolega. Syukur-syukur hidup sampai tua melihat cucu. 

Dia jawab lagi, "bisa jadi."

Melihat saja. Bukan merawat. Semoga si anak kelak bukan menjadi orang tua kelas pekerja kebanyakan yang gajinya habis untuk cicilan hingga tak mampu membayar jasa suster. 

Lalu aku bilang lagi padanya. Kali ini agak panjang. 

"Terlihat normal tak semudah itu, kawan." 

Punya anak tidak senormal hidup sebelumnya. Anak tumbuh menyita waktu, tenaga, dan uang. Sedikit demi sedikit kita berubah. Ada sebagian diri yang hilang. Ada sebagian diri harus berperan ganda. Ada sebagian ambisi dikorbankan. Ada banyak waktu dihabiskan. 

Sekadar ganti popok, memandikan, mengajak bermain, masak sayuran supaya dia lebih sehat daripada diberi makan makanan instan, hingga begadang karena jam tidurnya tidak normal. 

Dia berargumen, atau justru ini lah kenormalan orang yang beranak? Kujawab, "nampaknya begitu."

Normal baru. Term yang agak aneh. Normal tapi baru. Ketidaknormalan yang diresmikan, yang dianggap normal. Makanya, dia disebut baru. 

Setelah besar, anak-anak akan lupa. Atau mungkin tidak tahu. Kalau pun ingat, toh percuma. Sebab mereka akan mengalami hal sama. Waktunya tersita oleh anak-anak mereka. Cucu-cucu. 

Begitulah adanya. Begitulah siklusnya. Banyak pengorbanan untuk tampak normal menjalani hidup dan terlihat ideal. 

Percayalah. Menjadi normal tak terlihat sederhana. Bukan perkara mudah. Juga bukan tujuan hidup. Sebab, tujuan hidup seharusnya menjadi diri sendiri. Asal tahan dengan stigma, tetap bahagia, dan berkarya. 

Seharusnya, cita-cita menikah dan beranak punya tujuan lebih mulia. Dari sekadar melanjutkan keturunan dan punya foto keluarga lebih utuh. Misalnya, menjaga dan menurunkan nilai-nilai hidup kepada generasi selanjutnya. Tapi, itu agak sulit jika sebelum punya anak, kita bahkan tak punya nilai yang dipegang. 

Dia bergumam. Mungkin sedang memikirkan nilai-nilai hidupnya saat ini. Atau bahkan menghitung angka-angka yang akan keluar dari rekeningnya di masa depan. Entahlah. 

Cita-cita beranak saja tidak cukup. Apalagi menikah karena usia sudah mepet. 

Akhirnya, kubilang padanya. "Jika akhirnya kau menemukan pasangan lalu menikah dan punya anak, lalu di masa depan anak-anakmu memilih hidup tidak senormal orang kebanyakan, pahamilah."

Banyak orang mampu hidup normal, dan menginginkan hidup normal. 

"Ya, contohnya sepertimu ini," kubilang. 

Tapi, hanya sedikit orang bisa memilih hidup apa adanya, tak terpengaruh stigma, tak terpengaruh tuntutan sosial, tetap bahagia, dan syukur-syukur memilih menghabiskan hidupnya denganmu. Merawat orang tuanya.

Dia melongo. Lalu tertawa. Bisa kusimpulkan dia nampaknya mulai melihat hidup normal tidak segempita itu. Syukurlah. 

Semoga ibunya juga dapat memahami sahabatku itu. Dan melihat bahwa normal punya banyak bentuk. Tak seperti teman sejawatnya yang selalu mengusik saat pengajian atau arisan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi