Membaca Masa Depan

Saya kerap ngeri membayangkan masa depan. Entah kenapa. Konon, kengerian hadir lantaran ketidaktahuan seseorang. Ya, mungkin karena saya tidak tahu masa depan akan seperti apa. Penuh rahasia. 

Kita pun tahu, hidup kita semua sekejap berubah drastis dengan kehadiran virus dan musim pagebluk tiada akhir ini mengubah cara kita bekerja, belajar, dan bersosialisasi. Entah kapan berakhir. Siapa yang tahu? Tak ada. 

Meski kerap ngeri, saya selalu senang membaca buku yang berbau masa depan. Seperti buku Alvin Toffler yang terbit puluhan tahun lalu: Future Shock (Kejutan Masa Depan versi Indonesia). Tapi semakin saya baca dan tahu, justru saya semakin ngeri. 

Era Gelombang Ketiga

Toffler tak tahu banyak tentang Internet, tapi prediksinya tentang masa depan sangat luar biasa dengan membentuk mode keberadaan baru yang dia sebut "The Ad-hocracy”. Mode keberadaan ini mengubah dunia menjadi "dunia bebas" serta organisasi kinetik. 

Dia juga memprediksi, hubungan kita dengan benda tidak lagi berusia panjang. Atas nama ekonomi banyak produk disposable dijual. Perusahaan juga membuat produk tidak mempertimbangkan keawetannya tapi justru atas pertimbangan mode dan tren, yang parahnya tiap musim, tahun, bahkan tiap bulan berubah-ubah. Baru beli hape model baru, eh bulan depan rilis lebih baru lagi. Hahaha. 

Prediksi Toffler lain yang mulai terbukti yaitu bahwa akan datang era Gelombang Ketiga. Era ini ditandai munculnya jenis pekerjaan baru berbasis teknologi. “Di Era Gelombang Ketiga, banyak orang tak punya pekerjaan tapi mereka bisa produktif, mereka adalah Prosumen, produsen sekaligus konsumen,” katanya. 

Gelombang kedua adalah era industrial. Saat pabrik dan produsen massal tumbuh sebagai pegiat ekonomi, dan penyerap tenaga kerja. Gelombang pertama? Tentu saja era agrikultur. Kenapa Belanda, Jepang dan Inggris berebut lahan di sana-sini dan menjajah bangsa kaya akan rempah macam Indonesia. 

Ini tampak begitu jelas. Saat ini muncul pekerja-pekerja kreatif berbasis keterampilan yang tak butuh kantor dan titel pekerjaan. Banyak juga produsen kreatif yang berhasil memotong rantai distribusi perusahaan besar. Mereka memproduksi sekaligus menjadi pengecer produk buatannya. 

Gelombang Keempat, Kelima, Keenam…

Dan kini, Alec Ross. Lewat bukunya Industries of The Future, dia piawai membuat pembaca  (saya, khususnya) makin ngeri. Di era gelombang ini, kita melihat bahwa ekonomi dunia dipimpin oleh perusahaan-perusahaan teknologi. Tak seperti Toffler yang lebih banyak prediksi, Ross lebih memaparkan data dan fakta saat ini, dan proyeksi di masa depan. Dia menyebut  ada empat industri yang mengubah peta ekomomi dunia. Pertama, robotik yang mempermudah hidup dan pekerjaan manusia saat manusia malas dia menggerus dan mengambil alih pekerjaan mereka). Kedua, teknologi genom, yang bisa mendiagnosa pasien kanker dari darah dan menyembuhkannya dengan melakukan rekayasa genetik. Ketiga, kodifikasi industri keuangan dan uang itu sendiri serta pasar. Keempat, data sebagai bahan baku utama di era informasi. 

sumber: Amazon


Robotik  
Dalam buku itu, Ross menyebut era robot akan segera datang. Yah, meski sekarang sudah dimulai, tapi tak pernah terbayang berapa banyak tenaga kerja manusia akan tergantikan oleh robot. Sekarang, setiap kita masuk tol saja kita tak lagi bisa menyapa Mbak/Mas penjaga tol sambil ngomong: “Xon-Ce nya mana?” (Hanya generasi 90-an yang paham 😅). Supaya relate soal Xon-Ce mana, klik di sini. 

Berawal dari mempermudah pekerjaan manusia di sektor industrial, sekarang robot akan mengambil alih pekerjaan manusia. Era robot ini di mulai dari Jepang tahun 1990-an. Di tahun 2013, pemerintah Jepang mengalokasikan dana US$24,6 juta untuk perusahaan yang fokus mengembangkan robot pengasuh orang tua. Maklum di Jepang populasi wong tuo makin tinggi, sementara anak mudanya engga berimbang. Saat ini, 25 persen penduduk Jepang berusia 65 tahun ke atas. Sekarang, saat pandemi kita lihat di beberapa restoran luar negeri mulai mempekerjakan robot sebagai pramusaji. Nanti, kita mungkin akan terbiasa mempekerjakan robot humanoid, yang bisa mempekerjakan pekerjaan rumah tangga: nyuci piring, nyapu, ngepel, ngurus orang tua saat sakit, bahkan ngasih hiburan tipis-tipis, macam nyanyi atau stand up comedy. Tergantung dia diprogram seperti apa.

Era perabotan perobotan ini makin panas. Di tahun 2013 Google membeli Boston Dynamics, perusahaan desain robot. Lalu membeli DeepMind, perusahaan kecerdasan buatan (artificial intelligent) berbasis di London seharga US$ 1,5 miliar! Dengan perusahaan ini, mereka mengajarkan komputer cara berpikir manusia. 

ilustrasi: Canva

Kecanggihan teknologi terus naik. Perdebatan pun muncul, betapa radikalnya hidup manusia berubah lantaran penemuan robot ini. Dan pada akhirnya, apakah robot akan melampaui manusia? Duh, anakku, semoga hidupmu apik-apik di masa yang akan datang. Bisa makan enak, cukup tidur, punya waktu luang tapi tetap produktif serta bermanfaat bagi sesama, dan bisa naik haji pergi serta liburan paling tidak setahun dua kali. Hahahaha. Amin! 

Rekayasa Genetik 
Pada 2013, pangsa pasar industri ini sebesar US$ 11 miliar. Ronald W. Davis, Direktur Stanford Genome Technology Center dan profesor biokimia dan genetika di Standford School of Medicine menyamakan kondisi pasar genomik hari ini mirip dengan industri e-commerce pada tahun 1994. Saat itu, Amazon baru berdiri, bahkan pendiri Google masih mahasiswa. 

Bagaimana industri ini bekerja? Dengan cara mengurai gen manusia, menemukan gen atau sel yang rusak. Lalu mereka akan mengembangkan obat-obatan yang presisi dan disesuaikan dengan gen orang tertentu dan karakter tumor atau kankernya. 

Selain mengurai gen, para ilmuwan di industri ini juga ingin memecahkan kode otak dan memanfaatkan genomik untuk mendiagnosa serta mengobati penyakit neurologis dan mental. Ide ini muncul lantaran banyak anggota militer yang mengalami gangguan mental setelah pulang dari penugasan di Afganistan. 

ilustrasi: Canva

Industri ini akan memberi dampak besar dalam isu kesehatan kita melebihi inovasi di abad 20-an. Lewat inovasi di industri ini, manusia bisa hidup lebih lama tapi juga lebih kompleks. Kenapa? Lantaran gen kita dioprek-oprek sedemikian rupa dan kita tahu penyakit apa saja yang bisa hinggap di tubuh, bahkan saat kita belum merasakan keluhan apapun. 

So, sekadar menjadi dokter anak yang kasih resep obat pilek dan merawat anak kena DBD, atau bedah plastik mengubah wajah Anda jadi mirip artis Korea di masa depan mungkin akan usang. 

Mata uang, pasar, dan pemerintahan
Sejak lahir uang hadir dalam bentuk fisik. Mata uang di seluruh negara mencerminkan bahwa uang sebagai sesuatu yang nyata, ada bentuknya. Setengah abad terakhir, kita mulai menikmati kehidupan cashless. Saya ingat betul waktu zaman pesantren sempat dititipkan kartu ATM, padahal itu tahun 2002, tapi kayanya canggih betul. Uang kiriman bapak saya bisa saya ambil di mana pun, kapan pun, tanpa perlu nunggu kantor pos buka. 

Sekarang, kita sudah tidak takut lagi saat ketinggalan dompet. Selama HP dalam kantong atau genggaman, kita bisa transaksi apa pun, kapan pun. Belakangan, demi mempermudah hidup, saya memilih HP berfitur NFC supaya engga sering-sering mampir ke minimarket atau ATM untuk isi kartu untuk masuk jalan tol. 

Selain efisiensi karena pembayaran berubah jadi digital, uang yang berubah jadi kode binary (coded) juga meningkatkan kepercayaan dan dapat menurunkan korupsi. Seringkali, kalau terima bantuan sosial dalam bentuk cash kita patut curiga uangnya sudah dicatut. Sekarang, pemerintah bahkan menyalurkan bantuan lewat kartu-kartu, yang katanya bisa di-trace dari mana dan ke mana uangnya mengalir. 

Selain uang, pasar juga berkode. Apa yang dipopulerkan oleh pakar Rhenald Kasali sebagai sharing economy. Gojek, Grab, Uber, sampai AirBnb adalah bukti sharing economy nyata. 

Perubahan dari fisik menjadi kode binary tak hanya mendistrupsi industri keuangan dan pasar jasa, tapi juga mata uang. Yak, Bitcoin! Yang sempat membuat miskin beberapa milenial coba-coba investasi dengan mempertaruhkan seluruh tabungannya itu. *julid mode hahaha. 

Saat pertama muncul di tahun 2008 - 2009, Bitcoin mirip PayPal yang menawarkan cara pembayaran online. Merangkak ke tahun 2014, mata uang kripto ini sepintas menawarkan juga sisi-sisi investasi. Ya mirip seperti kita menyimpan mata uang dollar. Mata uang ini penuh spekulasi dengan fluktuasi harga yang, ya begitulah. Sekarang per satu Bitcoin sempat sampai Rp700 juta. *cry… 

ilustrasi: Canva

Tapi apa yang membuat Bitcoin meroket dan mata uang kripto ini makin popular? Sebab, mereka menawarkan konsep uang digital sesungguhnya yang tak terbatas pada geografi dan pemerintah bahkan monetary policy. Maklum, ini mata uang dibuat oleh mereka yang skeptis terhadap pemerintah dan lembaga keuangan tradisional. Bahkan Bitcoin membuat terobosan blockchain demi membangun kepercayaan dalam keuangan digital ini. Tidak ada bank sentral untuk menentukan atau meningkatkan jumlah uang berbedar. Bitcoin bisa berkembang pesat di negara dengan pemerintah yang, yaa bisa disebut berkualitas rendah dan punya kualitas sistem moneter yang rendah juga. 

Data, emas di era informasi
“Tanah adalah materi utama di era agrikultur. Besi adalah materi utama di era industrial. Dan data adalah materi utama di era informasi,” Alec Ross. 

Mungkin Anda baru menginstal TikTok atau aplikasi media sosial lain yang tak berbayar. Saat sebuah aplikasi gratis bebas kita gunakan, kita adalah produk yang mereka jual. Kepada siapa mereka jual produk (baca: pengguna)? Kepada pengiklan. Tentu saja. Dan juga, kepada perusahaan lain yang membutuhkan data. 

Ingat kan, Obama sukses mendulang suara konstituen di Amerika dan berhasil jadi presiden kulit hitam pertama dalam sejarah negara Uwak Sam itu? Kampanye Obama menggunakan big data untuk mendapatkan insights untuk berfundraising aka nyari duit,  di mana harus berkampanye atau beriklan, dan semua rivalnya tak bisa menyaingi strategi itu. 

Sekarang, saat kita browsing atau klik berita apapun, data itu terekam dan disimpan untuk menangkap persona kita. Persona itu ditawarkan kepada pengiklan. Makin tepat sasaran, makin besar kemungkinan closing-nya. Data-driven marketing, data-driven campaign, etc etc bahkan sampai data-driven journalism kerap kita dengar. Ya intinya, data itu penting untuk menentukan langkah dalam menjalankan strategi. 

Data ini sumber penting dalam mata rantai periklanan, pemilihan (kandidat politik, khususnya) dan lainnya. Begitu juga di aplikasi-aplikasi, data ini dipakai sebagai rekomendasi dan rujukan. Mereka membaca selera pengguna dan menawarkan rekomendasi yang tepat. Coba saja, Anda ubah tontonan Anda di Netflix selama sebulan, rekomendasinya pasti berubah. Saat saya nonton Drama Korea, rekomendasinya film-film Asia dan Korea. Saat sebulan menonton film barat Hollywood dan sejenisnya, rekomendasi berubah. 

Penggunaan big data ini akan semakin luas dan tak terbatas dalam industri periklanan dan pemilihan politik saja. Kemanan data akan semakin menjadi isu yang sering dibahas. Cyberattacks dan peretasan menemukan jalan tikus lewat sambungan internet ke handphone-handphone kita. 

Persiapan dalam Membaca
Bapak saya sering cerita bahwa dia pernah bekerja sebagai supir bajaj, dan penyetak sisir plastik menggunakan mesin uap panas dalam usaha rumahan di Bogor. Betapa peta dan kesempatan dalam karir dan pekerjaan saat ini berubah signifikan. Tak ada lagi tukang cetak sisir plastik karena sudah fully operated machine. Tak ada lagi supir bajaj. Sekarang bahkan angkot pun sepi peminat, lebih cepat naik Gojek atau Grab. Dengan hadirnya Tesla, dalam taksi masa depan hanya ada penumpang dan mobil itu sendiri. 

Saya berterima kasih, berkat jerih payah orang tua, saya bisa mengenyam pendidikan layak dan berkesempatan tumbuh mendalami profesi lain. Profesi yang mungkin di masa sekarang common tapi bisa dibilang nyaman. Bisa bekerja dari rumah dan mana pun as long as terkoneksi internet, cepat beradaptasi, dan constantly mau belajar hal baru (biar engga diganti mesin, tentu saja, meh!). 

Tapi, berterima kasih saja tidak cukup. Kita semua punya tanggung jawab mempersiapkan anak-anak agar mampu bertahan dan bersaing di era yang sama sekali berbeda dengan kita. Industri masa depan dan era globalisasi tak terbendung. Demi menyambut era gelombang ketiga saja Toffler sudah menyebut bahwa kita harus membubarkan sistem pendidikan massal. Karena sekolah model itu akan menghasilkan pekerja gaya pabrik untuk jenis pekerjaan yang tak ada lagi. 🙃

Dirikan sekolah yang lebih kecil, lebih bersifat lokal. Selenggarakanlah lebih banyak pendidikan dalam rumah. Usahakan lebih banyak keterlibatan orang tua, perbanyak kreativitas, kurangi pekerjaan rutin (pekerjaan rutin itulah yang akan hilang paling cepat) - Alvin Toffler.  

Bagaimana kalau anak cucu bangsa Indonesia hanya jadi sekrup kecil dalam mata rantai industri itu? Bukan malu karena pekerjaan-pekerjaan tersebut, tapi seharusnya penjajahan Belanda dan Jepang membuat kita belajar, bahwa menjadi bangsa berdaya berawal dari individu yang unggul dan mampu bersaing. Setidaknya, pemimpin dan para pemegang kuasa punya kewajiban membuat kebijakan untuk memperluas peluang dan kesempatan. Sehingga, ketika masa depan tiba, lengkap dengan industri dan profesi baru, lebih banyak orang siap untuk menghadapi masa ini. 

Ah, tipis harapan. Pandemi aja ndak tertangani, mikir yang jauh-jauh soal persiapan industri masa depan. Ah, menuntut pemerintah, ngurus sekolah anak dari rumah saja (sesuai masukan Toffler) kadang saya repot, mengeluh dan bertanya, "kapan sekolah dibuka?".

Masa depan? Masa bodo! Liat nanti saja. Hahahaha. *Plot twist 😂

Komentar

  1. Keep writing pe...
    Kata siapa bansos dengan kartu2 meminimalisir korupsi....

    Banyak kartu tak bertuan masuk kantong2 ntah siapa....
    Bnyak penedia2 sembako bantuan ambil untung belum lg bulog sebagai cartel logistiknyq dengan harga jauh beda dengan pasaran.... ah.... mau gimanapun juga klo otak2 korup itu ga dihilangkan tetap saja existensi korupsi terus menjadi jadi

    BalasHapus
    Balasan
    1. thank you Enooyy! kamu nulis juga dong. travel blog, Noy.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi