Menghadapi Pudarnya Pertemanan

Saya takjub betul meski baru menonton beberapa episode Hospital Playlist season satu. Betapa persahabatan di antara para dokter itu begitu sakral dan awet. Bahkan Indomie yang pakai pengawet pun punya tanggal kadaluarsa. 

Saya jadi memperhatikan tren pertemanan saya beberapa tahun terakhir. Tidak ada perkelahian, tidak ada drama-drama, tidak ada pertemuan atau reuni rutin, tidak bertukar kabar kecuali ada sanak keluarga meninggal atau sakit parah. Banyak hal dalam pertemanan mulai memudar. 

Saya pikir apa yang membuat para sahabat dokter di Hospital Playlist itu masih terus akrab karena mereka masih punya satu common interest: menyelamatkan nyawa manusia lewat operasi-operasi, yang keliatannya tak perlu tagihan. Sungguh mulia. 

Kedua, mereka juga mulai menghangatkan kembali pertemanan yang hampir pudar dengan bekerja dalam satu tim dalam rumah sakit yang sama. Ketiga, mereka memaksakan diri untuk meluangkan waktu bermain band bersama. Itu juga awalnya terpaksa. Macam keluarga urban mencari quality time bersama suami/istri dan anak saja, ya. Kalau di dunia nyata kayanya itu hil yang mustahal, deh!

Pudarnya persahabatan atau pertemanan lantaran tidak ada waktu untuk melihat ke belakang dan bilang, “itu dulu, ya ampun kita gitu banget, ya!” Atau setidaknya, “eh jadi engga kita bikin ini dan jalani bersama, yuk diskusiin strateginya!” 

Jadi, sebenarnya engga perlu panik. Ada banyak hal di dunia ini akan pudar pada waktunya. Dan mungkin, kita juga tidak perlu berupaya terlalu keras untuk menjaga persahabatan tetap hidup. Cukup cari common interest. Jika sudah tidak ada, ya mungkin coba lagi lain waktu. 

sumber: http://www.picturequotes.com/

Kita semua seharusnya mengantisipasi, bahwa ketika kita bertumbuh dewasa, persahabatan juga berubah. Kita memiliki perubahan minat, prioritas, tujuan hidup dan nilai-nilai lainnya. Tidak seperti Mas Andrea, Mas Ik-Sun dan kengkawannya yang punya kesamaan minat: (lagi) membantu orang sakit supaya cepat sembuh. 

Persahabatan di Hospital Playlist itu ibarat tanaman yang setiap hari kena matahari dan dapat siraman air. Hidup terus karena dinamika di rumah sakit yang mereka alami sehari-hari. 

Teman mungkin tidak berarti selamanya. Kita mungkin punya sahabat di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan kuliah sampai pekerjaan pertama. Setiap kesempatan menciptakan circle-nya masing-masing. Tapi, bukan berarti juga kita tidak akan menikmati sesekali bicara dengan teman-teman ini, dan tidak berarti juga kita memutuskan kontak satu sama lain. Setidaknya, sekarang ada Facebook dan WhatsApp. Upaya paling mudah menyiram air tipis-tipis mungkin dengan cara merespons update status mereka. Meski hanya pakai emoticon. Hehehe. 

Walaupun media sosial kadang punya peran, beberapa bulan terakhir saya justru mengurangi pertemanan di Facebook. Dari dua ribuan hanya tiga ratusan. Dan masih saya batasi sampai sekarang. Lantaran, banyak status hilir mudik di beranda justru orang-orang yang tidak ingin saya pedulikan.  

Lagi pula ada riset yang menyebutkan bahwa kita hanya mampu berinteraksi dan memberikan perhatian pada sekolompok kecil orang saja. 

Dulu, orang tinggal di desa dan bercocok tanam. Saat beraktivitas mereka secara umum hanya berinteraksi dengan jumlah orang terbatas. Maksimal, secara total mereka berinteraksi dan kenal dengan seratus atau dua ratus orang saja. Jadi, mengingat ulang tahun, atau keunikan seseorang mudah saja bagi mereka. Kalau panen mereka kumpul-kumpul.  Selain bekerja bareng di ladang, mereka juga bertetangga. Dan tentu saja, dulu banyak waktu luang yang bisa dipakai untuk berinteraksi secara nyata. Nyata. Bukan lewat media sosial. Catat. Hahaha.

Nah, ketika orang pindah ke kota, jumlah interaksi meningkat. Ada komunitas ini lah, itu lah. Bla Bla. Interaksinya pun meledak. 

Sosiolog Georg Simmel pernah menyebut soal kencenderungan kita menghemat “energi psikis” kita dengan menyaring apa yang kita lihat dan dengar, dan menjaga interaksi manusia kita sedatar mungkin. Selain tidak mungkin mengingat detail kepribadian semua orang yang terkoneksi di Facebook dengan kita, hal itu juga melelahkan secara psikologis. 

Apalagi algoritma Facebook bekerja dengan cara berbeda sama sekali. Dia hanya akan menyodorkan orang yang aktif memperbarui statusnya. Semakin sering, mau tak mau kita sering juga terpapar dan kasih respons terhadap postingannya. Keterusan, hanya merekalah yang akan terus membayangi beranda laman Facebook kita. 

Jadi, saya hanya berteman dengan mereka yang berinteraksi  dengan saya di dunia nyata juga. Atau setidaknya pernah bertemu, bekerja bareng atau berteman akrab. Kenapa angkanya tidak sampai ribuan? Saya tidak sesupel itu. Orang bilang networking itu penting. Betul, tapi apakah kualitas networking dibangun hanya lewat media sosial. Nek kamu ndak pernah tahu orangnya, ndak pernah ngobrol langsung, mosok di media sosial ikrib bingit. Buzzer apa gimana

sumber: http://www.picturequotes.com/


Saya orang yang percaya bahwa keintiman tidak bisa benar-benar diakomodir oleh teknologi. Bukan tidak percaya hubungan long distance marriage atau semacamnya bisa berhasil. Tapi, jika ada pilihan tentu kita lebih pilih tinggal bersama, bukan? Karena berkomunikasi lewat teks tidak lebih baik daripada lewat telepon. Dan interaksi lewat telepon tidak lebih baik daripada video call. Interaksi lewat video call tak lebih baik jika kita bisa bersentuhan langsung. Kita bisa membaca dan menerka emosi atau perasaannya lewat intonasi dan mimik wajahnya. Tanpa itu, kita tak benar-benar berinteraksi. 

Hubungan jarak jauh, bahkan bagi yang sudah menikah pun butuh kerja keras dan kerja ekstra. Apalagi hanya pertemanan. Menikah itu kan teman hidup, orang yang dipilih karena cocok ini itunya. Kalau teman tapi mesra, eh biasa butuh effort lebih kencang lagi.  

Menurut saya, orang yang hanya bisa akrab saat berinteraksi lewat media sosial, tapi saat kumpul ngariung tak bisa bertahan lama bicara ngalor ngidul, tak benar-benar bisa disebut akrab. Malah aneh. 

Sangat beda rasanya saat berita duka belakangan berseliweran akibat Covid dan kita tidak bisa hadir memberikan support kepada keluarga yang kehilangan. Saya pernah merasakan kehilangan keluarga, dan kehadiran orang lain berbagi cerita lebih menguatkan daripada sekadar berkirim emoticon sedih. 

Jadi, biarkan jarak itu ada. Biarkan dia memudar. Kita bisa lebih fokus pada hal-hal penting. Kesadaran bahwa kita tidak lagi sedekat dulu, bukan berarti kita memutuskan kontak silaturrahim. Saya masih terbuka, meski bukan jadi seorang yang aktif. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi