Pagi di Jalan Jatimulya

Sembari mengantar anak pergi ke sekolah, saya menghitung-hitung berapa jumlah gerobak berjejer, toko kelontong serba ada, dan warung nasi uduk serta warkop yang berisi orang-orang sarapan. Rupanya, cukup banyak. Sampai otak saya yang terbatas ini tidak bisa menyimpannya.

Saya mengantar anak sekolah 8 kilometer jauhnya. Sepanjang itu pula saya melihat orang bekerja begitu keras untuk menafkahi diri mereka dan keluarganya dengan berdagang. “Jika kesiangan, rejeki dipatok ayam.” Begitu pesan kakek-nenek kita dahulu.

Berdagang jadi satu jalan bertahan hidup bagi masyarakat di tengah rendahnya penyerapan tenaga kerja formal. Memulai usaha dengan modal kecil, jadi jalan keluar dari isu ketenagakerjaan di Indonesia. Kenaikannya tidak main-main, tahun 2024 saja mencapai 83 persen dari tahun 2023. Dan tahun 2025 diprediksi naik menjadi 87 persen, menurut Survei Usaha Kecil Asia-Pasifik 2024-2025 yang dilakukan oleh CPA Australia.



Sayangnya, pertumbuhan warung-warung itu diklaim sebagai geliat wirausaha. Sehingga, ketika jumlah pedagang tumbuh, naik pula persentasi UMKM di Indonesia dan diklaim sebagai capaian tingkat entrepreneurship negara ini.

Data BPS menyebut, tingkat wirausaha di Indonesia saat ini masih sekitar 3,47% dari total angkatan kerja sekitar 4,99 juta orang, dan pemerintah menargetkan angka minimal 4% agar dapat menjadi negara maju.

Padahal, persentase ini jika di-breakdown, isinya ya dominan usaha mikro seperti warung nasi uduk, warung nasi padang, warung kopi, warung kelontong madura, lapak kue atau jajanan pasar, sampai laundry kiloan. Boro-boro wirausaha sekelas Bill Gates atau Jeff Bezos, seperti Nurhayati Subakat pun masih jauh. Indonesia bisa maju jika persentase wirausaha yang dimaksud adalah sekelas Eka Tjipta Widjaja atau minimal Hermanto Tanoko.

Pemerintah berangan-angan menjadikan Indonesia negara maju. Tapi abai terhadap masyarakatnya. Negara maju adalah negara yang rakyatnya sejahtera, bukan? Negara yang rakyatnya memiliki kemampuan untuk menjadi sesuatu, melakukan sesuatu, dan memiliki kebebasan untuk mencapai kedua hal tersebut.

Kesejahteraan bisa dicapai dengan memberikan ruang kebebasan dan ruang pertumbuhan bagi masyarakat melalui akses terhadap politik dan pendidikan. Dengan begitu, masyarakat dapat tumbuh dan mengembangkan nilai serta keterampilannya.

Dalam buku Why Nation Fail, Daron Acemoglu dan James A. Robinson menyebut negara dapat sukses (negara kaya) jika memiliki institusi yang inklusif: melindungi hak-hak masyarakat, mendorong inovasi, memberi ruang partisipasi dalam kehidupan ekonomi dan politik bagi masyarakat luas. Sebaliknya, negara gagal (negara miskin) cenderung memiliki lembaga ekstraktif. Lembaga ini sengaja dirancang untuk menguntungkan segelintir elit, mengeksploitasi sumber daya, menekan inovasi dan membatasi partisipasi.

Pada buku itu Acemoglu dan Robinson menekankan, kelahiran pengusaha seperti Bill Gates, Steve Jobs, dan Jeff Bezos di negara maju bukan hanya bergantung pada ambisi dan talenta mereka, tapi insentif negara dan lembaga-lembaga di dalamnya.

Bagaimana sistem pendidikan di Amerika Serikat (AS) memungkinkan anak-anak seperti Bill Gates memperoleh seperangkat keterampilan unik yang kemudian melengkapi bakat mereka. Lembaga ekonomi di AS juga memungkinkan orang-orang seperti Gates, Jobs, Bezos memulai perusahaan dengan mudah, tanpa menghadapi hambatan serta memungkinkan mereka mendapat pembiayaan. Lebih dari itu, pasar tenaga kerja di AS memungkinkan mereka merekrut tenaga kerja yang berkualitas, dan lingkungan pasar yang relatif kompetitif. Alhasil, mereka mampu mengembangkan perusahaan dan memasarkan produk mereka.

Aturan hukum yang jelas dan tidak diselewengkan, lembaga-lembaga yang kredibel membuat wirausahawan lebih mudah berkembang dan naik kelas. Sementara Indonesia? Masih terjebak di kelas ini, dengan jumlah wirausaha dominan di sektor mikro. Mereka pun tidak memilih ingin menjadi pengusaha atau wirausahawan, tapi bertahan hidup dengan berdagang lantaran tidak terserap kerja di sektor formal. 

Pagi itu saya melihat, masyarakat sedang membantu masyarakat lain bertahan hidup. Kelompok pekerja membantu kelompok pedagang. Meski hubungan simbiosis mutualisme, tapi mereka adalah penyintas dari sistem yang ekstraktif. Pedagang menjual produknya kepada pembeli. Pembeli terbantu karena waktunya lebih efisien dengan membeli dagangan itu. Mereka tidak punya pilihan, sistem yang membuat mereka jadi pedagang yang buka sepagi mungkin dan pembeli yang tergesa di pagi hari karena harus bekerja.

Saya pun jadi gelisah, apakah saya mengantarkan anak saya ke sekolah konvensional adalah jalan yang benar? Apakah dia akan bergabung dalam sistem itu di masa depan? Pagi itu di Jalan Jatimulya, bukan hanya jalanan yang ramai, tapi juga pikiran saya.

Komentar