Aku Si Gelandangan Budaya

Baru saja aku belajar tentang konsep hegemoni budaya. Tercengang aku dibuatnya. Betapa tidak. Bahwa apa yang kita elu-elu kan saat ini, bahwa kita bangsa yang berbudaya hanyalah isapan jempol. Kadang aku pun malu dengan diriku sendiri. Budaya apa yang sudah aku pahami. Budaya yang ada di bangsaku hanyalah konsep. Mendadak aku merasa sebagai seorang gelandangan budaya. Aku miskin budaya. Aku sunda, tapi bahasanya saja aku terbata, musiknya saja aku tak kenal. Siapa aku? Disorientasi. Apakah aku benar-benar orang Indonesia? Bung Karno tolonglah pemudi yang satu ini.

Apakah kita pernah berpikir, di Indonesia sejak awal melakukan modernisasi terutama sejak Orde Baru langkah yang dilakukan adalah menghancurkan tradisi, karena tradisi dianggap sebagai penghalang kemajuan. Padahal Jepang dengan kejepangannya ia mampu mendobrak Amerika dan mampu menampilkan diri sebagai negara yang maju bisa berdiri dan duduk sejajar dengan peradaban Barat, tetapi tidak meninggalkan tradisi, justru Jepang maju dengan modal tradisi. Jangan berkaca pada Turki yang terombang-ambing mencari jati diri. Diterima Eropa pun tidak, meskipun ia telah mengimitasikan dan mengeropakan dirinya.

Dapat dilihat saat ini bahwa hegemoni budaya barat telah akrab dengan masyarakat Indonesia dan dengan sadar telah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari seperti cara berpakaian, cara berpikir, selera musik dan lainnya. Dari segi penggunaan bahasa juga, bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa internasional yang harus dikuasai oleh setiap orang. Bahasa Inggris merupakan syarat utama dalam lowongan pekerjaan. Aah.. ingin rasanya menghidupkan kembali Bung Karno. Bung.. bangun, Bung..

Menurutku batik hanya simbol, yang kini mulai dicintai dan diakui sebagai budaya Indonesia. Itu pun karena dunia mengakuinya sebagai masterpiece. Ketika bangsa lain menghormati kebudayaan kita, kita baru tersadar untuk ikut mengapresiasi kebudayaan sendiri, yang sudah kita tinggalkan. Setelah batik, menyusul kemudian Angklung. Namun tetap yang ada di pola pikir kita adalah sebuah perasaan keren. Keren karena diakui dunia internasional. Seperti ada perasaan keren ketika makan di tempat-tempat fastfood. Makan karena kerenkah? Atau karena kebutuhan gizi? Padahal tak ada gizi ditemukan di sana. Hanya ada coke, kolesterol dan sebagainya. Seperti ada perasaan keren ketika kita membeli kebutuhan sehari-hari di mall atau supermarket, padahal produk yang dijual sama dengan di pasar tradisional. Kita masih tertidur rupanya teman… begitu pula dengan Agnes Monica (lho?).. ya, menurutku dia ke barat tidak dengan keindonesiaannya lihat saja performance-nya di AMA. Berbeda dengan Dwiki Dharmawan.

Budaya kita adalah budaya populer, teman.. kita bukan lagi orang Indonesia seperti yang kita akui. Bukan budaya Indonesia. Yang kita pegang setiap hari handphone, laptop. Yang kita mainkan setiap hari facebook, twitter. Kita memiliki teman yang banyak di facebook dan twitter. Namun pernahkah kita berkunjung ke rumah teman lama untuk sekadar duduk dan minum teh bersama? Jika menunggu di ruang tunggu atau berada di kermaian, pernahkah kita membuka topik pembicaraan dengan seseorang. Hehe jangankan membuka topik, diajak berbicara pun mungkin rasa buruk sangka pun muncul, mengingat banyak terjadi kasus hipnotis.

Apa itu budaya populer? Budaya yang dihasilkan secara massal dengan teknologi oleh dunia industri dipasarkan secara profesional untuk mendatangkan profit. Budaya yang tersebar secara global, menembus batas-batas geografis, bahasa dan perbedaan-perbedaan sosial. Budaya yang penyebarannya terkait erat dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya media massa elektronik dan internet. Betapa kuat hegemoni itu mengcengkram kita. Padahal budaya populer cenderung dangkal dan murahan, dibandingkan dengan budaya klasik yang elitis (khidmat, anggun, langka dan mahal), dan budaya rakyat yang non-profit (lokal, sakral, dan alamiah). Tapi kenapa budaya pop itu tertanam menjadi hal yang keren? Mungkin kita harus tanya Mbah Google atau dek Dora yang kemana-mana selalu bawa peta.

Aku merasa miskin budaya. Lagu yang kutahu hanyalah lagu-lagu Flo Rida, Switchfoot, Jason Mraz, Bruno Mars, dsb.. Baju yang kukenakan selalu kaos dan jeans.. Makanan yang kusantap adalah makanan instan atau siap saji.. Mereka yang kusapa adalah yang mengorbit di facebook dan twitter..

Aku sedang memulihkan diri, meski sulit. Mulai tidak memikirkan merek untuk setiap produk yang aku kenakan. Mulai menjauhi tempat berbelanja yang dimiliki para konglomerat yang tidak peduli kaum pedagang kecil. Bagaimana denganmu teman? Lebih pilih jazz atau dangdut? (lho kok jadi antklimaks?) :D

Komentar

  1. bukankah manusia itu terlahir sebagai manusia yang berbudaya. hanya saja sejauh mana manusia tersebut memaksimalkan daya budaya yang ia miliki. budaya adalah keseluruhan gagasan dan ie (koenjaningrat, dan budaya juga diperoleh melalui belajas. so.. saatnya kita belajar...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi