Memaknai Arti Menahan


Ramadhan akhirnya tiba di penghujungnya. Kebanyakan orang seperti bergegas meninggalkan keheningan Ramadhan tanpa peduli, sudahkan bulan ini memberikan dampak positif bagi pendidikan jiwanya. 

Di awal Ramadhan saya merasakan kegundahan dan kekeringan jiwa, kenapa bulan ini tidak dapat saya resapi sebagai bulan yang berhikmat? Kenapa tidak ada kesenangan dalam menyambutnya? 

Kita berpuasa, tidak makan dan tidak minum merupakan ketidaksenangan. Kita diajak untuk melakukan hal-hal yang tidak kita senangi. Tapi jauh dari keadaan ketidaksenangan itu, kita diajak untuk melakukan perjalanan transenden. Perjalanan spiritual yang sebenarnya bukan hanya berlaku dalam sebulan saja. Perjalanan sebulan saja, ternyata dapat membawa kita pada sebelas bulan yang lebih baik. Jika berhasil. 

Awalnya saya belum menyadari pendidikan yang saya dapatkan dari kedua orang tua saya yang sangat-sangat asketis. Mereka sangat berperilaku puasa dalam setiap harinya di luar bulan Ramadhan. Mata saya baru terbuka setelah membaca buku Tuhan pun Berpuasa dan mengikuti kajian Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki (10/8/2012).

Orang tua saya sangat berpuasa, di tengah keluarga yang sangat menghamba pada dunia, mereka dengan asketisnya tetap berpegang teguh pada pendirian hidup sederhana. Tidak ada tradisi ke mall, tidak ada tradisi belanja baju lebaran, tidak ada tradisi membeli barang-barang baru untuk hari raya. Awalnya saya beranggapan saat itu mungkin ekonomi keluarga sedang berada di bawah. Tapi ternyata puasa itu mereka lakukan dari dulu, sehingga saat ini ekonomi keluarga berada di satu garis aman untuk hari tua mereka. Puasa telah menjadi pembawaan mereka. Dan bodohnya saya masih perlu membaca buku bukan membaca keadaan untuk mendapatkan ilmunya.

Menurut Cak Nun “Puasa adalah pekerjaan menahan di tengah kebiasaan menumpahkan, atau mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Pada skala yang besar nanti kita bertemu dengan tesis ini: ekonomi-industri-konsumsi itu mengajak manusia untuk melampiaskan, sementara agama mengajak manusia untuk menahan dan mengendalikan”. 

Kita kerap menghitung ketika kita melakukan hal-hal yang tidak kita senangi. Berapa lama berpuasa, berapa banyak mengeluarkan uang untuk zakat, dan sebagainya. Sedangkan untuk hal-hal yang disenangi kita lebih sering tidak menghitungnya.

Puasa memiliki arti yang sangat luas, jika kita implementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Puasa adalah menahan. Bukan hanya lapar dan dahaga di bulan Ramadhan, tapi lebih itu. Puasa menjadi semacam pendidikan untuk manusia mengosongkan diri. Keluar dari keduniawian, dan masuk ke dalam sebuah posisi ketidakberadaan. Posisi sejati manusia sebagai hamba. Tidak memiliki apa-apa. 

Tahun ini, saya belum sepenuhnya merasa menang. Menang menjadi penahan yang sukses. Menahan lapar dan dahaga mungkin sudah, tapi keluar dari Ramadhan ini masih ada banyak hal yang harus ditahan. Semoga pendidikan menahan di Ramadhan ini dapat diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, dengan perilaku bersahaja, menahan kecenderungan untuk melampiaskan. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi