Balada Memilih Jurusan
Belum setahun saya menyelesaikan
sekolah strata 1 di bidang komunikasi. Tapi seperti sudah lama sekali merasakan
kekeringan. Kekeringan yang membuat jiwa saya kerontang dan lusuh. Rutinitas kerja,
menjadi satu-satunya kegiatan yang secara konsisten menghabiskan waktu saya. Terlebih
bidang yang saya geluti sekarang merupakan hal baru. Memang, menjadi jurnalis seringkali
seperti tukang tapi asiknya juga seperti mahasiswa yang sedang menyelesaikan
tulisan atau penelitian. Seperti tukang, saat kita menulis sesuatu yang tidak
kita ingin tulis. Seperti mahasiswa saat kita menulis tentang masalah yang
ingin kita angkat dan kita kampanyekan. Meski lebih banyak seperti tukangnya,
saya tidak menampik, pengalaman dan ilmu baru juga turut mewarnai kanvas jiwa
saya. Sayangnya, warna ternyata tidak cukup. Agar warna bagus, seharusnya dalam
melukis kita perlu menggunakan cat air atau cat minyak agar warna lebih baik, bukan
menggunakan krayon atau pensil warna yang kering. Iya, saya hanya merasa
berwarna tapi sekaligus tetap merasa kekeringan.
Saya tiba pada kesimpulan bahwa
saya berkebutuhan untuk bersekolah lagi dan berkumpul dengan orang-orang cerdas
cendikia. Sebab, saya sadar saya bukan berasal dari golongan tersebut. Seperti orang
yang tidak wangi ingin belajar berjualan parfum, agar selalu menjadi orang yang
wangi.
Tapi kemudian muncul pertanyaan, saya
harus memilih jurusan apa? Dunia kerja sempat menjerat saya dengan pragmatisme.
Pilihan jurusan yang bersifat praktis pun muncul di kepala. Saya sempat ingin
mengambil jurusan di bidang yang belum pernah saya selami sebelumnya, ekonomi. Seperti
suami saya, ekonomi islam. Tapi kemudian saya sadar bahwa itu adalah godaan
pekerjaan, hanya profesi. Memang tawaran
seorang lulusan ekonomi menggiurkan. Lembaga-lembaga keuangan itu selalu
membutuhkan lulusan untuk mengisi pos-pos jabatan yang mereka butuhkan. Sebab,
mereka setiap tahun bertumbuh dengan pesat dan melakukan ekspansi. Berbeda dengan
bidang pendidikan, kalau pun mau ’ekspansi’ justru harus menuju wilayah
terpencil yang belum terjamah pendidikan.
Tapi bukankah seharusnya kita
mengejar ilmu bukan hanya untuk manfaat praktis, tapi juga memperkaya batin. Kemudian
entah kenapa saya jadi teringat dengan buku-buku koleksi saya sewaktu
bersekolah di Gontor, kebanyakan koleksi saya adalah buku filsafat. Saya bahkan
berencana sekolah filsafat di UI setelah lulus dari sana. Tapi rencana itu
patah, sebab ayah saya meminta saya sekolah di UIN yang ada ‘islam-islam’-nya. Saat
itu, saya tidak memperhitungkan jurusan filsafat di UIN karena momok yang
diciptakan oleh almamater Gontor yang menyebutkan jurusan itu sedikit melenceng
dari lurusnya nilai islam. Maka, saya ambil jurusan komunikasi.
Sekarang, setelah menikah saya
terpikir jurusan-jurusan yang justru memperkaya batin. Bukan lagi jurusan
praktis seperti beberapa bulan pertama masuk dunia kerja. Hanya untuk
aktualisasi, tidak untuk mengejar apa-apa. Meski tetap saya membutuhkan profesi
untuk membiayai pendidikan tersebut. Jadi saya akan mengambil jurusan apa? Saya
sudah punya jawabannya.
sumber gambar: http://bit.ly/1gYjCvM |
Komentar
Posting Komentar