Berbagi Beban dan Peran




sumber: Majalah Embun

Teman, minta masukannya, kalau menurut kalian lebih baik jadi ibu rumah tangga atau kerja,” sebuah pesan masuk di grup pertemanan saya beberapa waktu lalu. 

Praktis, beberapa teman merespon dan membahas isu problematik perempuan yang tak pernah kelar dibahas. Ada yang minta penjelasan latar belakang kenapa dia harus memilih di antara dua itu, ada juga yang serta merta menyarankan berhenti bekerja untuk mengurus anak dan suami. Saya, memilih dia untuk mencari tahu makna bekerja bagi dirinya. Apakah untuk mencari uang semata, atau memang dia butuh bekerja. 

Sangat disayangkan, di akhir tahun 2015 dilema perempuan masih berkisar antara mengurus rumah tangga atau bekerja membangun karier. Menurut saya, dilema seperti itu harusnya sudah berhasil ditangkis, terlebih tingkat pendidikan perempuan dan lelaki sudah lebih tinggi daripada pasangan-pasangan yang menikah puluhan tahun lalu. Tapi, pendidikan tinggi tidak lantas membebaskan perempuan dari stigma yang melekat, bahwa rumah tangga adalah tanggung jawabnya. Alih-alih menjadi tanggung jawab bersama pasangannya. 

Seharusnya masalah ini sudah selesai dibahas pasangan ketika mereka hendak menikah. Tapi, memang tidak semua sempat membahasnya. Mungkin. Kebanyakan kita, berpacaran atau proses mengenal pasangan dihabiskan untuk traveling, wisata kuliner, nonton bioskop atau mengumbar rasa sayang lewat berbagai macam perayaan hari. Diskusi masalah prinsip, cita-cita dan bagaimana mencapai ke sana masih belum jadi prioritas. Ini mungkin lho, ya. 

Sebenarnya, bekerja itu bukan melulu motif ekonomi. Ya, meski memang kebanyakan kita tentu berharap dapat memonetisasi setiap kegiatan yang kita lakukan sehari-hari. Tapi, bekerja sejatinya adalah kegiatan eksistensial manusia. Dengan cara bekerja, bukan cuma fisik-biologis kita yang terpenuhi, tapi juga psiko-etis kita. 

Kalau perempuan punya cita-cita jadi guru, dosen, relawan, peneliti, pegawai negeri sipil, jurnalis, bidan di wilayah terpencil dan sederet pekerjaan yang mengharuskannya berada di luar rumah, komunikasikan dengan calon pasangan. Sebab, bekerja bukan melulu motif ekonomi.

Puluhan tahun yang lalu, perempuan juga bekerja. Mereka bekerja di ladang yang lokasinya tidak jauh dari rumah. Perempuan di zaman itu juga bekerja di luar rumah dan berbagi peran dengan laki-laki untuk motif ekonomi. Hanya, ketika sampai di rumah seharusnya pembagian peran antara perempuan dan laki-laki juga harusnya tetap terjadi dalam konteks tugas domestik. 

Begitu juga sekarang, partisipasi perempuan dalam dunia kerja profesional masih digelayuti mitos bahwa tugas domestik adalah peran perempuan semata. Ketika perempuan sampai di rumah, maka dia seperti sedang melakukan pekerjaan di shift kedua, setelah pekerjaan formalnya. Pernyataan ini bukan karena kita para perempuan ingin melawan atau tidak menyukai pekerjaan domestik, tapi perempuan juga perlu waktu untuk berefleksi, beraktualisasi dan menenun dirinya. Kebanyakan perempuan kehilangan dirinya ketika dia memiliki rumah tangga, bersuami dan beranak. 

Stigma kemudian muncul. Perempuan bekerja adalah perempuan gagal membina rumah tangga. Sedangkan sesibuk apa pun lelaki bekerja di luar rumah, lembur berhari-hari dan jarang bertemu anak, misalnya, tidak pernah melekat sedikit pun pada dirinya bahwa dia adalah suami dan ayah yang gagal.

Ada semacam kekhawatiran yang tidak beralasan bahwa dengan bekerja di luar rumah, keluarga dan keperempuanan perempuan itu sendiri akan terganggu (Sapiro 1999;485). Nah, seandainya saja jika sejak awal keyakinan tentang pengelolaan rumah tangga dan keluarga adalah tugas dan kewajiban pasangan suami-istri sebagai sebuah tim yang saling mendukung lebih mengakar, tentu kekhawatiran itu tidak akan pernah ada. 

Selain itu, kalau laki-laki merasa jadi manusia dan menikahi manusia, dia perlu mengerti psikologi istrinya. Meski laki-laki sudah mencukupi semua kebutuhan keluarga dari yang primer sampai sekunder, perempuan tetap perlu berkegiatan agar akal sehatnya tetap terjaga. Entah apa pun itu, tergantung dari minat perempuan. Kalau dia senang mengajar biarkan lah dia jadi guru atau dosen. Kalau dia senang berdagang biarkanlah dia berdagang dan jangan lupa beri modal yang cukup, hehe. Pekerjaan ini akan menjadi ruang peristirahatan perempuan dari rutinitas pekerjaan domestik yang tidak akan pernah ada habisnya. 

Terlepas dari motif bekerja, entah untuk membantu ekonomi keluarga atau ingin menenun diri, dia akan tetap memikul beban ganda, jika tidak ada pembagian peran dengan suami. Ini bukan melulu tentang perempuan yang bekerja di luar rumah. Bahkan meski bekerja dari rumah pun sebagai wirausaha, pedagang daring, pelaku bisnis MLM atau penulis, selama tidak ada pembagian peran dan tugas antara suami dan istri, perempuan tetap memikul beban ganda. 

Apalagi jika motifnya ekonomi, berarti dia sudah membantu keuangan keluarga. Maka ketika perempuan sudah berbagi peran dengan ikut memikul beban ekonomi keluarga, bukankah seharusnya laki-laki juga ikut berbagi peran untuk membantu memikul pekerjaan domestik seperti memasak, mengepel, mencuci, menyetrika dan terutama adalah mengurus plus mendidik anak. 

sumber: Majalah Embun
Berharap laki-laki mau berbagi peran dengan perempuan di ranah domestik, bukan karena perempuan tidak menghargainya sebagai pemimpin. Laki-laki memang ditunjuk sebagai pemimpin bagi perempuan. Begitu yang tertulis di dalam kitab suci dan kita tidak boleh menyangkalnya. Tapi, bukankah pemimpin yang baik adalah mereka yang mau turun tangan untuk membantu?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi