Merawat hal kecil, menjagamu tetap waras

Zaman serba modern menuntut orang untuk hidup serba canggih. Mau minum tinggal pencet, tak perlu ambil air dan rebus terlebih dahulu. Mau masak tinggal colok ke listrik. Mau makan tapi males masak, tinggal pesan lewat ojek online. Semua canggih. Semua praktis.

Orang juga mulai melirik profesi canggih sebagai cita-cita (yang dianggap) mulia dan hmm, bergengsi. Dokter, Direktur, Pengacara dan sederet pekerjaan dengan titel (kalau bisa titelnya lebih dari satu) hehe. Tak ada lagi cita-cita jadi petani, peternak, atau tukang angkut sampah dan mendaur ulangnya. Beberapa waktu lalu saya bertemu orang di Medan, anaknya bercita-cita mendirikan start-up. Anak kelas 2 SMP udah tau start-up. Wehehe.. dagang bakso juga bisa disebut start-up loh, dek.. namanya kan usaha rintisan. Ya usaha bisa apa aja tho, gak harus berbasis teknologi. Tambah lagi satu pekerjaan bergengsi masa kini: founder start-up :))

Alhasil, ketika seseorang sukses dia enggan menggarap pekerjaan yang dianggapnya remeh. Misalnya, seorang wanita karir enggan ke dapur dan mengepel karena dia mampu membayar pembantu. Seorang lelaki sukses enggan naik angkutan umum ke kantor karena punya mobil atau menyetir sendiri untuk mengantar anaknya ke sekolah karena sanggup membayar supir.

Apa sebenarnya definisi sukses? Mungkin jabatan yang kita dapat sekarang adalah definisi sukses kita. Karena kita meraihnya dengan keringat, air mata dan darah. Atau pencapaian bisnis yang kita raih sekarang adalah kesuksesan kita, karena dirintis dari nol kini sudah punya omzet milyaran.

Tapi, saat roda hidup berputar dan kita berada di bawah apakah kita bisa berdiri tegak sama seperti saat kita berada di posisi puncak? Apakah kita akan tetap bergaul dengan leluasa di jejaring saat kita sudah tak lagi menjadi orang sukses seperti yang kita definisikan.

Maksud saya, saat kita membuat sekat antara kesuksesan dan kegagalan, kita akan sombong saat berada di atas dan minder saat berada di bawah.

Lalu, kita akan tergilas oleh cara pandang kita sendiri yang merasa diri kita rendah dihadapan orang lain hanya karena sudah tidak punya mobil seperti dulu. Sudah tidak cantik/ ganteng seperti dulu. Sudah tidak punya uang banyak lagi seperti dulu. Atau saat kita sudah tidak punya jabatan di lembaga atau institusi tertentu.

Cara pandang yang membuat kita mengelompokkan pekerjaan seorang tukang sapu ke dalam pekerjaan yang tak masuk definisi sukses. Menjadi pedagang kaki lima juga bukan bagian dari golongan orang sukses. Pekerjaan seorang perempuan saat menjadi asisten rumah tangga alias pembantu juga tidak sukses. Dan kita memandang rendah mereka. Padahal, tanpa mereka tak ada yang menopang hidup kita. Mereka lah yang menopang roda hidup sehingga kita berada di atas.

Misalnya kita jadi pengusaha sukses punya banyak karyawan, atau karyawan di perusahaan bergengsi gaji dobel digit di rumah pakai pembantu, tukang sapu kebun dan supir. Kita tak akan lagi familiar mengerjalan pekerjaan kecil seperti menyirami tanaman, karena kita sanggup membayar seorang tukang kebun.

Nah, saat kita tak lagi di posisi tersebut. Apakah kita akan setangguh dulu saat kamu mulai merintisnya dari awal. Jawabannya bisa jadi tidak. Karena mungkin kita sudah terlalu menyekatkan diri dan memberhalakan kesuksesan yang definisinya kita buat sendiri.

Kecuali, kita mau menjaga jiwa tetap waras dengan meluangkan waktu untuk mengerjakan hal-hal remeh yang selama ini dikerjakan oleh orang bayaran kita.

Seperti, paling tidak masih mencuci piring bekas kita makan walau masih punya pembantu. Masih menyetir sendiri walau hanya di akhir pekan untuk menghadiri undangan kolega. Sesekali berangkatlah ke kantor tak menggunakan kendaraan pribadi. Masih menyapu pekarangan rumah dan merawat tanaman. Dan masih banyak hal remeh yang bisa kita kerjakan untuk merawat kewarasan jiwa kita agar jauh dari sikap gengsi, sombong dan angkuh.

Senior saya pernah bilang, seorang Pram tetap gemar menyapu pekarangan rumahnya padahal dia masuk daftar kandidat peraih Nobel dan orang-orang memujanya novel-novel yang dia tulis. "Orang sempat heran, padahal sudah terkenal tapi masih suka nyapu pekarangan rumah memang ada yang salah, itu kan hal biasa. Cuma karena orang terbiasa anggap orang terkenal (orang sukses) jauh dari kegiatan remeh dan biasa yang bisa jadi rutinitasnya, melakukan kegiatan remeh yang dianggap tidak penting itu justru penting untuk merawat kewarasan jiwa kita untuk tidak gengsi, sombong dan melihat semua yang kita raih itu biasa saja," kata abang saya itu.

Berarti saya tak salah jalan, insya Allah akan tetap waras meski badai menerjang dan negara api menyerang. Saya tetap mengepel rumah sendiri, memandikan anak, memasak makanannya (eh yang ini emang wajib yah sebagai emak). Memilih ayam (hewan tak bergengsi), instead of kucing anggora atau anjing pudel, sebagai peliharaan anak saya. Mengeluarkan piaraan itu dan memberinya pakan, walau karena kegiatan itu membuat saya harus sedikit ngebut untuk menembus macet. Kegiatan itu semata-mata untuk menjaga saya tetap waras di tengah gilanya dunia materi yang fana ini. Horas Waras, bah!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi