Kenapa Kartini?
Setiap memasuki bulan April, saya kurang
antusias. Selain, saya lahir di bulan itu dan membuat saya jadi ingat bahwa
saya semakin tua, bulan April juga jadi bulan yang penuh kosmetika seremonial. Dan
semua seremoni itu tertuju pada satu sosok perempuan bernama Kartini. Buat yang perpikiran positif khas pebisnis, yang menarik dari bulan April juga bisa jadi peak season untuk jualan kebaya. Atau bahkan buat sineas yang ingin menambah pundi-pundi pemasukan, April juga jadi bulan yang baik untuk memanen untung dari film tentang Kartini.
Ah, saya yang fakir ide ini mungkin cuma mampu jualan post card tentang Kartini yang gambarnya saya unduh secara gratis di google :).
Ah, saya yang fakir ide ini mungkin cuma mampu jualan post card tentang Kartini yang gambarnya saya unduh secara gratis di google :).
Lalu, kenapa Kartini?
Padahal banyak sosok pejuang perempuan melakukan hal yang
lebih dari Kartini. Misalnya, Cut Nyak Dien yang keluar rumah bawa senjata
sampai meninggal di medan perang. Dalam konteks emansipasi, apa yang Cut Nyak
Dien lakukan lebih relevan. Sekarang ibu-ibu keluar rumah bekerja, jadi aktivis, punya bisnis jadi CEO dan lainnya. Sementara Kartini, sosoknya lebih lekat dengan sosok
perempuan yang nrimo, lebih sering di
rumah, identik dengan kebaya dan jarik yang membuat pergerakannya terbatas.
Kartini dekat dengan bangsa Belanda. Keputusan menjadikan
Kartini sebagai pahlawan juga dianggap sebagai keputusan politis. Belanda
menganggap sosok perempuan ideal adalah seperti Kartini. Yang tak keluar rumah
dan lebih patuh, meski di dalam batinnya dia bergejolak dan ingin melawan dan
keluar rumah untuk berjuang seperti kebanyakan pejuang saat itu.
Tapi, yang menarik dari Kartini dia menulis. Apa yang dia
tulis jadi lebih abadi ketimbang apa yang Cut Nyak Dien lakukan. Meski, mungkin
perjuangan Cut Nyak Dien lebih berat, sebab dia tak sekadar duduk manis dan
berkorespondensi dengan sabahat Belanda-nya.
Hikmah yang bisa kita ambil dari seremonial ini adalah, jika
kita ingin lebih banyak dikenang dan abadi maka menulislah. Lihat saja, dari
sebuah tulisan itu gagasan-gagasan Kartini lalu diimplementasikan walau tetap
dengan bantuan orang Belanda. Seperti mendirikan sekolah untuk para perempuan
dan lainnya.
Tulisan-tulisan itu dianggap gagasan paling cemerlang,
sehingga Kartini dianggap sosok perempuan yang berpikiran maju pada zamannya. Padahal,
beyond tulisan ada sosok perempuan
yang mempraktekkan gagasan-gagasan. Seperti Dewi Sartika dan Rohana Kudus. Menurut saya, mereka melampaui Kartini. Mereka menjembatani antara gagasan yang mereka yakini dengan praktek nyata.
Dewi Sartika tak hanya berwacana tentang pendidikan kaum
wanita. Dia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan bernama Sakola
Kautamaan Istri (1910). Sementara Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama
di kampung halamannya, Padang. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia
(1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di
Koto Gadang sampai saat dia mengungsi ke Medan. Dia tercatat sebagai jurnalis
wanita pertama di negeri ini.
Tapi, sejarah adalah milik penguasa panggung pada zamannya. Apa
yang kita bisa ambil hikmahnya adalah selain sibuk beraktifitas, tulis dan
catat kisah hidup kita agar tak hilang ditelan sejarah. Sebagaimana peribahasa
Latin kuno menyebut Scripta Manent, Verba Volant. Apa yang diucap akan mudah
hilang, sementara apa yang ditulis akan abadi.
Jadi, kenapa Kartini?
(Maybe) simply because, dia menulis! :)
Komentar
Posting Komentar