Bekerja dari rumah

sumber gambar: business tutplus


Tadi pagi di dalam gerbong kereta, saya mendengar percakapan antara dua orang ibu paruh baya. Kelihatannya mereka kawan lama yang sudah tak bertemu. Sebab, mereka saling bertukar informasi soal pekerjaan masing-masing. Ibu yang berdiri tampak masih sangat produktif dan kelihatan enerjik. Sementara ibu satunya yang tengah duduk, terlihat kebalikannya.

“Iya, jadi sekarang gue ikut Gojek, jadi suka terima order ke mana-mana buat mijit,” terang si ibu yang berdiri.

“Emang ada, ya?” tanya ibu yang duduk sedikit bingung.

Lalu, mereka lanjut ngobrol soal pekerjaan menjadi mitra Gojek itu. Si ibu cerita detail bagaimana bergabung dengan Gojek sebagai mitra Go-Glam yang menyediakan layanan massage dan perawatan tubuh lainnya. 
Jam kerjanya lebih fleksibel dan memungkinkan dia mengantarkan anak ke sekolah lebih lama, dan menyambi berdagang.

Beberapa waktu lalu di media online, tulisan Prof. Rhenald Kasali jadi viral soal distrupsi. Kenapa ekonomi dinyatakan lesu tapi jalanan masih tetap macet. Masalahnya ada pola dan struktur kerja yang berubah sejak teknologi ambil bagian cukup besar dalam hidup kita.

Sekarang, siapa saja bisa bekerja dari mana saja. Memang saat ini masih terbatas untuk beberapa pekerjaan tertentu saja. Saya jadi teringat pandangan Alvin Toffler di bukunya Previews and Premises, bahwa akan tiba masanya orang kembali bekerja dari rumah.

Sebab, revolusi industri sudah mengubah kehidupan keluarga sangat signifikan. Toffler bilang, revolusi itu memindahkan pendidikan ke luar rumah. Orang tua lebih mempercayakan pendidikan anaknya pada pendidikan di luar rumah, karena kesibukan mereka di tempat kerja yang juga berada di luar rumah.

Revolusi itu juga menciptakan pola kesibukan massal, orang setiap hari melakukan perjalanan pulang dan pergi antara rumah dan tempat kerja. Padahal, itu adalah kegiatan yang sangat antiproduktif.

Kalau masih ada kegusaran di hati kaum perempuan soal bekerja dari rumah atau kantor, saya rasa sudah tidak relevan. Sebab, pilihan itu sudah sangat usang. Di tengah fasilitas teknologi sekarang ini, kenapa kita fokus pada tempat kerja alih-alih bertanya ke dalam diri sendiri, jenis pekerjaan apa yang kita sukai.

Apalagi ada anggapan kalau kerja dari rumah bikin perempuan kudet dan terisolasi dari pergaulan. Menurut saya, itu argumentasi yang lebih tidak masuk akal. Sebab, manusia pada dasarnya adalah masuk sosial. Jika mereka merasa terisolasi mereka akan menemukan komunitasnya sendiri di mana pun mereka berada.

Jadi, kalau menurut Toffler, orang yang kerja di luar rumah justru cenderung tak aktif di lingkungan rumahnya. Sebab, begitu dia tiba di rumah energinya sudah habis terkuras untuk kegiatan di kantor, rapat dari satu tempat ke tempat lain, sudah ikut keanggotan klub di luar lingkungan rumahnya. Aktivitas pergaulan pun didominasi di luar rumah.

Sebaliknya, saat orang-orang bekerja dari rumah, atau Toffler menginstilahkannya ke dalam term ‘Pondok Elektronik’ (mungkn maksudnya, rumah yang terkoneksi dengan internet), orang akan keluar rumah setelah lelah seharian bekerja di dalam rumah. Sehingga, kegiatan gereja, masjid, teater, dan kelompok-kelompok masyarakat bisa hidup lagi. Sebab, balik lagi, naluri dasar manusia adalah bersosialisasi dan mencari teman.
Nah, kalau ada orang yang bekerja di luar rumah namun tetap aktif membangun komunitas di dalam lingkungan kompleks rumahnya, itu adalah kabar baik di tengah masyarakat yang cenderung individual saat ini.

Apa yang Toffler tulis di tahun 80-an itu sekarang jadi nyata. Industri manufaktur berguguran satu demi satu. Sebab, pasar tak lagi menyukai barang yang diproduksi secara massal. Makin beragamnya segmen pasar membuat produsen harus bisa memecah produknya ke dalam segmen-segmen tersebut. Permintaah pasar jadi dewa yang dituhankan. Tanpa menyembah dan mengikuti tren permintaan pasar, produsen akan tergilas persaingan.

Beberapa tahun lalu, seorang pengusaha tas kenamaan asal Bandung Ronny Lukito bilang, saat ini banyak pengusaha muda yang muncul ikut memproduksi tas. Mereka memproduksi tas skala kecil tapi dapat mengubah selera pasar tas secara umum. Mau tak mau, usaha tasnya yang bernama Eiger itu pun ikut memproduksi varian tas serupa agar tetap lekat di hati konsumennya. Beberapa bulan setelah obrolan tersebut, saya mendapati Eiger punya model tas baru yang jauh dari kesan outdoor. Desainnya sangat simpel, tanpa tali temali mirip dengan model tas kanvas yang banyak dijual di akun-akun Instagram. 

Balik lagi ke rumah, kalau kita sudah menemukan kegiatan favorit. Bekerja di dalam atau luar rumah bukan lagi jadi isu. Sebab, kini justru orang sudah tak pusing soal lokasi. Yang jadi isu adalah, apa yang jadi passion kita. Soal mengkonversi passion menjadi uang itu lain soal. Perlu ada satu sesi sendiri dengan para pakar marketing. Dan itu bukan wilayah saya, hehe.

Jadi, apa kabar baik hari ini? Apakah Anda sudah menemukan passion dan bisa kembali ke rumah sambil memupuk pohon passion Anda agar dia membuahkan perasaan bahagia. Saya belum. Mungkin harus mencari inspirasi dari balik dinding kandang ayam piaraan anak saya. :D 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi