Jokowi: Ekonomi Indonesia sudah move on ikut tren digital, apa pengaruhnya?

Dalam kunjungannya ke Selandia Baru, Presiden Joko Widodo memaparkan bahwa ekonomi Indonesia sudah move on dari ketergantungan terhadap sumber daya alam dan komoditas mentah. Presiden yang karib disapa Jokowi itu bilang, kini ekonomi Indonesia sudah bangkit mengikuti tren perkembangan ekonomi digital.

Memang betul, tapi ekonomi digital sebenarnya hanya dinikmati oleh segelintir orang. Namun, tenaga kerja yang punya keterampilan khusus saja yang dapat diserap oleh industri digital ini. Itu pun banyak riset menyebut bahwa tenaga kerja digital Indonesia seringkali tidak memenuhi kualifikasi dan kebutuhan industri.

Misalnya, Gojek membangun pusat litbang - yang jadi urat nadi bisnis perusahaan start up - di India. Di pusat litbang ini kebutuhan tenaga kerja bidang teknologi informasi sangat tinggi.

Wakil presiden Performance Marketing Gojek, Andra Winatama juga mengakui saat diwawancara media daring Tirto.id, bahwa secara umum kendala bakat adalah salah satu masalah yang dihadapi perusahaan rintisan di Indonesia termasuk pada Gojek.

Saat saya mewawancarai Narendra Wicaksono, pendiri Dicoding Academy, dia menyebut tenaga kerja lulusan perguruan tinggi seringkali tidak match dengan kebutuhan di lapangan. Alhasil, perusahaan harus mengeluarkan ongkos tambahan untuk melatih keterampilan mereka agar sesuai dengan kebutuhan. Celakanya, ada juga perusahaan digital yang memilih tenaga kerja impor siap pakai. Industri digital memang sangat dinamis, maka kurikulum harus menyesuaikan dengan kebutuhan industri dan diperbarui setahun atau dua tahun sekali.

Nah, lantas siapa yang menikmati ekonomi digital saat ini? Hanya segelintir orang. Memang, pengaruh perusahaan rintisan terhadap penyerapan tenaga kerja seperti mitra Grab, Gojek, Uber cukup tinggi. Pada tahun 2016 lalu, Badan Pusat Statistik mencatat pengangguran terserap industri ini sebanyak 530.000 orang. Lalu, pada 2017 sebuah lembaga riset bernama AlphaBeta merilis hasil survei bahwa sebelum bergabung, 43% mitra pengemudi transportasi online adalah pengangguran.

Berapa total pengemudi transportasi online? Di laman websitenya, Gojek mengklaim memiliki 300.000 mitra pengemudi dan Grab punya mitra sebanyak 320.000 orang. Sementara, Uber tak pernah mengekspos jumlah mitra pengemudinya.

Yang pasti, mitra pengemudi ini tak hanya bergantung di satu aplikasi saja, lo. Beberapa kali saya menggunakan jasa transportasi online para pengemudi mengaku menggunakan dua aplikasi.

Sekali lagi, yang menikmati adalah mereka yang punya akses dan modal. Tidak semua orang punya modal untuk beli unit kendaraan roda dua. Apalagi roda empat. Juga, tak semua daerah tingkat pemesanan transportasi lewat aplikasi on-demand ini tinggi.

Lantas, apa sektor ekonomi yang seharusnya bisa jadi kebanggaan petinggi negeri? Menurut ekonom INDEF, Faisal Basri, sektor manufaktur, perdagangan dan pertanian yang seharusnya menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebab, penyerapan tenaga kerjanya besar sekitar 64% dan menyumbang PDB sebesar 46,31%. Sektor manufaktur juga dapat menjadi andalan ekspor dan membuahkan devisa bagi negara. Sektor manufaktur padat karya, sedangkan sektor digital padat modal.

Saat ini, kondisi ekonomi Indonesia sudah membaik. Ekspor dan impor Indonesia kembali tumbuh setelah lima tahun berturut-turut lesu. Sejak tahun 2012 pertumbuhan ekspor-impor non migas Indonesia melorot dari US$190 miliar sampai posisi di 2016 US$145,2 miliar. Tahun 2017 tumbuh menjadi US$168,7 miliar.

Begitu juga dengan kondisi pasar saham juga menyentuh rekor 12 kali di tahun 2015, 38 kali di tahun 2017 dan 10 kali di tahun 2018. Sekarang bahkan IHSG sudah bertengger di angka Rp6300-an.

Namun, pencapaian ini tak lantas membuat ekonomi tumbuh melesat. Indonesia masih berkutat di kisaran angka 5% saja. Penyebabnya sektor manufaktur yang lemah tadi. Selain itu, secara harga produk manufaktur Indonesia juga kurang bersaing karena biaya logistik yang cukup tinggi.

Sudah tahu negara maritim, pembangunan yang digalakkan justru jalan tol darat. Walau tol laut juga jadi program pemerintah Jokowi, tapi belum pengaruhi disparitas harga. Sebab, seringkali kapal pengangkut pulang dalam keadaan kosong. Program tol laut tak sekencang program bangun jalan tol darat. Biaya angkut menggunakan truk tentu lebih mahal daripada menggunakan kapal laut. Tapi, entah kenapa pemerintah justru semangat sekali membangun tol Trans-Sumatera ketimbang fokus membenahi jalur laut antara Sumatera dan Jawa.

Karena sektor manufaktur lemah ini, pertumbuhan Indonesia tak seperti pertumbuhan negara-negara ASEAN lainnya. Pendapatan per kapita Indonesia melorot dalam tiga tahun berturut-turut. Saat ini, pendapatan per kapita Indonesia hanya US$3.400 saja. Jauh dibanding negara jiran, Malaysia US$9.850.

Tapi, seringkali pemerintah mengagungkan pencapaian berbasis jumlah penduduk. Memang, jumlah penduduk yang membuat Indonesia selalu berada di peringkat atas dalam berbagai ranking. Sebut saja, Indonesia sebagai negara penyumbang terbesar kelima bagi pertumbuhan ekonomi dunia. Posisi pertama ada China, disusul Amerika, India, Eropa lalu Indonesia. Sumber dari World Economy Forum.

PDB juga terbesar kelima. Kalau pengkalinya adalah jumlah penduduk, ya pengguna Facebook dan WhatsApp terbesar juga di Indonesia. 250 juta jiwa, gitu. :)

Sekarang, pemerintah kembali bangga dengan tren ekonomi digital yang sumbangannya tak sebesar ketiga sektor tadi. Kalau pembicaraan dan kebanggaan ini sebagai usaha memikat calon investor, mungkin tak apa. Dan sektor manufaktur mungkin diam-diam sedang dibenahi juga. Yang jadi masalah adalah, kalau persoalan ini sebenarnya tak diketahui oleh Presiden Jokowi karena tim yang mengelilinginya menutup-nutupi. Kesian kan, Pakde kalau nanti target pertumbuhan ekonominya selalu tidak tercapai, dan dia bingung salahnya di mana.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi