Gantung Recorder
sumber: stockunlimited.com |
Sudah satu bulan saya menggantung recorder. Tidak dalam arti harfiah, sih. Sebab, saya tak benar-benar punya recorder. Hanya meminjam istilah pesepak bola yang pensiun. Iya, saya pensiun jadi jurnalis. Satu keputusan besar dalam hidup saya, mengingat profesi itu adalah mimpi sejak saya di bangku sekolah. Profesi yang menggenggam akses apapun dan terhadap siapapun atas nama publik.
It was a tough decision, but I have to pursue my other interest.
Salah satu rekan seprofesi saya bertanya baru-baru
ini, apakah saya rindu menjadi jurnalis. Well, dia salah timing. Saya baru satu
bulan meninggalkan profesi ini, ibarat meniqa ya lagi hawt-hawt nya :D Tentu saya
jawab, enggak.
Ya, tahulah. Tak ada yang sempurna, begitu juga
profesi. Walau jurnalis punya kemewahan akses, ada satu hal dalam profesi ini yang
membuat saya berpikir ulang untuk menjadikannya pelabuhan karir.
Seperti kata pepatah, ada dua hal dalam hidup yang kita tak boleh salah dalam memilih: pekerjaan dan pendamping hidup (suami/istri). Sebab, kita akan menghabiskan umur kita dengan keduanya.
Pertama, waktu kerja. Saya suka waktu kerja
fleksibel yang dimiliki profesi ini. Memungkinkan saya bisa mengatar jemput
anak sekolah dulu. But, saking fleksibelnya seringkali harus pulang larut
malam, apalagi kalau sudah naik jabatan jadi editor dan harus jaga kandang. Jam kerja berbeda dari kebanyakan profesi pada umumnya yang mengusung 9
to 5.
Kedua, bergantung pada narasumber. Ya iyalah!
Err, maksudnya cepat atau tidaknya pekerjaan selesai tergantung respon
narasumber apalagi kalau deadline mepet untuk terbit besok pagi. Artinya harus selesai malam itu juga dan sebelum jadwal percetakan tutup. Ini berlaku
untuk jurnalis yang bekerja di koran harian. Seketat apapun kita mengatur jadwal harian kita, tak berlaku di profesi ini. Sebab, bisa saja molor lantaran menunggu jawaban dari narasumber.
Saat hamil anak kedua, saya sering pulang malam karena harus piket jaga kandang. Tak masalah kalau tak ada liputan, artinya saya bisa bawa mobil dan berangkat agak siang. Tapi kalau harus ada liputan pagi, lalu balik jaga kandang dan dapat rekan nulis tandeman yang ngaret. Ucapkan: kopi mana kopi? Sambil lambaikan bendera putih.
Ketiga, apa ya sebutannya. Hehe. Begini,
berkarir di meja redaksi membuat saya hanya memikirkan konten. Bagaimana membuat
konten yang bagus, revelan dan menarik bagi publik. Semakin tinggi karir, tetap sama. Bagaimana
bisa menghadirkan konten yang bagus. Mengedit pekerjaan jurnalis junior, menyusun topik
untuk edisi selanjutnya, rapat redaksi untuk menentukan mana yang layak jadi berita cover atau headline, dan sampai larut malam memastikan proses
editing selesai hingga siap diterbitkan. Pulang dini hari, lalu pagi harus
sudah ON lagi karena ada keluarga dan anak yang harus diurus. Jika tak
pintar-pintar bagi waktu, semakin tinggi karir di profesi ini justru semakin
sulit menjalin relasi karena rutinitas tersebut.
Akhirnya, kehilangan ruh. Karena tak
benar-benar menjalin hubungan yang baik dengan narasumber dan menyerahkan hal
itu sepenuhnya pada jurnalis junior di lapangan. Lalu, apa kerja kita? Jadi
tukang editing bukan mimpi dan harapan saya. Tapi, ingin beyond dari itu
sebagaimana jurnalis seharusnya, berat juga.
Sepertinya 24 jam tak cukup untuk profesi
ini. Mungkin, ya. Kecuali bekerja di media yang terbitnya seminggu atau sebulan
sekali. But now everybody goes online, right? Saya ingat betul ucapan Budiono
Darsono, pendiri Detik.com yang sekarang memimpin Kumparan. Dia bilang, tengah malam
sebelum istirahat, dia masih harus buka laptop untuk mengecek apa yang sedang
terjadi di dunia dan di luar sana. No, that’s not kind of life I want to live
in. Profesi jurnalis juga tak memungkinkan saya berpikir strategis. Apa yang
ada di otak saya adalah membuat konten yang bagus untuk dibaca publik. Urusan strategi
bisnis, serahkan pada manajemen.
Keempat, this is last but not least:
benefit and salary. Ya, kita bekerja to pay our bills and buy our dreams kan
ya. Dengan ritme kerja yang menuntut militansi seperti itu, saya pikir fasilitas,
benefit dan salary yang ditawarkan way to far from the expectation. Sampai-sampai
di tempat baru saya sekarang, dengan ritme yang tidak serusuh di media, saya
selalu berpikir: do I deserve these facilities and benefits? Tapi ya itu mungkin
cara kantor baru saya dalam mengapresiasi karyawan dan menganggapnya aset yang perlu
dijaga atau dirawat. So, saya belakangan jadi suka gemes sama yang kerjanya
slowmo-slowmo. Pengen banget jitak: hey, lo tuh dibayar mahal, tauk! Kerja yang
bener, dong. (Hahaha sok iye).
Ini keempat pertimbangan saya kenapa saya
memutuskan gantung recorder. Gak kangen kerja di luar kantor? Kangen sih, sesekali
bertandang ke kantor narasumber, selesai wawancara ngobrol ngalor ngidul. But, setelah dihitung-hitung bekerja dari luar
kantor lebih boros. Sebab, harus nyari tempat nongkrong untuk numpang ngetik,
ongkos untuk mobilitas dan lain sebagainya. It would be much better if we work
in a very homy and cozy office, right?
Saya sangat mengapresiasi kerja-kerja rekan
jurnalis. Hats off! Makanya, jika ada
konten-konten saya anggap bagus namun berbayar, saya tak segan untuk subscribe
(sekarang udah ada anggarannya, hahaha gaya). Kenapa Tirto masih gratis, ya
anyway. Kesian, padahal banyak yang baca dan sebar link beritanya, lo.
Ninggalin jejak ah...kok kita pilih theme blognya sama ya. Sama2 gratisan. Akakaka
BalasHapusWakaka iya, jarang update juga. Duitnya mending buat tambahan saldo GoPay
Hapus