Kenapa kita beragama?


Karena keturunan, atau keyakinan?

Kalau karena keturunan, apakah akan menurunkan agama yang sama tanpa keyakinan?

Kalau karena keyakinan, apakah yakin agama yang kita anut sudah benar?


Sebelum jauh menjawab pertanyaan tersebut, ada hal mendasar yang perlu dijawab. Kenapa kita perlu beragama? Kenapa agama tercipta, atau diciptakan?


Agama tercipta sejak ribuan tahun lalu. Kebanyakan manusia meyakini ada satu kekuatan atau zat yang punya kekuatan yang telah menciptakan kehidupan.


Agama menjadi salah satu jalan yang ditempuh manusia untuk berkomuikasi dan mendekat kepada zat kekuatan tersebut.


Sebelum Muhammad, sebelum Yesus, sebelum Buddha ada seorang Zoroaster. Dia mendapatkan visi tentang satu-satunya Tuhan yang tertinggi. Itu terjadi sekitar 3.500 tahun lalu. Setelah 1.000 tahun Zoroastrinisme terbentuk, ia menjadi agama monoteistik besar pertama di dunia. Zoroaster menyembar api. Agama ini menjadi kepercayaan resmi kekaisaran Persia. Setelah kekaisaran runtuh para pengikut Zoroaster dimualafkan ke agama baru penakluk mereka, Islam.


Kenapa ada agama dan kenapa orang percaya?


Ada banyak teori menyebut kenapa agama dilahirkan. Seorang filsuf Perancis abad ke-18, Voltaire menulis, “Jika Tuhan tidak ada, maka sangat perlu untuk menciptakannya.”
Dia berpedapat bahwa kepercayaan kepada Tuhan diperlukan agar masyarakat berfungsi. 


Karena saya lahir dalam keadaan Islam, tulisan ini tentu jauh dari kata netral. Pertanyaan kenapa kita beragama yang saya tulis di sini tentu lebih relevan untuk mereka yang menganut Islam. Dan pertanyaan apakah yakin agama yang kita anut sudah benar, tentu akan kita jawab bersama dengan argumen-argumen dan sumber-sumber Islam. – disclaimer. 


Kenapa ada agama? Dalam konteks Islam, karena manusia dan Tuhan itu dekat. Manusia adalah salah satu ciptaan-Nya. Ini termaktub dalam kisah-kisah nabi, disebut bapak moyang umat manusia, Adam, begitu turun dari surge ke bumi tidak mengerti apa-apa. Sebagai makhluk pertama di dunia, dia hanya berkomunikasi dengan Tuhan.


Nabi-nabi diturunkan dalam setiap generasi untuk re-directing manusia untuk mengenal Tuhannya, penciptanya. Sebab, Tuhan tidak terlihat, manusia senantiasa mencari-cari sumber kekuatan di luar dirinya untuk bersandar. Ada yang melihat bintang dan aneka benda langit dalam tata surya sebagai Tuhan, saking bingungnya. Ada juga yang menganggap api sebagai sumber kekuatan dan menyembahnya.


Hampir semua nabi diturunkan dalam sejarah berasal dari Bani Israil. Semua punya misi yang sama. Mengembalikan khitah manusia sebagai ciptaan Tuhan. Tuhan menciptakan manusia dengan satu tujuan. Dan dalam perjalanan sejarah umat manusia, seringkali manusia-manusia ini melenceng dari apa yang Tuhan inginkan.


Kalau ada pertanyaan kritis, kenapa sih Tuhan harus disembah? Saya nanti akan sampai ke situ.

Sementara ini, kita ngobrol dulu soal kenapa nabi-nabi diturunkan dan agama-agama diciptakan? Semua nabi turun karena ada masalah di satu masyarakat dan tatanan sosial. Misalnya, Musa yang diutus karena saat itu Mesir sedang menghadapi Firaun yang mengaku Tuhan dan Bani Israil dalam ancaman.


Hanya Muhammad, nabi yang berasal dari bangsa Arab. Kenapa?


Merujuk buku Muhammad karya Martin Lings, saat itu bangsa Arab lah yang paling membutuhkan kehadiran Nabi. Bangsa Arab kala itu punya kualitas buruk dalam soal tatanan sosial dan seringkali bertikai. Belum lagi Ka’bah sebagai warisan agama moniteis dari Ibrahim melenceng menjadi pagan dan banyak patung-patung berhala di sekelilingnya.


Islam saat itu menarik perhatian bangsa Arab karena menekankan kehormatan, kejujuran, kerendahan hati dan kasih amal. 


Tentu, ini tidak terjadi pada kaum Yahudi dan Kristen yang sebelumnya punya taurat dan injil. Dari kedua kitab itu mereka mendapat konsep agama monoteis.


Agama selalu menjawab kebutuhan dan dapat memainkan fungsinya dalam masyarakat tertentu. Lebih dari kegiatan-kegiatan ritus.


Ritus Agama


Ritus agama dalam Islam terbentuk ketika Malaikat Jibril mengajarkan Muhammad berwudu dan salat. Kala itu, Muhammad sedang melakukan tahannuts atau penyendirian spiritual. Kegiatan mengasingkan diri ke tempat terisolir dalam waktu sekian lama agar terbebas dari kontaminasi dunia manusia bukan praktik aneh di kalangan bangsa Arab keturunan Ismail, putra Ibrahim.


Sejak itu, Islam dibangun berdasrakan penyucian ritual dan salat. 


Tapi, sebenarnya spektrum Islam tidak sebatas ritual dan salat semata. Muhammad diutus ke tengah masyarkat Arab karena kualitas kondisi masyarakat bangsa Arab belum baik. Bagaimana perempuan dianggap warga kelas dua dan perbudakan tidak berbelas kasih dan berperi kemanusiaan dan masalah-masalah sosial lainnya.


Muhammad hadir sebagai sosok panutan yang mengajarkan bagaimana cara bermasyarakat, mengajarkan akhlak selain mengenalkan tauhid atau keesaan Tuhan.


Tapi, belakangan dalam masyarakat, khususnya di Indonesia terjadi kesalehan ritual berbanding terbalik dengan kesalehan sosial. Ritus agama, hanya dimaknai sebagai ibadah yang menghitung untung-rugi, dosa-pahala. Padahal, kenapa kita diajarkan ritus ibadah dan menyembah Tuhan karena sesimpel, Tuhan ingin kita berkomunikasi dengan Dia.


Dalam sebuah buku klasik, Rumi pernah menulis kisah tentang seorang pengemis. Dia mengibaratkan, seorang pengemis itu adalah seorang hamba dan pemberi sedekah adalah Tuhan.

Jika seorang pengemis langsung mendapat uang sedekah dari sang tuan padahal belum mengucap satu patah dua kata, Rumi mengibaratkan Tuhan tidak senang dengan hamba-Nya. “Ratapanmulah yang Aku senangi,” begitu dia tulis untuk menggambarkan, bahwa ada pengemis yang dibiarkan meminta lebih lama baru diberikan uang sedekah, karena sang tuan senang berada di dekat hamba tersebut.

Dalam buku Fihi Ma Fihi itu, Rumi ingin menggambarkan bahwa Tuhan senang berkomunikasi dengan hambanya. Pada hamba-hamba yang disenangi-Nya, Dia akan membiarkan hamba meratap dan berkeluh kesah dalam doa lebih lama.


Surga versus Neraka



Ritus ibadah ini adalah bentuk media komunikasi yang Tuhan berikan kepada manusia, ciptaannya. Manusia diperintahkan menjalankan ritus ini dalam waktu-waktu yang sudah ditentukan. Namun, kita masih berpikir dosa-pahala, surga-neraka. Sebuah konsep stick and reward yang Tuhan berikan karena kita masih kekanak-kanakan.


Ini sama seperti orang tua meminta kita belajar dengan baik agar menjadi pintar. Dengan iming-iming hadiah atau hukuman, kita semangat mengejarnya. Padahal, sejatinya itu untuk kebaikan kita sendiri. Begitu juga dengan ritus salat dan ibadah lainnya. Tuhan memerintahkan karena ada keutamaan di balik semua perintahnya. Karena saking dungu dan dangkalnya, kita hanya melihat dosa-pahala dan neraka-surga.

Belakangan, muncul riset ilmiah terkait manfaat menjaga kebersihan lewat wudu dan melakukan gerakan-gerakan salat dengan benar, terlebih jika dilakukan di awal-awal waktu.

Kenapa kita beragama?


Jadi, kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini. Kenapa kita beragama? Sesimpel karena kita butuh. Jauh di dalam diri dan hati kita ada kebutuhan untuk bersandar pada Yang Maha Kuat. Pada tahun 2015, Pusat Penelitian Pew membuat model prediksi masa depan dari agama-agama besar berdasarkan demografi, migrasi, dan konversi.


Pew memprediksi, Barat akan semakin sekuler. Sementara, di belahan dunia lain agama justru tumbuh cepat. Lembaga itu menyebut, agama terus tumbuh di tempat-tempat yang tidak stabil secara ekonomi dan sosial. Sebaliknya, kaum beragama akan menurun di tempat yang stabil. Para penganut agama terdorong oleh faktor psikologis dan neurologis. Ketika kehidupan sulit atau bencana melanda, agama memberikan benteng pertahanan psikologis.


Tapi, dalam tatanan masyarakat maju dan ekonomi stabil agama cenderung menurun. Ini terjadi karena agama dianggap tidak lagi relevan bagi kehidupan mereka. Terlebih bagi agama-agama yang tidak mengedepankan dialog dan cenderung dogmatis. Di masyarakat modern, maju dan berekonomi stabil, orang-orang cenderung berpaling dari agama terorganisir. Mereka menyesap ajaran spiritual dengan caranya sendiri. Mereka membangun kepercayaan pribadi mereka sendiri, tanpa ritus-ritus, tanpa institusi. Mereka meyakini agama sebagai nilai hidup, bukan ritus ibadah.


Dalam masyarakat miskin, pengikut agama akan berdoa untuk keberuntungan dan pekerjaan yang stabil. Sementara, jika kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi dengan baik, pengikut agama memeluk keyakinan cenderung untuk mencari kepuasan dan makna hidup. 


Di sini, peran-peran pemuka agama menjadi sentral untuk membuat agama menjadi relevan bagi masyarakat modern, urban, terpenuhi kebutuhan dasarnya.


Penting juga pemuka agama bisa menjadi rekan diskusi dan membuka ruang dialog selebar mungkin. Penting untuk berceramah tidak menggunakan narasi ancaman-ancaman. Penting untuk menyebut bahwa Tuhan sangat menyayangi manusia. Namun, perilaku manusia lah yang membuat Tuhan jauh, memunggungi manusia.


Saya selalu teringat pesan yang melawan arus utama tentang ibadah puasa. Umumnya, pemuka-pemuka agama kerap menyebut “sedih, ya puasa pergi?” “siapa di sini yang tidak sedih saat puasa pergi??!” Seketika jamaah berkata “sedih, ustaaaadz.”

Dalam kesempatan hening dan khidmat di Jumat malam itu, Cak Nun biasa orang memanggil pembicara dalam kenduri itu justru bilang. “Bohooong, kalau kita sedih bulan Ramadan pergi! Kita harus bangun malam-malam untuk sahur, nahan haus dan lapar untuk puasa seharian.” Seketika jamaah tertawa.


“Justru di sana letak keutamaan kita sebagai hamba Allah, dan bukti kecintaan kita. Saat kita diminta melakukan apa yang kita tidak suka, tapi kita masih melakukannya.”


Meski dia enggan disebut ustadz dan pemuka agama, sesungguhnya Indonesia butuh lebih banyak tokoh sepertinya untuk membuat agama dan ritus ibadah tidak jauh dan tetap relevan, dekat dan membumi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi