The Experience Economy: Menjajakan Pengalaman kepada Konsumen

Industri terus berkembang, agar perputaran ekonomi semakin kencang. Kini, industri tak lagi sekadar menjajakan barang dan jasa. Lebih dari itu, supaya laju bisnis berputar lebih maju pebisnis harus mulai menawarkan pengalaman (experience).





Era komoditas sudah lama musnah, era keemasannya adalah saat orang-orang Belanda menjajah negara kita sampai menemukan pala di Banda. Era barang, sedikit demi sedikit mulai terkikis. Pasar barang pabrikan besar kini mulai termakan oleh industri rumahan yang menjamur dan bisa langsung menemukan pembelinya lewat berbagai aplikasi jual-beli online.


Begitu juga dengan industri service atawa jasa. Tanpa nilai tambah, di tengah persaingan ketat dan dibantu teknologi orang akan mudah beralih hanya dalam jentikan jari.

 

Apa yang ditawarkan oleh experience economy?


Begini, di era penuh distraksi, distrupsi  dan persaingan ketat. Para pengusaha ini berperang memperebutkan perhatian konsumen. Waktu terbatas,dan perhatian langka. Sulit menangkap perhatian konsumen dengan iklan biasa atau kampanye marketing biasa. Tapi, ketika perusahaan bisa meng-engage konsumen dengan cara lebih personal, dia dapat perhatian, waktu dan tentu saja duit.

 

Mungkin, orang-orang kelas menengah rentan misqueen (kaya saya), akan menganggap Starbucks itu over price. Eh, tunggu dulu. Ternyata ketika saya dapat pekerjaan remote dan harus pindah dari satu tempat ke tempat lain, butuh tempat untuk nulis laporan, Starbucks adalah pilihan paling pas. Merogoh kocek lebih mahal daripada numpang kerja di warkop dan warmindo, jelas. Tapi, pengalaman saya menyesap kopi di sana sambil ngetik adem kena AC ditemani alunan musik jazz blues (daftar lagunya ada di sini) dan pencahayaan yang teduh, membuat harga itu jadi sepadan. Apalagi saya kalau menulis atau kerja butuh suasana nyaman dan kondisi yang kondusif. Kalau engga, kelarnya lama.

 

Apa bedanya dengan industri jasa? Kata Joseph Pine II dan James Gilmore dalam buku ini, services are about time well saved, while experiences are about time well spent”.


Well saved: kerjaan konsumen digarap oleh perusahaan. Instead of nyuci, kita lebih pilih ke laundry. Waktu kita saved untuk nonton drakor mengaji dan membaca buku. 


Well spent: berkesan banget ketika menghabiskan waktu saat menggunakan jasa perusahaan. 



 

Tentu beda rasanya makan di warung seafood pinggir jalan dengan makan di Bubba Gump Shrimp. Selain lebih adem, bisa foto-foto di resto. Industri jasa seperti restoran juga harusnya mulai merambah ke industri experience ini. Konsumen sekarang ke resto bukan cuma buat makan. Mereka pengen punya waktu luang untuk keluarga atau punya mini-vacation tanpa harus pergi jauh. Jualan makanan cuma properti dan fungsi yang dipakai saja. Intinya mereka nawarin experience, atau ‘eatertainment’ experience.

 

Kenapa baru sekarang nih munculnya?





Menurut dosen Universitas Columbia ini, semacam nature saja. Sudah alamiah bahwa nilai ekonomi terus bertambah dan bertransformasi. Dulu di era komoditas, ekonomi digerakkan oleh jual-beli komoditas. Makanya, penjajah sampai bela-belain berlaku jahat dan kejam buat dapat komoditas rempah di Indonesia. Karena laku banget di Eropa.


Lalu ternyata, komoditas saja engga cukup. Harus ada nilai tambah. Akhirnya, komoditas itu diproduksi di pabrik lalu diolah jadi aneka barang. Kemudian kita membelinya di pasar, di toko atau supermarket.


Terus, ternyata manusia modern ini makin sibuk. Sampai-sampai buat belanja ke pasar dan supermarket saja engga ada waktu. Hahaha.. akhirnya muncul deh restoran. Walaupun mereka menjajakan barang tangible (berwujud) dalam bentuk makanan, tapi sejatinya mereka industri jasa. Sebab, mereka engga ada inventory barang, tapi lebih mengirimkan makanan kepada konsumen yang memesan. Industri service atau jasa ini intangible alias engga berwujud. 


Industri ini menyelesaikan pekerjaan spesifik yang klien atau konsumen mau tapi mereka engga punya waktu. Jadi bedanya, industri barang/produk adalah memasok, industri jasa mengerjakan tugas dari konsumen. “Saya laper, anterin makanan” kata konsumen. “Siap otewe,” kata yang punya restoran. Di industri barang, konsumen akan bilang "Saya laper, ke supermarket ah beli bahan masakan".

 

Tapi industri jasa ini engga sebatas makanan saja. Semua jasa yang spesifik dan klien atau konsumen engga punya keahlian di situ, bisa punya nilai ekonomi. Contohnya banyak banget, mulai dari riset pasar, jasa tulis konten sampai jasa buzzer. Eh.

 

Nah, bagaimana cara kerja industri experience/pengalaman ini? 


Industri ini lahir dengan nilai baru. Seperti restoran Bubba Gump Shrimp tadi. Dia menawarkan jasa sebagai panggungnya dan barang sebagai properti untuk engage konsumen. Yah, mirip sama Warung Upnormal ya. Walaupun engga bisa foto-foto kece kaya di Bubba Gump Shrimp, paling engga bisa makan indomie sambil browsing dan stalking Instagram mantan pacar pake Wi-Fi gratis. Contoh paling relevan untuk eatertainment ini adalah Tsamara Resto yang ada di Kranggan, Jawa Barat. Konsumen yang datang bisa makan dengan nuansa piknik outdoor

 

Lalu, apa nilai tambah dari industri experience atau pengalaman ini?


Seperti dijelaskan di awal. Selain nilai tambah ekonomi terus bertransformasi. Salah satu faktor pendorongnya adalah orang makin demanding, perhatian sulit didapat, juga waktu makin sedikit, karena dipake scrolling Instagram Lambe Turah.

 

Buku ini sangat layak dibaca untuk mereka yang berbisnis juga bekerja di industri jasa. Bahwa jasa dan layanan saja engga cukup. Kalau business as usual dan engga ikut demand dan tren sekarang, konsumen akan cepat pindah ke lain hati.


Industri pengalaman ini engga sebatas bisnis offline kaya restoran, theme park dan lainnya. Bisnis online juga bisa. Selama kita menawarkan nilai lebih dari sekadar jasa dan produk. Misalnya, memikirkan customer journey untuk setiap step yang mereka lakukan di website perusahaan/ toko daring kita. 


Saya pernah pakai jasa perusahaan milik calon walikota Solo untuk memperbaiki gadget saya yang rusak. Tapi pengalaman saya di sana sangat buruk. Gadget saya lama kelarnya dan engga dapat kepastian kapan kelar. Ditambah, ada part lain rusak karena kesalahan teknisi sehingga harus nunggu lebih lama. Ketika kelar, engga dikabarin. Apa gunanya nomer hapeku dia simpan di database pelanggan? Ditelepon engga diangkat. Katanya sibuk banget, toko rame terus karena ada promo beberapa bulan terakhir. Plusss, engga dapat compliment buat ganti kekecewaan itu. 


Pengen diviralin tapi bapaknya presiden saya engga tega sama mas-mas CS-nya. Gajinya engga seberapa tapi kerja overload karena perusahaan ini sering promo di Instagram. 


Anyway, mau baca buku ini? Japri saya. Harga cincay. Hahaha.. Iklan ujung-ujungnya. 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi