Work from Home: Harmonisasi Kehidupan Personal dan Profesional

Pandemi memaksa kita bekerja dari rumah. Mungkin sebagian nyaman dengan cara kerja remote seperti ini, sebagian lain mungkin berjuang balancing antara tanggung jawab profesional dan tanggung jawab domestik. Mendampingi anak sekolah sambil monitor tim, dan mungkin sambil juggling other family demands. Banyak juga di antara mereka bisa jadi enggan mencampur kehidupan personal dan profesional. 

Sebelum pandemi, para pekerja bisa memisahkan kehidupan pribadi dan profesional. Tapi sekarang, bekerja dari ruang privat di rumah dan melakukan pekerjaan atau profesi kita secara jarak jauh, mungkin bagi yang tak terbiasa akan kurang fokus. Lagi meeting tiba-tiba anak tantrum. Sedang menulis email penting tiba-tiba hewan piaraan naik ke atas meja dan menginjak laptop. 

in between baby sitter, school tutor, and corporate slave

Saya cukup mengerti kondisi semacam ini ketika kita sulit memisahkan antara kehidupan pribadi dan kehidupan profesional. Work-life balance memang penting. Tapi, saya juga tidak sependapat kalau kehidupan pribadi harus terpisah sejauh itu dengan kehidupan profesional. Sebab, bukankah profesi yang kita pilih adalah karena keterampilan dan minat pribadi kita. 

Jadi jika ada yang mengatakan bahwa pribadi dan profesional benar-benar terpisah tidak masuk akal bagi saya. Jika kita memang memilih profesi yang tidak didasarkan pada minat kita, itu tidak berarti kita meninggalkan diri kita di rumah. Kita tetap membawa sebagian diri kita ke tempat kita bekerja. Begitu sebaliknya. Kita juga membawa serta jiwa profesional kita di rumah. We supposed to have a soul and skill that aligned to our job. 

Apa jadinya kalau guru perhitungan waktu terhadap anak yang belum paham mata pelajarannya. Apa jadinya, kalau polisi yang sedang cuti kebetulan menyaksikan penjahat beraksi di hotel tempat dia nginap. Masa engga ambil tindakan sedikit pun. 

The thing is, when you are living a professional life of a certain job, you have goals and objectives. Seperti guru yang punya objektif anak muridnya pintar dan mengerti pelajarannya. Seperti polisi yang harus membuat lingkungan aman dari tindak kejahatan. As simple as that. We have to stick on our goals and objective. 

Pandemi ini membuat saya merasa beruntung pernah menjalankan profesi yang sangat demanding. There's no difference between personal and professional life. When you are a journalist, you are a journalist whole heartedly. Wherever you are, whether you are on duty or off duty. 

Inget banget dulu kalau lagi mudik tetep ngumpulin bahan tulisan. Entah buat stok, atau buat ditulis online. Lagi on the way pulang di angkot tiba-tiba dapat kabar tulisan jadi headline dan harus nambah narasumber. Lagi makan di restoran padahal bayar pakai uang sendiri, selalu kepikiran ini menarik enggak ya buat saya ulas di kanal kuliner media online saya. 

Basically we just being a person that passionate about sharing something to public. I never turn off my cell-phone in any condition. Even, when I took care my husband in the hospital I did remote interview with my source. Well, except when I delivered my baby in surgery room. Malah waktu itu HP aktif juga sih tapi dipegang suami. Sempet ada narasumber telepon, mau konfirmasi berita yang baru naik, yang ditulis oleh rekan saya. 

So when you are being customer service, you have to be passionate about being that way, to be able to be reached by your customer and serve them. When you work as humanitarian as well. You just have to be agile and fast respond wherever you are. You are supposed to be focused on how to send aid as quickly as possible to ease the burden on disaster victims, right? Because I believe that the personal and professional are way more connected than you think.

Pandemi ini juga bisa membuka mata kita, bagaimana cara kira bekerja, bagaimana kita mengatur waktu, apakah kita dapat menyelaraskan kehidupan pribadi dan profesional secara nyaman. Apakah sisi personal dan profesional dalam diri kita aligned and connected one another. Jika tidak, bisa jadi mungkin kita adalah petani yang enggan kotor kena tanah, atau kita adalah dokter tapi takut darah. 

Dengan kecanggihan teknologi seperti sekarang, setiap orang harus mampu bekerja remote. Saya cukup oke dengan cara kerja baru ini, sebab saya tidak perlu menghabiskan 3-4 jam pulang pergi di perjalanan. What a waste. Waktu maupun ongkos. Saya pernah berceloteh dalam tulisan ini.

Dulu, saya pernah bekerja remote yang lebih rusuh. Pindah ke satu acara ke acara lain karena mengejar orang. Bahkan, numpang bekerja selama 5 jam di lobby kantor orang, untuk mewawancarai orang itu begitu dia keluar lift karena engga dapat konfirmasi waktu wawancara. That was the privilege that I got as journalist. In the name of public, transparancy, what so ever, menghadang pejabat juga dianggap wajar. Meh! Jadi remote cuma di rumah doang kaya sekarang cukup easy peasy


Tabik! ❤️

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi