Kisah dari Pesantren




Bagaimana Gontor akan bercerita tentang dirinya? 
Apakah tentang harapan membangun peradaban Islam dalam masyarakat Indonesia? Tentang impiannya melihat umat Islam bersatu dan merangkul semua golongan tanpa membedakan suku, ras, dan mazhab? Apakah tentang keinginannya melihat alumni berkiprah dan berkontribusi membangun negeri, menjadi politisi, pejabat, hingga diplomat? Atau cita-cita sederhana, keinginannya mencetak alumni berdikari, berdiri di atas kaki sendiri mampu membangun usaha yang meski kecil namun mampu menciptakan lapangan pekerjaan? 

Apakah ia akan bercerita tentang semua itu? 
Atau ia berangkat dari titik paling pribadi mereka yang bermukim dan menimba ilmu di sana? 

Sebab, Gontor juga merasakan kekhawatiran saat kamu menginjakkan kaki pertama kali  menggotong tas yang berisi baju-baju dan makanan kering sebagai bekalmu. Kamu makin khawatir saat barang bawaanmu ternyata harus melewati bagian penyortiran. 

Ia juga melihat senyummu saat keluar ruangan ujian lisan seleksi calon pelajar yang berjalan lancar. Saat itu, kemeja dan jilbabmu lecek sekali, karena kamu belum terbiasa menyetrika pakai setrika arang, tapi tak mengapa. 

Ia juga bersedih saat kamu menangis karena tak lulus ujian calon pelajar dan harus tinggal lebih lama untuk program akselerasi. Ia juga merasakan kekecewaanmu saat kamu harus tinggal kelas karena nilai yang belum cukup untuk naik ke jenjang selanjutnya. 

Di Pondok Gontor kamu senang dapat teman baru, bersemangat karena kegiatan yang beragam, sampai bersuka cita lantaran alasan sesederhana: dapat ayam saat makan malam di garis antrian paling depan. 

Tapi, di sana juga kamu pernah patah hati, kecewa, kelelahan akibat kurang tidur karena kegiatan yang begitu banyak dan ujian yang tak berkesudahan. 

Pada akhirnya, kisah sebuah pondok pesantren adalah cerita hubungan pribadi antara santri dengan pengalaman dan perasaannya. Keduanya dibangun hari demi hari, menciptakan relasi dan kesan berlapis dan tak kunjung selesai. 

Seperti sekarang, meski reuni diselenggarakan secara online kisah-kisah itulah yang menyeruak di beranda-beranda media sosial alumninya. Menjadi semacam oase di tengah kondisi yang menahan kita tetap di rumah saja. Tak ada arisan, tak ada kumpul-kumpul angkatan, dua kegiatan yang biasa kita lakukan setelah lulus untuk melepas rindu. Tapi kita patut bersyukur, sebab kini teknologi membantu kita kembali terhubung, bagaimana pun kondisinya. 



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi