Arena Gembira di Kampung Damai

Kampung Damai tentulah bukan satu-satunya pesantren putri yang menerima santriwati dari penjuru Indonesia. Tapi, hanya di sini kita bisa lihat santriwati dari Madura dan Sampit bisa bersahabat erat. Mereka adalah Ainun dan Binti. 

Ainun mengenal Binti saat keduanya sama-sama kehilangan ember di mansyar, area jemur dekat kamar mandi dua tahun lalu. Padahal, ember itu berisi cucian kotor mereka. Ember raib, cucian kotor teronggok di pojokan dekat pintu keluar. 

Siapa saja yang pernah kehilangan ember berisi pakaian kotor pasti tahu betul bagaimana perasaan Ainun dan Binti. Kesal, sudah pasti. Geram, tentu saja. 

“Padahal, baju pramuka akan dipakai dua hari lagi,” keluh Binti. 
“Iya, aku pun kehilangan jubah hijau, cuma tersisa jilbabnya,” kata Ainun menimpali. 

Dari ember, persahabatan mereka meluas. Mulai dari saling titip sajadah jika salah satu terlambat ke masjid atau ingin pergi duluan, gantian antri di dapur saat menu makan malam ayam, sampai saling berbagi makanan saat dapat kiriman dari orang tua. 

Belakangan mereka baru saling tahu bahwa Ainun dari Madura dan Binti dari Sampit. Saking akrabnya, teman-temannya bahkan tak tahu bahwa pernah ada Konflik Sampit pada tahun 2001 silam. Konflik antaretnis yang mengakibatkan lebih dari 500 kematian. Ainun dan Binti tahu, pernah ada konflik berdarah itu. Tapi, mereka tak paham kenapa perpecahan seperti itu bisa terjadi dan tak mau ambil pusing. Sebab toh di sekolah mereka terpajang foto presiden dan wakilnya yang sama. Setiap Senin, mereka juga menyanyikan lagu nasional Indonesia Raya dan mengerek bendera merah putih. 

Menjelang senja, Ainun dan Binti akan beriringan menuju ke Masjid Darussalam untuk salat magrib berjamaah. Seusai salat dan berdoa sekitar lima sampai sepuluh menit, mereka pulang ke kamar masing-masing. Merapikan mukena dan sajadah, lalu berlomba pergi ke dapur untuk menikmati setangkup nasi agak keras dan dingin dan lauk seadanya. Kadang, kalau sedang menu tumis kacang panjang atau kangkung, mereka menemukan ulat mati di antara potongan sayur itu. 

“Biar saja nasi yang keras dan dingin, yang penting hati kita tidak begitu,” celetuk Ainun pada Binti saat dia mengeluh soal makanan di Kampung Damai. 

Binti hanya mengangguk-angguk sambil mesem. 

Ainun lebih tua dua tahun dari Binti. Namun angkatan mereka hanya terpaut satu tahun. Mereka tidak satu angkatan, itu kenapa tak pernah saling kenal sebelum kejadian ember hilang. 

Setelah makan malam dan salat isya, keduanya langsung menuju singgasana belajar. Siapa yang sempat berjalan sambil belajar di sepanjang Jalan Nusantara, pasti melihat Ainun dan Binti belajar bersama di pinggirnya. Penduduk Kampung Damai biasa menyebutnya Thornus, alias Thoriq Nusantara, bahasa Arab dari Jalan Nusantara. 

Pinggiran Thornus dengan lampu paling terang adalah area favorit mereka. 

“Di daerahku tiap malam selalu ada pemadaman bergilir, susah sekali buat belajar nyaman karena pakai lampu pijar. Di sini enak, serba terang,” kata Binti. 

“Baguslah, jadi seharusnya nasi keras dan lauk seadanya bukan masalah berat, ya,” kata Ainun sambil tertawa. 

Malam itu, mereka harus menghafalkan beberapa kalimat mutiara yang biasa disebut mahfudzot dan merapal hadits beserta sanadnya. Di antara sekian banyak santriwati Kampung Damai, keduanya yang tiba lebih dulu di Thornus dan pulang paling akhir. Keduanya punya ritual setelah belajar: menulis dan menggambar. Hobi yang tersalurkan hanya setahun sekali. 

Asal tahu saja, Kampung Damai punya perhelatan setiap tahun bagi tingkatan kelas tertentu. Seperti Gebyar Seni Darussalam (GSD) untuk kelas empat dan tiga intensif (kelas akselerasi), Drama Arena (DA) untuk kelas lima, dan Panggung Gembira (PG) untuk kelas enam. 

Perhelatan ini jadi ajang pendidikan di Kampung Damai. Sebab, para pendiri percaya, bahwa pembentukan karakter tak hanya dinilai dari sisi akademis. 

GSD merupakan lomba persahabatan dalam bentuk drama dua bahasa, bahasa Inggris dan Arab. Selain bahasa, kreativitas, konsep, dan nilai-nilai dalam drama pun mendapat penilaian. 

“GSD bukan ajang untuk mengetahui siapa yang lebih baik dari siapa. Namun GSD adalah sarana kalian untuk belajar lebih dalam beberapa aspek kesenian dan bahasa,” begitu kata Ustadzah Zahroh, ketua panitia saat membuka acara GSD. 

Sama seperti santriwati Kampung Damai lainnya, Ainun dan Binti sangat menantikan ketiga acara perhelatan ini. Bedanya, kalau santriwati lain senang karena ini waktunya mereka mendapat hiburan dan tontonan seni, Ainun dan Binti punya rasa kepemilikan tinggi. Menulis dan menggambar adalah hobi keduanya. Tentulah ajang seperti ini jadi wadah mereka tampil dan unjuk gigi. Meski hanya di belakang layar. 

Tahun lalu, keduanya sudah merasakan nikmatnya bergadang, kurang tidur, dan dikejar-kejar bagian kemanan saat pulang terlambat ke kamar lantaran mengecat dekorasi panggung GSD. 

Tahun ini, Ainun sedang menyiapkan PG dan Binti sedang memikirkan konsep DA bersama angkatannya. Meski begitu, keduanya tetap belajar bareng. Meski mereka melakukan ritual menulis dan menggambar selepas belajar malam bersama, tapi mereka tetap profesional. Satu sama lain tak berbagi rahasia angkatannya. 

Biasanya proses persiapan dekorasi panggung memakan waktu dua bulan. Tim dekorasi seperti Ainun harus bekerja keras siang dan malam untuk menghadirkan dekorasi panggung triplek sepanjang 20 meter dan lebar 12 meter. Begitu juga Binti harus putar otak demi membuat narasi dan konsep drama musikal berbeda dari DA tahun sebelumnya. Seringkali mereka pulang dengan keadaan kostum warna warni lantaran kena cat. Ini benar-benar pentas seni a la anak SMA dengan standar tinggi. 

Banyak yang kenal Kampung Damai ini pesantren modern. Tapi, mereka tak paham bagaimana pendiri dan para guru di dalamnya merancang dan menjalankan pendidikan dengan metode modern. Termasuk pembetukan karakter lewat pementasan dan karya seni. Ada banyak pementasan dan karya seni rutin, seperti grup vokal, lomba musik, pidato, bahkan ada pementasan drama antar asrama. DA dan PG ini adalah acara pamungkas dan jadi pentas paling besar sepanjang tahun. 

Oh iya, perlu dicatat persiapan DA dan PG ini memakan waktu berbulan-bulan. Mulai dari penyusunan panitia, pengumpulan dana lewat sponsor, pengembangan konsep, penggarapan detil dekorasi dan kebutuhan pertunjukan, latihan, hingga menyiapkan kostum juga tata rias. 

Sedikitnya satu bulan para pemain perlu berlatih. Mereka memenuhi ruang publik di Kampung Damai dengan berkelompok sesuai peran dalam pementasan. Ada drama, hadroh, talkshow, wayang orang, kabaret, tari, grup vokal dan lainnya. 

Pentas ini bukan hasil pekerjaan tenaga profesional, tapi santriwati setingkat anak SMA. Pentas ini jadi ajang belajar bagi mereka. Dalam prosesnya semua pendidikan karakter diuji. Kreativitas, tanggung jawab, kepemimpinan, kemandirian, kerja sama, kerja keras, dan kedisiplinan. Memang hasil akhirnya adalah produk dan pementasan seni, tapi prosesnya adalah pendidikan. Selain pendidikan karakter tadi, Kampung Damai ini ingin menanamkan Panca Jiwa pada masing-masing santriwatinya. Dengan terlibat dalam acara seni sebagai panitia dan pemain mereka belajar Jiwa Keikhlasan, Kesederhanaan, Berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari), Ukhuwah Islamiyah, dan Bebas. 

Lelah bukan halangan, kantuk bukan hambatan. Gelas demi gelas kopi sachet yang mereka beli di kantin selalu tandas demi menjaga mata dan meningkatkan fokus. Belakangan, Binti tak hadir di pinggir Thornus bersama Ainun untuk belajar. Keduanya sibuk menyiapkan acara masing-masing bersama teman seangkatan. Sesekali mereka bertemu di kamar mandi saat mengantri bersama dan hanya melempar senyum. 

Maklum, makin dekat acara DA dan PG suasana jadi makin tegang. Sebab, di Kampung ini persaingan selalu dibuat-buat. Kata pendiri supaya sehat, termotivasi, punya daya juang, dan saling berkompetisi dalam kebaikan. Bagi Ainun dan Binti, persaingan dan kompetisi ini hanya sementara. Selepas itu, mereka tetap membutuhkan satu sama lain. Siapa bisa antri paling depan seperti Binti untuk dapat ayam? Siapa mampu mencairkan suasana dan melihat segala hal yang terjadi di Kampung Damai sepositif Ainun? Dengan kelakar dan tawa khasnya. 

Akhirnya, tiba acara Drama Arena dan Panggung Gembira. Gempita kedua acara ini menyeruak di mana-mana. Umbul-umbul bertebaran sepanjang Thornus hingga ke aula belakang. Kedua acara ini selalu digelar di penghujung pekan perkenalan Kampung Damai dan berlangsung selama dua malam berturut-turut. Para orang tua dan keluarga santriwati diperkenankan hadir, meski dapat duduk di belakang. 

Binti berkemas menuju panggung malam itu. Dia sudah /briefing/ dan melatih tim dramanya beberapa kali dalam sepekan terakhir. Begitu juga Ainun, bergegas lebih awal sebab ada detil dekorasi yang harus selesai malam itu. Mereka berpapasan di jalan. 

“Ma’anajah!” kata Ainun kepada Binti. 
“Terima kasih, kamu juga!” jawab Binti sambil merangkul Ainun dan menepuk pundaknya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi