Kunjungan ke Rumah Jawara Kali Pesanggrahan

Semalam berkunjung H. Chaerudin yang kerap disapa Bang Idin.
Aku begitu terpukau dengan pemahamannya tentang arti lestari yang selama ini hanya didengungkan oleh aktifis-aktifis lingkungan yang mungkin hanya beraksi di bundaran HI atau di depan DPR namun tidak ada langkah kongkrit dalam kehidupan sehari-hari.

Dari bang Idin aku mengerti bahwa hidup itu harus paham, karena pandai saja tidak cukup. Banyak orang pandai dan pintar di parlemen sana, yang karena kepandaiannya akhirnya merasa paling benar. Yang terpenting itu paham. Bahwa kita hidup harus memahami hakikat kehidupan dan karena kita menjadi bagian dari kehidupan makan kita harus menjaga kelestariannya dan menjaga mata rantai yang sudah ada. Menjaga kelestarian itu lebih dari sekedar bersih-bersih, buang sampah pada tempatnya. Menjaga kelestarian itu adalah menjaga seluruh mata rantai yang ada. Karena alam ini bukanlah warisan nenek moyang, tetapi titipan anak dan cucu.

Bang Idin tidak pernah mengharapkan apresiasi seperti sekarang yang ia dapatkan. Apa yang ia lakukan semata-mata ibadah. Menurutku ibadah yang lebih bisa diterima dari sekadar berdzikir tapi maksiat jalan terus, mengaji tapi tidak memahami kandungan Al-Qur'an dan tidak mempraktekkan ajaran-ajarannya.

Bang Idin berkata untuk apa kita bersholawat kepada Rasulullah hingga menangis-nangis tapi tidak pernah meniru perilaku beliau yang selalu menyapa anak yatim, menyantuni orang yang sakit, dan berlaku adil kepada sesama bahkan kepada alam ini.

Awalnya Bang Idin kesal dengan perlakuan warga terhadap lingkungan sekitar rumahnya yang seolah lupa dengan filosofi bahwa kali/sungai adalah sumber kehidupan. Hingga akhirnya Bang Idin pergi menyusuri Kali Pesanggrahan dari hulu hingga hilirnya, hanya untuk mengetahui ada apa di balik perlakuan tidak baik manusia terhadap sungai. Di tahun 1993 Bang Idin menyusuri kali dengan batang pohon pisang selama 5 hari 6 malam. Perjalanan yang sangat melelahkan tentu saja. Namun bagi Bang Idin ini ada tugasnya yang SK-nya dari langit.
Bang Idin sudah kenyang dengan benturan-benturan dengan orang-orang yang mengannggapnya aneh dan gila. Tetapi karena ruh dan panggilan jiwanya, bang Idin tidak pernah gentar. Menurutnya, jawara bukanlah siapa yang terkuat, melainkan siapa yang bisa membuat lawan menjadi kawan.

Ini terbukti, kini kearifan alam yang dipegang teguh oleh bang Idin bisa diterima. 40 hektar dipertahankan Bang Idin untuk konservasi alam. Bang Idin tak akan pernah tergiur dengan harga tanah yang 3 juta tiap meternya. Bang Idin adalah sosok yang bersahaja, meski diminta menjadi icon telkomsel, ia tidak mengambil honornya dengan syarat telkomsel menjadi sponsor tetap. Ini adalah wujud kerendahatian seorang Haji Chaerudin.

Menurutku Bang Idin lebih populer dari menteri lingkungan hidup, dan tindakannya lebih konkrit, lebih bijak dari guru spiritual, lebih memahami lingkungan daripada aktivis lingkungan. Relasinya dimana-mana, pernah mengelilingi dunia untuk memenuhi undangan dari berbagai negara. Film dokumenternya diputar di beberapa negara (inilah buruknya Indonesia, justru di negara kita film itu tidak pernah dikampanyekan).

Dari Bang Idin juga aku mengerti, bahwa Jakarta yang asal katanya dari Jayakarta lebih layak disebut daripada Betawi. Ini nanti akan aku posting di judul yang berbeda.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi