Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2012

Panduan Berpolitik dari Ruang Keluarga*

Gambar
*Tulisan ini dimuat di Harian Suara Tangsel, 29 Februari 2012 Saat ini masyarakat dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka hidup di era informasi, namun tidak banyak yang menyadari adanya hujan informasi. Masyarakat Indonesia masih banyak yang buta terhadap ‘alfabet’ media massa. Maka tak heran bahwa kini strategi para kaum elit adalah dengan tampil sedemikian rupa agar mampu tampil dengan baik di media massa padahal hanya simbolis semata tanpa substansi.  Ketika televisi lahir di Amerika, ada sebuah iklan di televisi RCA di tahun 1950-an yang mengatakan bahwa “Televisi membawa politik ke dalam masyarakat melalui ruang keluarga”.  Indonesia pun memiliki sejarah yang sama, bahwa televisi adalah alat propaganda pemerintah kepada rakyatnya. Ketika pada tahun 1967 TVRI lahir yang dibidani oleh proyek mercusuar. Kebijakan penyiaran pasca kolonialis diarahkan untuk menciptakan “harmoni semu” dengan sensor materi pemberitaan. Ketika kemudian swasta hadir di tahun 1990 televisi teta

Pelangi

Gambar
Aku tak pernah sesendu ini menyaksikan pelangi. Tapi pada saat aku mendapati pelangi di sore itu, tertanggal 10 Februari 2012, aku terpanggil untuk mengikatnya dalam ruang memori. Pelangi ini akan membuatku selalu mengenang. Tentang kampusku, Tentang warnanya, Tentang hidup dalam kampus yang berwarna. Meski gambar tidak dapat merepresentasikan perasaan ini seluruhnya. Tapi setidaknya ada hal yang dapat kembali kulihat saat aku mengalami perasaan yang sama.

Tentang Perempuan, Kaumku

Gambar
Pernahkan kita semua bercita-cita untuk memiliki jenis kelamin tertentu. Tentu tidak. Itu terjadi begitu saja. Seperti kebanyakan perempuan. Bukan keinginannya untuk hidup di bawah bayang-bayang lelaki. Dengan doktrin bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk lelaki memunculkan pandangan bahwa posisi lelaki selalu berada di atas perempuan.  Perempuan hanya butuh kesempatan, bukan pandangan direndahkan dan dijadikan warga kelas dua. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak tidak dapat lepas dari budaya timur yang cenderung patriarki.  Dulu sekali ada seorang perempuan Indonesia bernama Kartini yang berjuang sendiri untuk kaumnya dapat bersejajar dan memperoleh haknya dalam pendidikan. Di tengah kaum yang sangat patriarki dan seksis, Kartini bergelut. Meski akhirnya ia harus meninggal karena melahirkan, perjuangannya membuahkan pencerahan bagi perempuan Indonesia.  Dalam konteks masa kini, memang perempuan sudah dapat hidup lebih baik. Dapat bersekolah sam

Kepadanya

Gambar
Aku ingin bercerita tentangmu melalui bahasa tak beraksara.  Bahasa yang bahkan tak ada seorang penyair pun yang mengungkapkannya.  Ia hanya mengalir seperti air yang telah menemukan muaranya dan ingin bergegas menghampirinya.  Kamu suka tulisanku, dan aku suka menuliskan tentangmu. Jadi, apa yang menghalangiku untuk kembali menulis?  Kamu hanya tidak mengerti bahasaku. Seperti ketidaksanggupanmu membaca rinduku. Rindu yang telah lama mencipta sembilu di kalbu. Mungkin bahasaku harus menjadi angin. Meski tak nyata dapat kamu baca melalui matamu, namun ia ada berhembus menyegarkanmu. Tak perlu kamu mengerti, hanya perlu kamu rasa. Itu saja cukup bagiku.  Karena aku ingin kamu mengetahui bahwa aku selalu ada untuk membuatmu nyaman. Di sini.  Bagiku mencintaimu seperti bernafas di udara bersih, segar dan melegakan. Karena kamu satu. Ganjil yang menggenapkan. Kekurangan yang melengkapi. Dan kelebihan yang menyempurnakan.  Aku mencintaimu.

Tertipu Penjual Oleh-Oleh

Gambar
Pertengahan Januari lalu aku dan teman-teman kelasku mengadakan perjalanan ke Bandung. Perjalanan yang membuat kami akan selalu mengingat momen saat kali berkuliah di universitas. Tapi bukan tentang momen yang mengharu biru yang akan kuceritakan di blog ini. Hanya cerita lucu di balik rasa iba konsumen terhadap penjual oleh-oleh buah stawberry. Jadi begini, Aku dan teman-teman satu mobil saat itu sedang menunggu teman-teman di mobil lainnya bernegosiasi untuk tiket masuk ke Kawah Putih, dan seorang penjual strawberry mendekati jendela mobil kami dan mulai menawarkan produknya. Sebagai pembeli tulen, kami tentu menawar. Dari harga 20 ribu, kami tawar setengahnya 10 ribu. Awalnya tidak dapat, hampir saja kami tambahkan harga menjadi 12 ribu, tapi ternyata si Ibu (ya penjualnya memang perempuan) memberikan strawbeery itu dengan harga yang kami inginkan yaitu 10 ribu. Awalnya kami merasa menang, dengan harga 10 ribu dapat menikmati strawberry dengan jumlahnya yang lumayan daripada