Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2020

Ibu yang Tabah

𝗜𝗯𝘂 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗮𝗯𝗮𝗵 - 𝑱𝒐𝒌𝒐 𝑷𝒊𝒏𝒖𝒓𝒃𝒐 (2002)   Ibu itu mengasuh anak-anaknya sendirian sejak suaminya dipinjam negara untuk dijadikan kelinci dalam percobaan sistem keamanan.  Sampai sekarang belum dikembalikan, padahal suaminya itu sebenarnya cuma pemberani yang lugu dan kadang-kadang nekat.  Toh ibu itu tak pernah berhenti menunggu, meskipun menunggu adalah luka. Dan ia memang perkasa. Menghadapi anak-anaknya yang nakal dan sering menyusahkan, ia tak pernah kehilangan kesabaran. Setiap subuh ibu itu memetik embun di daun-daun, menampungnya dalam gelas,  dan menghidangkannya kepada anak-anaknya sebelum mereka berangkat sekolah.  Malam hari diam-diam ia memeras airmata, menyimpannya dalam botol, dan meminumkannya kepada anak-anaknya bila mereka sakit. Ia mendidik anak-anaknya untuk tidak cengeng. Ia paling tidak suka melihat orang mudah menangis. 𝐵𝑖𝑙𝑎 𝑎𝑛𝑎𝑘-𝑎𝑛𝑎𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎, “𝑀𝑒𝑛𝑔𝑎𝑝𝑎 𝐼𝑏𝑢 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑛𝑎𝑛𝑔𝑖𝑠?”, 𝑗𝑎𝑤𝑎

Normal Baru

Seorang sahabat datang mengeluh. Tentang cita-citanya yang tak kunjung utuh. Lalu kutanya: "memang apa cita-citamu?" Dia jawab, menikah.  Kutanya lagi. "Lantas, setelah menikah, apa cita-citamu?" Sederhana saja: ingin punya anak. Supaya dapat melanjutkan keturunan? "Bisa jadi," ujarnya.   Atau sekadar punya foto keluarga lebih utuh: ada ayah, ibu, dan anak. Setidaknya menurut versi orang kebanyakan.  Dia bilang, orang-orang di kampungnya menikah di awal usia 20-an. Dia kini berusia kepala 3. Sejawat ibunya kerap bertanya, kapan dia bercucu.  Aku kembali menegaskan, "apakah itu berarti cita-citamu adalah terlihat normal?"  Seperti orang kebanyakan. Tumbuh besar, menikah, punya anak, menghadiri wisuda, mengadakan pesta pernikahan dan mengundang tetangga hingga kolega. Syukur-syukur hidup sampai tua melihat cucu.  Dia jawab lagi, "bisa jadi." Melihat saja. Bukan merawat. Semoga si anak kelak bukan menjadi orang tua kelas pekerja kebanyakan

Menghardik Kesedihan

Gambar
​​ Hal yang paling menakutkanku adalah Bapak Ibu mati. Kupikir tak mungkin melanjutkan hidup tanpa mereka. Maksudku, sejak aku lahir mereka sudah lebih dulu ada. Tak terbayang, bagaimana jika mereka tidak ada.  Aku punya bayangan, Ibu mati karena penyakit gulanya. Sedangkan Bapak, yang tak punya penyakit bawaan, sesekali sakit perut karena punya masalah usus. Jujur, aku tak punya bayangan sedikit pun soal bagaimana Bapak akan mati.  Tapi, akhirnya hari itu datang juga. Pagi itu ibuku berangkat mengaji dengan suka cita. Setelah beberapa bulan vakum karena rumah kami direnovasi dan harus mengungsi, dia mengaji lagi. Seperti biasa, dia masih mondar mandir naik motor sendiri.  Biasanya jam 8 pagi pengajian selesai. Ibu sampai rumah kerap membawa aneka jajanan untuk kami sarapan. Tapi, pagi itu hanya ada telepon masuk dari nomer tak dikenal. Suara di ujung telepon bilang, ibuku dilarikan ke rumah sakit karena kecelakaan.  Aneh rasanya, melihat Ibu yang jarang sakit berbaring dengan selimut