Semesta Itu Bernama Gontor #1


Pernahkah kalian masuk pada sebuah tempat yang tidak memiliki jeda sedikit pun? Sebuah tempat yang tidak tidur, tempat bagai miniatur kehidupan? Aku pernah. Bahkan menetap selama 5 tahun.
Entah bagaimana aku masuk di dalamnya dan menjadi partikel yang turut mengambil bagian dalam setiap setting dan alur, bermimpi pun tidak pernah. Namun, menjalani kehidupanku di sana selama 5 tahun adalah bagai mimpi yang akan membuatku selalu mengingat tiap detail waktu yang bergulir. Semua begitu teratur, dan cepat. Waktu begitu berharga, dan tanpa jeda.
Kisahku berawal dari sebuah keputusan idiot, bahwa aku mulai bosan tinggal di rumah. Aku bosan naik angkot yang sama, bosan dengan jenis makanan yang sama, bosan dengan bisingnya kendaraan yang berlalu-lalang di depan rumahku, bosan dengan kehidupan yang itu itu saja. Maka, dengan sedikit pertimbangan aku memikirkan untuk melanjutkan sekolah di Bogor. Mengapa Bogor? 1) karena Bogor is my hometown. 2) karena di sana kota Hujan, dan aku suka sekali dengan hujan. 3) karena di sana aku bisa makan soto kuning sepuasnya. 4) karena waktu itu, (aku pikir) Bogor adalah kota masa depanku. 5) di kota Bogor banyak sekali sanak saudara yang lebih baik, dan sejalan pemikirannya ketimbang saudara yang di sini. Dan di sana ada sebuah Aliyah yang berada di pusat kota, MAN 2 Bogor. Namun, papa memberikan opsi yang sangat-sangat di luar perkiraan, aku dipondokkan. Tidak! Masuk pondok bagiku adalah dibuang. Aku takkan bisa mengecap kebebasan, aku takkan bisa mendengarkan musik, aku takkan bisa menyaksikan kejadian-kejadian penting di luar, seperti aku menyaksikan kerusuhan di tahun 1998, dan runtuhnya gedung World Trade Center di tahun 2001, yah meski dari tv, setidaknya aku well-informed, istilahnya tidak norak, atau ketinggalan info. Tapi, aku tergiur oleh perjalanan yang akan aku tempuh, I do really love travelling dan suka mengunjungi tempat baru. Bodoh memang. Aku tergiur dengan perjalanan panjang selama sehari, untuk dipenjara selama beberapa tahun. Jadilah aku berangkat, tanpa membawa persiapan yang berarti.
Pertama kali menginjakkan kaki di sana, aku merasa diantar ke gurun. Panas, dan gersang. Tidak ada pohon yang rindang. Hanya ada pohon palem, yang menurutku hanya untuk pajangan, penghias tepi jalan dan tidak meneduhkan sama sekali. Panas itu tidak hanya minimnya pohon, karena sejak turun bis dan masuk ke dalam, kain bernama jilbab tetap melekat, tidak boleh dibuka. Aku terdaftar menjadi calon santriwati, oh Tuhan, aku masih calon. Dan ternyata selama beberapa bulan aku masih calon. Ini sangat mengecewakan. Di saat teman-temanku sedang belajar pelajaran baru yang lebih seru, aku masih berkutat dengan pelajaran-pelajaran untuk anak SD, seperti bahasa Indonesia dan berhitung. Penderitaan tidak hanya sampai di sana, aku harus berjuang untuk makan dan mandi, semua serba antri. Kesabaranku diuji, ups.. dilatih.



Aku mulai merasa nyaman, ketika aku sadar bahwa aku telah berkenalan dengan manusia dari seluruh penjuru Indonesia. Aku suka bersosialisasi, dan mengamati watak dan kepribadian manusia yang berbeda budaya. Mereka unik, mereka mewarnai kanvas jiwaku. Mereka takkan pernah kutemukan jika aku bersekolah di sekolah umum. Di Gontor sangat plural, aneka orang dengan aneka sifat dan berlatarbelakang aneka budaya.
Aku dipertemukan dengan mereka, teman-teman terdekat yang memiliki keanehan dan keunikan masing-masing, tentu saja dengan pemikiran tingkat tinggi yang sama denganku, itu yang membuat kami bertahan. Sungguh aku baru memahami arti persahabatan di sana, bersama mereka. Jika aku boleh mendefinisikan persahabatan kami, adalah sebuah sweater hangat yang dirajut dengan benang kebersamaan, kepercayaan, pengertian, pengorbanan, dan ketulusan. Sweater yang selalu membuat kami hangat meski kami jauh dari orang tua dan sanak saudara. Sweater yang membuat kami saling menguatkan satu sama lain. Itulah kami, aku, Caesar, Pauz, iQi, Deena, Alice.

here they are:
iQi, me, Caesar

me, Deena
















Kemudian, aku dipertemukan dengan manusia-manusia yang cinta tanggal lahir dan bangga telah lahir pada tanggal lahirnya, dan bernaung di bawah bintang yang sama kemudian kami pun membentuk komunitas non-resmi, siapapun boleh bergabung dengan syarat berbintang.. Aries. Aries community namanya. Kami berbagi banyak hal, karena kami memiliki banyak kesamaan, sifat yang sama, mood yang sama-sama naik turun, ambisi yang sama, mimpi yang sama, hobi yang sama, sama-sama merayakan ulang tahun, dan keinginan berlebih untuk bisa keluar secepat mungkin dan segera menikmati saripati kehidupan yang lebih dari ini. Aries community terdiri dari aku, Dary dan Karisma.

We live to laugh, laugh to live our life, coz we’re just ordinary girls who want to enjoy our life. Kami berlajar bersinergi, bekerjasama. Meski kami adalah manusia yang tidak terorganisir, kami berlatih keras untuk mampu berorganisasi dan melakukan manuver perubahan untuk para anggota. Kami menggelar banyak perhelatan bersama. Drama Arena, Panggung Gembira, musyawarah, debat, diskusi, Festival Santriwati Intelek, seminar-seminar dan pelatihan-pelatihan. Kami membangun semesta kecil kami di dalam semesta raya Gontor. Kami membuat diri kami sibuk hanya untuk bisa melepaskan kejenuhan dan melepaskan diri dari keinginan untuk bebas yang menjerat jiwa kami.

gaya di ruang redaksi

sebelum bedah buku dan mabok kitab kuning

pelatihan menulis bersama Afifah Afra

kamar dalmations

mengerjakan background

Kami memang tidak pernah menghitung hari, yang kami lakukan adalah menikmati hari. Menikmati setiap waktu yang bergulir dan mengantarkan kami pada suatu masa. Masa indah kebersamaan, masa indah berbagi, masa indah tersiksa, dan masa indah dikarantina. Semua masa itu hanya tercipta di dalam semesta bernama Gontor. Semesta yang menghadirkan berjuta perasaan. Sedih, bahagia, horor, tegang, haru, bosan, suka cita, lelah, puas, bangga. Semesta yang begitu memiliki magnet. Semesta yang melahirkan jutaan bintang dan berjalan sesuai dengan orbitnya. Proses kelahiran yang begitu kompleks. Kamilah bintang-bintang itu. Dan kami telah menemukan orbit kami, bahkan sebelum kami dilahirkan.


b e r s a m b u n g . . .

Komentar

  1. kerenn

    oya mau tanya nih ,boleh kan (^_^ )
    yang foto "gaya di ruang redaksi" itu ada putih-putih kayak bulu-bulu di dinding tu buatnya gimana yah?
    bagi-bagi ilmu dongg :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi