Semesta Itu Bernama Gontor #2

Hidup itu memang aneh, kita takkan pernah tahu sampai kapan kita menjalani hidup bersama orang-orang yang dekat saat ini. Kita tidak pernah tahu kenapa kita ditempatkan bersama mereka, dan kenapa kita harus berpisah ketika kita sudah menemukan orang yang cocok untuk menemani kita dan berbagi di kala susah dan senang. Aku pun begitu. Dan keanehan hidupku semakin menyeruak ketika tiba-tiba aku terdampar di sebuah pulau bernama Sulawesi.

Aku memang tidak terdampar begitu saja, maksudku aku terdampar akibat keanehan pola pikirku sendiri. Aku memilih untuk tinggal di pulau itu selama setahun. Sekali lagi, ini karena aku tergoda untuk melakukan perlajalanannya tentu saja. Perjalanan selama 2 jam dengan pesawat menuju tempat baru dan terjerat di dalamnya selama 1 tahun. Oke, ini dua kesalahan yang tidak pernah aku sesali sama sekali. Jadi aku tetap akan membiarkan diriku mudah tergoda untuk melakukan perjalanan menuju tempat yang baru.

Sungguh nikmat menjalani hidup berpindah-pindah, dapat menemukan hal yang baru, berkenalan dengan orang yang baru, dan tentunya mencicipi makanan yang baru. Karena dunia ini begitu luas hanya untuk menghabiskan hidup di kota yang sama bertahun-tahun. Kata pepatah yang aku serap, bahwa manusia pun seperti air, jika ingin jernih mengalirlah, berjalan menuju tempat baru, kalau hanya diam di tempat saja, maka akan keruh. Semesta ini begitu luas, hampir ada di seluruh Indonesia. Sungguh aku tak pernah menyesal, meski harus kukorbankan banyak waktu, tenaga dan pikiran. Terlalu banyak hal dan informasi di luar sana yang terlewatkan memang, namun aku mendapatkan banyak hal yang takkan aku dapatkan di luar.

Pertama kali menginjakkan kaki di sana, semua asing. Apa yang harus aku kenakan dan apa yang harus aku ucapkan harus sesuai dengan aturan dan sistem. Meski tidak sekeras yang dulu. Aku dikendalikan oleh sistem. Aku bagian dari sistem. Dan aku ikut menjalaninya dan mengaturnya.

Kehidupan di sana sungguh membuka mataku lebar-lebar. Bahwa apa yang kukeluhkan tidak berarti banyak jika aku mengalami kehidupan seperti kebanyakan penduduk pulau yang menjadi tetangga sekitarku pada saat itu. Mereka sangat awam, sangat tidak well-informed, sangat mudah dikelabui, sangat mudah bilang iya pada pemimpin yang menawarkan janji manis. Keadaan mereka jauh dari fasilitas. Mereka jauh dari rumah sakit, mereka jauh dari pusat perbelanjaan, mereka jauh dari sekolah yang berkualitas, mereka jauh dari hiburan, mereka hanya dekat dengan kemiskinan, dan jika untung dekat dengan ke’pas-pas’an. Mereka jauh dari kehidupan madani khas masyarakat masa kini. Namun sayangnya mereka adalah mayoritas penduduk Indonesia. Miris.

Rindu, satu kata yang aku pahami artinya di sana. Satu rasa yang hinggap di sudut hati dan mengisi hari demi hari. Aku mengalami disorientasi. Namun semesta itu kembali menarikku untuk kembali fokus di dalam orbitku. Aku dikenalkan pada dunia broadcast. Di mana celoteh kian berharga dan bermakna. Aku kembali hanyut dalam arus agungnya. Aku lupa, dan rindu itu kubiarkan mengkristal. Aku kembali bermain. Kembali menertawakan takdir yang telah mengantarkanku dan teman-temanku pada masa itu. Dan aku tak pernah menyesal.
Dewasa, satu kata yang aku pahami artinya di sana. Satu sikap yang aku integrasikan dalam setiap aktifitas yang kulakukan. Mencoba untuk bijak, meski usia masih belasan. Sebut saja sebagai.. tuntutan peran. Satu hal yang sangat luar biasa kembali ditorehkan semesta itu terhadap diriku dan teman-temanku. Kami berperan. Dan kami menjalankan sistem. Bukankah setiap kita adalah pemain dalam panggung sandiwara kehidupan ini. Tuhan telah memilih kita sebagai talent-Nya. Kita terpilih dari ribuan sperma yang berkompetisi untuk masuk ke indung telur ibu-ibu kita. Aku menikmati peranku, meski berat dan sedikit terbebani dengan banyak tanggung jawab secara personal. Aku mengajar, aku membimbing, aku mengimami, aku mengayomi, aku mengasuh, aku menasehati, aku menyiar, aku mengatur, aku mengkoordinasi, aku menjadi delegasi, aku mewakili, aku menulis, dan aku pernah memasak meski hanya 2 bulan. Sekali lagi, proses kelahiran yang kompleks. Meski bosan dengan tempaan, namun aku mengerti betapa aku belum layak dilahirkan saat itu. Dan aku kembali belajar dan mendalami peran sebaik mungkin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi