Panduan Berpolitik dari Ruang Keluarga*

*Tulisan ini dimuat di Harian Suara Tangsel, 29 Februari 2012

Saat ini masyarakat dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka hidup di era informasi, namun tidak banyak yang menyadari adanya hujan informasi. Masyarakat Indonesia masih banyak yang buta terhadap ‘alfabet’ media massa. Maka tak heran bahwa kini strategi para kaum elit adalah dengan tampil sedemikian rupa agar mampu tampil dengan baik di media massa padahal hanya simbolis semata tanpa substansi. 

Ketika televisi lahir di Amerika, ada sebuah iklan di televisi RCA di tahun 1950-an yang mengatakan bahwa “Televisi membawa politik ke dalam masyarakat melalui ruang keluarga”. 

Indonesia pun memiliki sejarah yang sama, bahwa televisi adalah alat propaganda pemerintah kepada rakyatnya. Ketika pada tahun 1967 TVRI lahir yang dibidani oleh proyek mercusuar. Kebijakan penyiaran pasca kolonialis diarahkan untuk menciptakan “harmoni semu” dengan sensor materi pemberitaan. Ketika kemudian swasta hadir di tahun 1990 televisi tetap menjadi media yang hanya menyiarkan kebaikan-kebaikan pemerintah dan sosialisasi program pemerintah, selain tentu saja menyiarkan program hiburan. Komunikasi yang diciptakan adalah satu arah. 

Dewasa ini, dunia media massa Indonesia dipenuhi oleh praktik-praktik yang sama. Perbedaan dengan Orde Baru hanyalah siapa yang memainkan media saat ini bukan hanya pemerintah, namun mereka yang berhasrat untuk menduduki jabatan RI 1. Hegemoni media massa yang lahir dari lemahnya kontrol pemerintah dengan tidak adanya regulasi tegas tentang kepemilikan dan penyiaran membuat para pemilik media massa leluasa menjalankan misi pembentukan opini publik. 

Televisi hanya digunakan sebagai alat penyampai citra, warna dan logo partai politik tanpa ada proses pendidikan politik di dalamnya. Artinya para politikus tidak ada itikad baik untuk mencerdaskan pemilihnya. Tentu ada tendensi di dalam setiap pesan yang disampaikan. Karena saat ini kita hidup di dalam dunia alih-alih. 

Pemilu 2014 memang masih 2,5 tahun lagi, namun euforia pemenangan dan pencarian dukungan sudah semakin semarak di televisi. Sebut saja peminangan CEO MNC Hary Tanusudibyo oleh pemilik stasiun Metro TV Surya Paloh. 

Apa kabar dengan rakyat sebagai penonton panggung politik? Dunia media massa dan politik memiliki kesamaan, dramaturgi yang senantiasa membutuhkan sosok seorang pahlawan di dalamnya. Maka selagi media massa dan politik hadir di tengah masyarakat khususnya mereka yang masih buta ‘alfabet’ politik dan media massa hanya akan menjadi penonton yang pasif, dan celakanya jika mereka langsung mengamini informasi tersebut. 

Dan sampai saat ini televisi dan dunia politik kita tidak menampilkan sosok pahlawan itu. Sekali lagi hanya pengenalan simbol partai seperti logo dan warna, serta siapa kandidat yang dicalonkan. Ibarat artis, iklan politik adalah tempat memperkenalkan kandidat semata, sedangkan tahap kampanye nantinya hanya akan menjadi ajang ‘jumpa fans’ semata yang sifatnya simbolis dan tentu saja jauh dari substantif. 

Jika pembiaran praktik seperti ini terus dijalankan, maka panggung politik Indonesia hanya akan dipenuhi oleh citra yang abstrak dan simbolis. Dan media massa seperti kaca buram yang tidak dapat merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Keadaan yang sebenarnya akan senantiasa terdistorsi. Seperti ingatan rakyat yang pendek tentang jenderal di masa lampau berlumuran darah yang saat ini mencalonkan diri menjadi RI 1. Hujan informasi dalam bentuk iklan simbolis ini akan membuat rakyat sebagai penonton awam menyaksikan pahlawan ‘simbolis’ dalam panggung politik. 

Kita berharap media massa dapat lebih berimbang dalam menampilkan iklan politik. Dan tentu saja kita membutuhkan peran Komisi Penyiaran Indonesia yang mempertegas regulasi. Agar masyarakat penonton di Indonesia tidak hanya memiliki televisi berisikan iklan politik yang penuh distorsi. 

Panduan berpolitik di ruang keluarga bisa dimulai dengan hadirnya konten politik yang lebih berkelas daripada sekadar iklan politik atau tayangan talkshow yang menyudutkan partai politik tertentu. Seperti acara Provocative Proactive yang kritis namun tendensius. Kritis yang tidak mencerdaskan penontonnya. 

Panduan yang penulis maksud adalah seperti mengajarkan penonton untuk dapat lebih cerdas dalam memilih calon pemimpin yang baik, panduan bagi kaum pemilih pemula, dan jika pun ada iklan yang masuk harus disertakan sosialisasi program partai yang nyata dan bukan abstrak. Kalau pun ada talkshow, perlu menghadirkan para kandidat dari tiap partai politik, bukan hanya sekali ajang debat kandidat pada saat sudah dekat pemilihan umum. 

Dan masyarakat Indonesia harus lebih pandai memilah acara di dalam ruang keluarga dengan kotak ajaib bernama televisi. Literasi masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang masih buta alfabet media massa dan panggung politik. Selagi panduan berpolitik itu belum dihadirkan oleh media massa ke ruang keluarga kita, maka kita yang perlu memandu keluarga kita dalam melihat panggung politik. Semoga kita semua dapat saling mengingatkan keluarga dan orang terdekat kita untuk dapat berdiet menonton televisi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi