Tentang Perempuan, Kaumku

Pernahkan kita semua bercita-cita untuk memiliki jenis kelamin tertentu. Tentu tidak. Itu terjadi begitu saja. Seperti kebanyakan perempuan. Bukan keinginannya untuk hidup di bawah bayang-bayang lelaki. Dengan doktrin bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk lelaki memunculkan pandangan bahwa posisi lelaki selalu berada di atas perempuan. 

Perempuan hanya butuh kesempatan, bukan pandangan direndahkan dan dijadikan warga kelas dua. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak tidak dapat lepas dari budaya timur yang cenderung patriarki. 

Dulu sekali ada seorang perempuan Indonesia bernama Kartini yang berjuang sendiri untuk kaumnya dapat bersejajar dan memperoleh haknya dalam pendidikan. Di tengah kaum yang sangat patriarki dan seksis, Kartini bergelut. Meski akhirnya ia harus meninggal karena melahirkan, perjuangannya membuahkan pencerahan bagi perempuan Indonesia. 

Dalam konteks masa kini, memang perempuan sudah dapat hidup lebih baik. Dapat bersekolah sampai ke jenjang yang tinggi, berkarir, memimpin perusahaan, memimpin pemerintahan daerah, bahkan menjadi presiden. Namun itu kebanyakan terjadi pada masyarakat urban, pada kalangan yang berpendidikan. Masih ada yang belum mampu untuk mengakses pendidikan, dan masih terkungkung dalam budaya patriarki, budaya domestifikasi perempuan. 

Seperti yang dituturkan Elizabeth Fisher dalam bukunya Woman’s Creation, bahwa domestifikasi perempuan terjadi setelah domestifikasi hewan. Ketika manusia mulai memelihara binatang, laki-laki mulai berpikir untuk mulai memiliki anak, berawal dari memiliki seorang perempuan dan mengontrolnya. Pernahkah kalian berpikir bahwa emansipasi yang diperjuangkan Kartini belum optimal. 

Saya berpikir bahwa kita seolah berada di gurun ketika dari jauh kita melihat fatamorgana. Seolah-olah ada oase di depan, namun kenyataannya itu semu. Saat ini, banyak perempuan yang bekerja, baik di perusahaan swasta maupun sebagai pegawai negeri. Namun sedikit dari mereka yang bertindak dan diakui suaranya dalam proses pengambilan keputusan. Ketika seorang perempuan akan maju mencalonkan diri sebagai pemimpin, kenapa banyak lontaran pertanyaan tentang kredibilitas dan kemampuannya memimpin. Padahal pertanyaan itu tidak dilemparkan kepada laki-laki yang akan mencalonkan dirinya. 

Banyaknya dari kita terbuai oleh fatamorgana, dan tidak menyadari adanya deksriminasi halus yang masih memenuhi paradigma berpikir kebanyakan orang. Mungkin kita memang sudah menjabat posisi tertentu dalam sebuah struktur, tapi apakah suara kita didengar. Dan atau lebih parahnya, apakah kita yang menjabat posisi atau jabatan strategis merasa membawa banyak suara yang harus diperjuangkan. Jangan-jangan tidak. 

Saya punya cerita yang miris ketika bertandang ke kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Saat itu kami tidak bisa dipertemukan dengan staf ahli atau deputi menteri tapi hanya bertemu dengan humas. Dari obrolan saya menangkap bahwa kementerian tidak terlalu menguasai isu-isu keperempuanan. Artinya jabatan yang digenggamnya sekarang belum dapat melepaskan belenggu perempuan dari deskriminasi dan seksisme. 

Saya memang Islam, tapi menurut saya praktik poligami merupakan bentuk lain dari deskriminasi terhadap perempuan dan tindakan domestifikasi perempuan. Memang perihal poligami termaktub dalam Al-Quran boleh beristerikan satu, dua, tiga atau empat, tapi kerap kali ayat ini dikutip secara parsial, padahal jika tidak mampu berlaku adil maka satu saja. Poligami yang berkembang dewasa ini berawal dari nafsu, jika saya boleh berkata pedas. 

Ketika seorang lelaki merasa tertarik kepada wanita lain selain isterinya. Maka untuk melegalkan nafsunya dia menikahinya. Dan lagi-lagi memilikinya, inilah bentuk domestifikasi perempuan. Dimiliki dan dipelihara. Jangan bawa nama Nabi Muhammad dalam hal poligami sedangkan di sisi hukum yang lain kebanyakan laki-laki menafikan ajaran yang dibawanya. Lagi pula poligami Nabi adalah setelah kematian Siti Khodijah isteri pertamanya, dan orang-orang yang diperisterikan olehnya adalah mereka kaum papa, dan ada beberapa janda. Bukan seperti poligami yang banyak terjadi sekarang. 

Harusnya kita bisa lebih mengarifi teks yang Tuhan berikan sebagai panutan, dan tentunya memahaminya secara lebih humanis. Memanusiakan manusia. Memanusiakan perempuan. Perlu diketahui bahwa kenapa perempuan mendapat setengah bagian dari laki-laki, karena ketika sebelum ayat pembagian waris turun, kebanyakan bangsa Arab menikah antar suku atau kabilah agar terjalin ikatan silaturrahim. Ketika suami meninggal harta isteri menjadi milik suku suaminya, sehingga pada saat itu sering terjadi penumpukkan harta di antara suku tersebut dan mengabaikan keberadaan isterinya. Maka ayat ini turun sebagai jawaban atas ketidakadilan tersebut. Dan kenapa porsinya lebih sedikit? Itu karena agar tidak terjadi pertikaian antar suku. Islam sudah menjawab hak perempuan sebagai seorang pribadi atau manusia yang mampu mengurus hartanya. Namun, herannya kadang ayat tersebut menjadi landasan atas perbedaan antara perempuan dan laki-laki. 

Konteks masa kini, banyak dari perempuan yang menikah dan diberi hak beraktualisasi oleh suaminya, namun dalam peran di wilayah domestik yang menjadi kodrat kerap laki-laki enggan membantu dan berbagi tugas kerumahtanggaan dengan perempuan. Atau ada dalam beberapa kasus perceraian akibat jabatan isteri lebih tinggi daripada suami. Dalam kasus seperti di atas tidak lepas dari paradigma laki-laki yang tetap patriarki dan seksis. Memang kenapa kalau isteri lebih tinggi jabatannya? Apakah ego mereka yang membuat perceraian tersebut karena tidak terima dengan kenyataan tersebut. Atau isteri yang kerap dianggap tidak patuh terhadap suami. Kepatuhan dalam bentuk apa. Kenapa ketika laki-laki kerja dan harus keluar kota, tidak jadi masalah namun lain halnya jika perempuan yang terlalu mobile menjadi masalah, karena dianggap mengabaikan kodrat. 

Kodrat menurut hemat saya, adalah peran perempuan yang tidak bisa digantikan laki-laki, seperti mengandung, melahirkan, menyusui. Jika ketiga hal itu dapat dilakukan perempuan di tengah aktifitasnya kenapa harus dipermasalahkan. 
Perempuan hanya butuh kesempatan. Kesempatan untuk diberi akses untuk beraktualisasi tanpa mengungkit kodrat. Dan tentu saja dimengerti, bukan dideskreditkan. Bukan diungkit kesalahannya atas nama kodrat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi