Hikmah dalam Setiap Perjalanan

Ada banyak cerita dari setiap perjalanan yang kita lakukan. Seperti perjalananku akhir pekan lalu, mengunjungi daerah Jawa Barat. Daerah tersebut sebenarnya tidak terlalu terpencil seperti Papua, tapi cukup untuk merepresentasikan ketidakmerataan pembangunan. Tak heran jika banyak penduduk desa kocar kacir ke kota demi mengadu nasib.

Tapi, bukan itu yang ingin aku ceritakan di sini. Kita harus percaya bahwa hidup selalu meninggalkan tanda dalam setiap perjalanannya. Begitu pun kita. Hanya saja, tanda yang kita kenali seringkali material semata. Sesuatu yang tak kasat mata seringkali diabaikan.

Seharusnya dalam melakukan perjalanan kita harus membawa serta jiwa kita untuk berpetualang. Menyesap setiap aroma kehidupan. Betapa pun kadang aroma itu tidak begitu enak.

Seperti perjalananku Minggu lalu. Aku mencoba menajamkan sensitifitasku kembali, untuk dapat menangkap apa yang tak tampak.
Dan aku terhenyak ketika aku menyadari bahwa ada banyak hal yang harus kusyukuri dalam hidupku.
Perjalanan itu mengingatkanku, betapa hidup seringkali tidak sesempurna apa yang kita harapkan, tapi rasa syukur dapat menambal dan menyempurkannya.

Di tengah lembah Gunung masyarakat desa hidup dengan keterbatasan sarana, bahkan untuk hal yang sangat krusial seperti MCK. Nikmat kecil yang kerap kita abaikan. Dapat buang hajat dengan nyaman dan aman. Aku yang menghamba pada kenyamanan saat itu sama sekali tidak membuang hajat besar seperti teman-temanku. Tapi satu hal yang menamparku: betapa aku seringkali alpa untuk mensyukuri nikmat Tuhan.

Menyusuri desa, jengkal demi jengkal tanah yang subur dan indah. Menemukan tempat pemandian air panas yang masih belum terjamah turis. Betapa hal-hal yang alami selalu membuatku merasa damai.
Saat itu, sepertinya aku ingin membuka laptop dan mulai menulis.

Ada hal yang lebih menarik untuk dinikmati di desa: cara masyarakat menikmati hidup dan waktu. Tidak ada deadline. Tidak ada macet. Tidak ada bunyi klakson. Semua tampak slow motion dan penuh harmoni. Waktu tidak terlalu terburu-buru.

Betapa hening membuat jiwa keruh kita menjadi bening. Aku seperti menemukan apa yang hilang selama ini: daya imajinasi dan sensitifitas untuk menulis.

Mungkin begitu adanya, aku pun kehilangan sensitifitas untuk menikmati hidup dan mensyukuri nikmat-Nya, akibat riuhnya dunia materi, prestasi, prestisius, persaingan, dan lainnya. Aku berada di dalam cahaya yang berpendar. Tidak lebih terang dari lampu untuk mengerami ayam.

Kadang kita harus menarik diri keluar dari riuhnya kehidupan materi yang mainstream.

Terima kasih, perjalanan.
Aku selalu membutuhkanmu untuk mengantarkan jiwaku yang seringkali tersesat dalam dunia materi.

lembahan desa Ciasmara


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi