Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Tidak ada yang pernah tahu apa rencana Tuhan. Seringkali kita tidak bisa menafsirkan maksud-Nya. Saya baru saja mengalami kejadian tak terduga. Kejadian yang memberikan pengalaman batin tersendiri. 

Akhir pekan ini saya berkunjung ke Pulau Dewata. Seperti perjalanan pada umumnya, saya membawa sejumlah uang di dalam dompet untuk meratakan penyebaran uang, supaya tidak berpusat di Jakarta saja (baca: jajan dan perilaku konsumtif, kalap dan sejenisnya) hehe. Tapi, ternyata uang di dalam dompet tidak begitu saya jaga baik-baik. Tanpa sadar tertinggal di toilet. Parahnya, saya baru mengingatnya saat makan siang. Padahal saya tiba di bandara jam 9 pagi.

Belum pernah terpikir, bagaimana rasanya terdampar di kota orang tanpa pegang uang tunai. Ya, meski sekarang sudah ada layanan mobile bank, saya bisa minta teman saya tarik uang tunai dan saya langsung transfer, tapi tetap tidak seleluasa saat kita akses uang kita sendiri.

Pada saat saya sadar uang saya hilang, saya langsung hubungi petugas bandara lewat telepon. Mereka langsung periksa semua toilet, dan juga tempat sampah. Saya sangat berharap dompet dan kartu-kartu lengkap meski uang hilang. Karena mengurus KTP, SIM, kartu BPJS Ketenagakerjaan, ATM, kartu kredit, kartu asuransi dan sebangsanya lebih menyakitkan daripada kehilangan sejumlah uang yang bisa jadi akan masuk rekening lagi bulan depan.

Tapi, satu hal. Saya masih yakin bahwa masih ada orang baik di dunia ini. Lagi pula logika saya berpikir bahwa buat apa ambil dompet yang isinya tidak lebih banyak daripada harga tiket pesawat terbang yang dia tumpangi. Saya masih berpikiran positif, meski ya ada rasa sedih juga kalau logika saya dipatahkan oleh kenyataan lain.

Biarpun sudah menghubungi pihak keamanan bandara dan dompet saya dinyatakan raib, saya tetap penasaran. Saya balik lagi ke bandara pakai Gojek, saat rombongan berbelanja di pusat oleh-oleh kenamaan di Jalan Raya Tuban. Terima kasih untuk Bang Nadiem Makarim, jasamu abadi. Sangat mudah buat turis kebingungan macam saya untuk dapat transport cepat, mudah, dan murah.

Pengalaman batin saya di mulai dari sini. Abang Gojek itu bernama Muhammad Mashudi. Dia tanya, "Kok mau ke bandara ga bawa apa-apa, mau jemput orang atau gimana?"

"Bukan, pak. Dompet saya tertinggal, sebenarnya sudah final. Dompetnya hilang. Tapi saya masih penasaran, karena tadi laporan hanya lewat telepon saja. Kayanya belum lega kalau belum lapor sendiri dan liat lokasi kejadian perkara sendiri, hehe" kata saya.

Saya memang tidak terlalu ambil pusing. Karena saya masih berpikiran positif bahwa dompet saya dan isinya tidak begitu berharga dibanding harga tiket pesawat ke Bali dari maskapai LCC sekali pun. Memang ada kartu kredit sih, tapi tentu logikanya begitu orang sadar dompetnya hilang, dia akan lakukan pemblokiran. Jadi sebenarnya percuma, hanya menambah beban dosa saja.

Saat abang Gojek yang mengantarkan saya ke bandara tahu saya kehilangan dompet, dia enggan dibayar. Memang saya pinjam uang teman dan dikasih pecahan Rp 50.000. Selain tidak ada kembalian, mungkin dia merasa iba dan ini momen yang tepat buat dia mendulang pahala. Dia bilang dia ikhlas, karena ternyata dia rajin mendengarkan ceramah ustadz Wijayanto asal UGM itu. 

Akhirnya, saya tiba di bandara dan segera menemui kepala keamanan yang bernama Pak Ketut. Dia bilang, kalau dompet tertinggal kemungkinan kecil untuk ditemukan. Kecuali yang menemukan itu petugas keamanan atau kebersihan. Kalau yang menemukan adalah sesama penumpang, dia bilang umumnya akan sulit. Baiklah saya pasrah. Saya kemudian menuju Polsek Bandara Ngurah Rai yang lokasinya tidak jauh dari terminal kedatangan domestik. Saya buat laporan, dan minta surat keterangan untuk mengurus kartu-kartu yang hilang. Setelah itu saya bergegas karena harus menuju Denpasar. 

surat kehilangan made in polsek Ngurah Rai

Saya kemudian pesan Gojek untuk kedua kalinya. Lagi-lagi, nama Abang itu ada 'Muhammad'-nya tapi saya lupa meng-capture nama lengkapnya. Dia setia menunggu meski saya telat datang. 

Sepanjang perjalanan, saya berpikir. Mungkinkah orang akan menistakan dirinya dengan mengambil barang yang tidak seberapa dibandingkan harga tiket pesawatnya. Saya sebetulnya siap kecewa dengan kenyataan yang terjadi, bahwa cara pandang saya terhadap dunia dan orang baik bisa saja salah. Saya pikir kalau saya kehilangan dompet di terminal bis itu wajar, karena uang di dompet saya dan beberapa kartu di sana sangat bernilai untuk mereka yang menggunakan bis antar kota sekali pun. Selain sejumlah kartu yang saya sebutkan di atas, saya juga baru ingat saya menyimpan dua kartu uang elektronik yang tidak bisa diblokir kalau hilang. Masing-masing nilainya sekitar Rp 150.000.

Tapi kehilangan dompet di bandara internasional di mana orang datang mayoritas adalah mereka dari kalangan 'the have' yang ingin berlibur, tentu uang tunai di dompet saya dan beberapa kartu itu tentu tidaklah berharga. Bagaimana pun, saya pasrah. Dan siap kecewa. Sampai di bis, saya tetap menunjukkan wajah yang pura-pura asik. Hehe. Karena saya masih menyimpan harapan. Iya, katanya kita jangan pernah berhenti berharap. Siap kecewa tapi saya yakin cara pikir saya tentang harga tiket pesawat ke Bali lebih mahal daripada isi dompet saya adalah benar. Dan masih ada harapan kalau melihat dengan cara logika itu. Nidji pun bilang, mimpi dan harapan adalah kunci. Tapi bukan untuk taklukkan dunia, bagi saya setidaknya harapan jadi kunci untuk bisa jajan di Bali. Mudah-mudahan harapan itu masih ada. 

Bis pun jalan menuju Denpasar. Kehilangan dompet membuat pemandangan Jalan Tol Mandara jadi kurang menarik. Saya masih saja berpikir, apakah dompet saya akan kembali. Apakah kenyataan akan mematahkan logika berpikir saya. 

Sampai telepon saya berdering ketika bis baru keluar dari jalan tol terapung itu. Saya lihat layar, tidak ada nama, tapi sepertinya saya familiar dengan nomor telepon itu. 

"Halo, betul ini dengan ibu Dian Sari Pertiwi," suara di seberang sana menyapa. 

"Iya, betul. Ini siapa?" tanya saya sedikit ragu. Karena  belakang ini, saya sering dapat telepon dari salah satu bank swasta menawarkan pinjaman uang tanpa agunan. Sudah ditolak pun, maksa. Hehe. 

"Ini dari Rumah Sakit Buah Hati Ciputat, Bu" 

Aha! Benar saja. Itu adalah tempat lahir anak saya. 

"Tadi ada yang menghubungi kami, katanya dia menemukan dompet ibu di bandara, apa betul ibu kehilangan dompet?" sambungnya, iya maaf saya tidak sempat tanyakan nama si mbak itu. 

Saya langsung mengiyakan. Ternyata, orang yang menemukan dompet saya berjuang begitu keras untuk dapat mengembalikan dompet saya. Dia menghubungi pihak rumah sakit lewat kartu keanggotan yang saya simpan di dompet. 

"Orang yang menemukan namanya Ibu Vivi, dia bilang kalau mau diambil silan hubungi nomornya," kata suster itu sambil menyebutkan beberapa digit nomor handphone. 

Suster di ujung telepon itu juga bilang, awalnya Ibu Vivi ingin meminta nomor telepon saya. Tapi sesuai kebijakan rumah sakit, hal itu tidak bisa dipenuhi karena melanggar privasi konsumen mereka. Hmm, baru sadar ternyata manajemen rumah sakit ini, oke juga. 

Dan Ibu Vivi juga enggan memberikan alamat rumahnya kepada pihak rumah sakit, menjaga kalau saja ada pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab pura-pura mewakilkan saya. 

Dari dua hal itu saya belajar: jangan mudah percaya orang. Ibu Vivi dan pihak Rumah Sakit sama-sama saling mencurigai, hehe. Sedangkan saya, seringkali menganggap semua orang di dunia ini baik. Oh, Dian.. This should be your wake up call. Oke. 

Akhirnya, saya menghubungi Ibu Vivi. Ternyata, perjalanan saya ke Denpasar adalah perjalanan yang mendekatkan lokasi kami berdua. Jarak lokasi saya dengan lokasi rumahnya hanya 3 kilometer, dan tarif Gojek hanya Rp 10.000. What a beautiful coincidence! Coba bayangkan kalau saat itu saya masih berada di Kuta, betapa jauhnya saya harus melalui jalan tol Mandara yang panjangnya 12,7 kilometer. 

Saya kembali menggunakan jasa Gojek. Untuk ketiga kalinya, nama pengemudinya ada 'Muhammad'-nya. Kali ini namanya, Edward Muhammad Chaniago. Duh, saya jadi menyesal menganggap nama Muhammad tampak begitu pasaran, dan tidak begitu tertarik menyematkan pada nama anak pertama saya. Padahal dalam kondisi saya kemarin, bertemu nama Muhammad yang membonceng saya dalam keadaan linglung begitu menentramkan. Hehe, berlebihan. 


ojek Muhammad ketiga, yang kedua lupa dicapture
ojek Muhammad pertama


Sesampainya di rumah Ibu Vivi, saya takjub. Rumahnya bukan residensial pada umumnya. Melainkan rumah toko. Dia buka bengkel. Saya langsung disodorkan formulir. Saya harus mengisi data diri sesuai dengan alamat KTP. Tidak boleh ada yang salah dalam sekali tulis. Begitu pun dengan tanda tangan, harus sama. Mirip dengan transaksi pencairan uang milyaran di bank. 

"Maaf, ya. Takut salah kasih kalau ga pakai cara ini," katanya mencoba menjelaskan. 

Saya baru paham. Kenapa dia tidak memberikan langsung kepada pihak keamanan bandara begitu menemukan, karena dia punya standar keamanannya sendiri. Dia berusaha mengembalikan barang yang dia temukan langsung ke orangnya. Walau membutuhkan waktu yang cukup lama. 

Saya pun akhirnya lulus tes isi formulir itu. Meski Ibu Vivi sempat bertanya, kenapa alamat KTP dan alamat SIM saya berbeda. Saya jelaskan bahwa saya pindah ke-wargawilayah-an karena syarat untuk membuat akte kelahiran anak adalah memiliki kartu keluarga. Dan untuk itu KTP saya pun alamatnya baru mengikuti KTP suami. 

Kembali, ada pengalaman batin lagi yang saya rasakan. Ternyata Ibu Vivi pun punya pengalamannya sendiri. Dia terbang dari Surabaya khusus untuk mengikuti pertemuan Jemaat Kristus Allah berlokasi di GOR Ngurah Rai. Tempat kami bertemu adalah milik anaknya yang tinggal di Bali. 

"Waktu saya masuk toilet, wah kok saya ketemu begini, saya langsung ingat ini amanat, saya harus kembalikannya sendiri," katanya. 

Perjalanan spiritual Ibu Vivi tidak sia-sia. Dia telah berhasil jadi orang baik. Dan berhasil menjaga kepercayaan saya bahwa masih banyak orang baik di dunia ini. Tapi tentu, saya berharap kejadian kehilangan ini tidak terulang, hehe. Meski harapan bahwa orang baik masih ada, tetap menjaga barang pribadi yang berharga itu mutlak adanya. 

sang penemu dompet saya, abaikan muka kucel saya

Begitu pun bagi saya. Saya merasa, jangan berharap terlalu banyak pada orang untuk menjadi baik. Setidaknya, berlaku baik lah mulai dari diri sendiri. Itu lebih penting. Karena mungkin saya suatu hari, kebaikan kita menginspirasi orang lain atau bahkan menolong nasib orang lain. Seperti Ibu Vivi yang membantu mengembalikan nasib saya, untuk tidak membuang waktu mengurus kartu-kartu yang hilang. 

Dari cerita di atas, ada hal yang tidak mampu saya jawab dan terngiang di benak saya sepanjang hari kemarin. Apa maksud Tuhan memberi pelajaran ini. Iya, Tuhan saya dan (Tuhan) Ibu Vivi. Masing-masing kami kemudian memiliki pengalaman batin. Saya memiliki pengalaman batin tentang Tuhan saya. Begitu pun, (mungkin) dengan Ibu Vivi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

EKOFEMINISME