Ini alasan kenapa wartawan gak suka nge-mal

Pak Wowo dari negeri Sentul bilang kalau wartawan gak suka ke mal. Dan lantas berasumsi kalau gak suka ke mal maka gaji wartawan itu kecil. 

Pak, to be honest, wartawan bergaji gede banyak juga gak suka nge-mal. Karyawan industri lain gaji lebih kecil tapi suka ke mal juga ada. Jadi, bukan gede atau kecilnya gaji. Tapi soal preferensi tempat belanja. 

Ini soal selera. Kami tahu, kalau mal itu bukan tempat yang bagus-bagus amat buat belanja. Kami tahu value for money. Kalau barang yang dijual dalam mal sudah melewati rangkaian proses panjang yang bikin harganya tak masuk akal. Dan menurut kami itu tidak realistis. Industri garmen besar juga kebanyakan tak beri pengupahan yang layak. Kami tidak makan merek. Kami makan fungsi. Selama nyaman, tak bermerek pun kami pakai, Pak. 

Kami hanya rela mengeluarkan uang lebih mahal untuk beli beberapa produk asli Indonesia. Misalnya beli kain batik tulis asli, kain songket atau tenun, bahkan kain Shibori yang lagi hits itu. Bapak gak tahu Shibori? Bagus, lo. 

Lagi, Bapak juga gak tahu ya kalau sekarang mau belanja udah gak perlu ke mal. Di hp saya banyak mal online, lo. Bukalapak, Tokopedia, Blibli dan Shopee. Tinggal klik besok barang dikirim. Bisa nyicil pula 0% kalau mau. Sementara, belanja ke mal itu harus ribet nyari parkir, wartawan juga sanggup beli motor dan mobil, lo Pak hehe.. 

Kenapa wartawan gak suka mal? Karena kami tahu, mal itu lambang kenyamanan semu. Kami sih, suka yang ril aja, Pak Wo. Gak suka yang semu. 

Orang suka ke mal karena nyaman dan adem. Padahal itu semu. Kalau gak suka panas ya perbaiki masalah kenapa bumi ini makin lama makin panas, minimal nanem pohon, to? 

Mal bikin orang hidup instan. Orang jadi mikir mau enak sementara juga gak apa, yang penting nyaman. Bikin orang gak suka menghadapi masalah dan mencari akarnya. Pulang kerja macet, melipir dulu ke mal. Panas, mampir dulu ke mal. Padahal ketika keluar lagi, masalahnya belum terpecahkan. Itu akan terus berulang-ulang. 

Mal punya aturan mainnya sendiri, beda dengan pasar tradisional. Di pasar kita bisa berinteraksi, penjual dan pembeli setara. Ada komunikasi, ada proses tawar menawar yang bisa membangun keakraban. Transaksi di mal itu dingin. 

Bapak tahu gak? Kalau mal juga lambang ketidakadilan. Di mal itu, brand ternama gak perlu bayar mahal untuk sewa tempat. Mereka justru bayar lebih murah, supaya nama mal itu terkerek. Sementara tenan kecil yang belum punya nama justru harus bayar mahal. Kebalik, to. Harusnya yang punya modal gede bayar lebih gede. 

Sebagai ruang publik, mal juga gak asik. Kalau mau duduk, harus pesen makan dulu. Semua interaksi sangat transaksional. Jadi, mal juga bukan tempat kami untuk bertemu orang-orang. Cukuplah mal sebagai pemakan jatah ruang terbuka hijau kami.  

Di mal, kasta juga sangat kental. Antara nyonya dan baby sitter. Antara pembeli dan penjaga toko. Antara pengunjung dan menjaga musola. Pemandangan itu sangat mengganggu. Sebagai wartawan kami selalu menjunjung tinggi sikap egaliter. Pertemuan dan sesi wawancara kami dengan berbagai macam narasumber dan dari berbagai kalangan yang membentuk sikap itu. 

Jadi, ya banyak banget fakta soal mal yang bikin kami males injakkan kaki ke sana kalau engga penting-penting amat. Sekarang mending buka Instagram, dan belanja dari pedagang-pedagang online di dalamnya. 

Bapak punya Instagram, kan? Coba cek hastag #jasatitip atau #onlineshopejakarta kami suka belanja di situ. Kacamata hitam juga banyak yang keren-keren kok, Pak. Yang modelnya mirip punya Soekarno juga banyak. 

Kalau Bapak belanja di situ, Bapak ikut bantu usaha kecil yang dilakukan di rumah. Produk itu juga sangat mungkin dibuat oleh kalangan difabel yang ditolak bekerja oleh semua industri besar. Artinya, Bapak membantu masyarakat Indonesia makin produktif. 

Menurut Alvin Toffler di era Gelombang Ketiga, bisnis justru kembali ke rumah. Rumah yang diistilahkan Toffler sebagai Pondok Elektronik jadi pusat produksi sekaligus pemasaran produk. Sebab, pasar gak suka lagi dengan produk massal. Antara produsen dan pembeli dapat bertransaksi langsung. Jadi, kalau kami gak suka ke mal, artinya kami sudah on the right track. 

Ndak tahu siapa Alvin Toffler? Duh. Google saja, ya. 

Mungkin wartawan yang Pak Wowo kenal itu wartawan bodrek dari media abal-abal. Mengandalkan amplop untuk makan. Kalau gak dapat goodie bag seperti besok kiamat, hehe. Nyuwun Sewu, ya Pak. Salam buat kuda-kuda Bapak. Jangan lupa sesekali ajak mereka ke mal agar mereka bahagia. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi