Terjebak dalam Ruang Artifisial

Siapa yang tak punya media sosial? Mayoritas kita tentu punya. Iya, platform itu jadi tempat kita bersosialisasi secara virtual setiap hari dengan teman sekolah, teman kerja atau teman virtual. Belakangan, ruangan itu makin hari makin riuh saja. Saya pikir, media sosial hanya ramai saat masa pilkada dan tahun politik saja, ternyata tidak. Sepertinya siapapun di dalamnya selalu mencari topik dan cara untuk membuat hidup virtualnya jadi lebih ramai.

Di sini, siapapun bebas berekspresi walau di dunia nyata mungkin dia sebenarnya lebih pendiam. Lewat berbagai emoticon atau emosi berbentuk ikon, perasaan-perasaan diwakilkan dan diekspresikan. Satu  ikon jempol di dunia virtual bisa bermakna cukup dalam bagi mereka yang kesepian di dunia nyata.

Tak seperti ruang fisik yang menampakkan citra sesungguhnya, ruang virtual itu sejatinya menampilkan hal yang bersifat artifisial. Semuanya sudah dibumbui, dipercantik dan diatur agar tampak menarik. Realitas yang ditampilkan bukan realitas sebenarnya. Hampir tak ada orang yang mengunggah foto jeleknya di media sosial. Begitu juga dengan kepribadian seseorang. Seringkali, kepribadian seseorang tampil tak  sebagaimana di dunia sebenarnya.

sumber: pinterest

Ruangan ini sudah mempengaruhi kehidupan sosial, mulai tingkat individu, antarindividu sampai masyarakat. Saya sering menyaksikan percakapan suami-istri lewat media sosial. Padahal, kalau mau membandingkan dengan ruangan fisik, platform media sosial mirip dengan ruang publik. Seolah mereka bercakap-cakap di trotoar sambil berteriak agar orang-orang di sekitarnya juga dengar.

Siapapun bisa mengakses percakapan kita, siapapun bisa membaca. Sekalipun kita berkomunikasi lewat jalur paling privat, tapi sekali kita berkomunikasi menggunakan internet, tak ada yang bisa menjamin keamanan percakapan kita.

Bertengkar dan beragumen lewat platform ini sekarang pun jadi lebih nyaman bagi sebagian orang daripada harus bertengkar dan beradu argumen di dunia nyata. Sebab, meski secara teknis kedua kubu tampak seperti tengah saling berhadapan tapi mereka termediasi oleh layar. Mungkin itu yang membuat mereka nyaman.

Menurut Mark Slouka, penulis buku War of The World: The Assault on Reality, menyebut bahwa realitas di dalam dunia cyber tak dapat meningkatkan nilai kita sebagai manusia. Ruangan cyber atau virtual ini justru menjadikan manusia sebagai orang dungu. Secara kolektif, manusia jadi seperti anak-anak yang mudah ditipu. Kita jadi mudah percaya terhadap apapun yang dikatakan kepada kita. Kita menelan saja apa yang disuguhkan ke hadapan kita.

Apa yang Slouka katakan saat ini banyak terjadi. Terlebih di Indonesia, kita malas memverifikasi apa yang kita tangkap. Kita senang mendengar hal yang sesuai dengan opini kita. Kita jadi lebih mudah terprovokasi, tak mau membuka telinga untuk mendengar pandangan yang bersebrangan. Misalnya, uninstall Traveloka. :)

Gerakan uninstall Traveloka menurut saya adalah gerakan virtual yang paling lucu. Kita terjebak dalam ruangan artifisial ini dan menjadi dungu. Secara simultan dan secara artifisial pesan-pesan itu bentuk agar kita bertindak seperti apa yang mereka mau. Pemberi pesan ini ingin kita menguninstall Traveloka. Padahal, di dunia nyata kita membutuhkan aplikasi tersebut untuk mempermudah aktivitas kita.

Kita, secara artifisial juga, membentuk citra diri di dalam ruangan cyber ini. Agar seperti yang kita inginkan. Agar seperti orang-orang yang kita kagumi. Sikap kita bukan mencerminkan kepribadian kita sepenuhnya. Sikap kita terpengaruh oleh sikap komunitas virtual yang kita ikuti. Maka, saat satu komunitas yang kita ikuti mengambil sikap tersebut, kita akan ikut, agar kita dianggap menjadi bagian dari komunitas tersebut.

Ada beberapa hal yang membuat kita terjebak di dalam ruang artifisial ini. Pertama, kita enggan keluar dari pertemanan virtual karena lebih nyaman. Bicara dalam waktu lama tanpa perlu bertatap muka, membakar banyak bensin dan uang untuk bertemu. Memang dalam beberapa hal, sikap ini lebih efisien, tapi dalam banyak hal justru memutus hubungan kita dengan alam dan manusia.

Kedua, kita membawa pertemanan kita dari dunia nyata ke dalam dunia virtual agar dapat terawat dengan baik. Karena, di dunia virtual merawat persahabatan akan lebih mudah daripada di dunia nyata. Kita hanya perlu berkirim pesan dalam beberapa kalimat dan gambar. Di dunia nyata, kita harus bertandang dan membawa makanan atau minuman dalam bentuk asli, bukan gambar. :p

Ketiga, akar masalah dari perpindahan massal dari ruangan alamiah ke ruangan artifisial adalah sikap paranoid. Kita mengisolasi diri dari luar ruang karena menganggap dunia di luar rumah kita tak cukup aman untuk kita berinteraksi.

Dunia virtual ini memang menjanjikan banyak hal baru. Tak heran, nilai-nilai kemanusiaan kita ikut menyesuaikan diri. Apa yang kita anggap janggal dan tak biasa beberapa puluh tahun belakangan akan tampak lumrah dan biasa di tahun-tahun akan datang. Pada akhirnya, mau tak mau manusia digasak oleh hadirnya teknologi modern, pilihan tersedia adalah meleburkan diri atau hancur.

Tapi, kalau kita mau menengok lebih dalam, hati terdalam kita merindukan hal-hal yang lawas. Hal-hal yang sederhana. Sesederhana obrolan sore hari bersama orang tua kita sambil menyesap secangkir teh manis hangat. Tanpa gadget dan media sosial.

Mungkin, rindu ini hanya kan dirasakan oleh manusia yang tumbuh dalam era analog. Sementara bagi anak yang terlahir sebagai digital native, mereka akan asing dengan rindu seperti itu. Bagaimana mau rindu, kalau tak pernah merasa kehilangan?

sumber: brightside.me










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi