Entrok dan Simbah

sampul buku fiksi Entrok karya Okky Madasari. sumber: goodreads

Saat pertama kali membaca buku fiksi berjudul Entrok, karya Okky Madasari beberapa tahun lalu saya langsung teringat pada Simbah.

Meski latar dan plotnya berbeda, tokoh Sumarni selalu mengingatkan saya akan sosok Mbah yang meninggal ketika saya di pesantren.

Novel yang mengangkat latar tahun 1950-an itu menceritakan kehidupan Sumarni, seorang perempuan yang bekerja di pasar sebagai pengupas singkong untuk bertahan hidup bersama ibunya. Tapi, dia tak puas hanya jadi tukang kupas singkong. Dia ingin jadi kuli seperti lelaki karena bayarannya uang, bukan singkong.

Sebab, Sumarni punya satu keinginan: membeli Entrok atawa bra untuk payudaranya yang mulai tumbuh. Akhirnya dia mendobrak stigma dan menjadi perempuan pertama yang jadi kuli.

Bermula dari daya juang itu, Marni punya uang lebih dari sekadar modal untuk beli Entrok. Dia piawai memutar uang dan melihat potensi usaha.

Kepiawaian memutar uang dan melihat potensi usaha ini yang membuat saya teringat dengan Simbah saya.

Walaupun saya tak menyaksikan langsung perjuangan Mbah dalam merintis usaha, mama saya selalu memupuk ingatannya dengan membagi cerita tentang Simbah kepada saya.

Mbah saya dagang di pasar. Selain jualan sembako, dia juga jualan nasi dan lauk untuk para pekerja dan kuli di pasar.

"Mbah jualan apa aja yang bisa dijual, makanya dia banyak duit," kata mama saya.

Saat belum banyak orang menyediakan masakan matang untuk para pekerja yang sibuk di pasar, dia mulai buka usaha itu. Bahkan, dia juga menangkap peluang menjual buah siap makan seperti di abang-abang rujak gerobakan zaman now.

"Dulu mama yang ngupasin pepaya, nangka dari kebon, apa aja yang ada di kebon bisa dijual di bawa ke pasar," terang mama saya.

Tak berhenti di situ saja, Mbah saya juga jualan kecimpring. Tiap hari, mama saya bantu Mbah buat kecimpring untuk dijual. Kecimpring sejenis kerupuk berbahan dasar singkong. Di luar itu, usaha sembakonya terus jalan.

Mbah saya jualan beras, gula, minyak dan lainnya. Mama saya selalu cerita, bahwa Mbah saya piawai mengatur usahanya. Bahkan, ada juga orang membayar kebutuhan pokoknya di toko Mbah saya dengan tanah.

Orang itu membayar kebutuhan dapurnya dengan sebidang tanah. Mama bertugas mencatat barang yang keluar dan berapa sisa deposit nilai dari tanah yang sudah disepakati.

"Jadi, semua hasil emang dari receh, baru jadi yang gede tanah, rumah, kontrakan, kios," kata mama saya suatu ketika.

Saat saya kecil, Mbah saya sudah tak lagi berdagang. Tak seperti cerita Marni yang akhir karir berdagangnya jadi rentenir dan banyak dihujat orang, Mbah saya punya pasif income dari kontrakan petak yang bertebaran di sekeliling rumahnya. Begitu juga dengan kontrakan kios yang berderet di tepi jalan.

Kalau saja mama saya engga cerita, saya mana tahu kalau itu awalnya adalah berasal dari satu kilo gula, satu liter minyak, atau sepotong pepaya. Dari cerita itu, saya jadi menghargai hal-hal kecil. Pantas saja, mama saya paling engga bisa lihat makanan sisa mubazir. Pasti dilahap. Badannya jadi ya gitu deh. :P

Mama saya cukup beruntung, sempat jadi kader dagangnya Mbah. Sayang saya engga dikader mama. Dan akhirnya jadi pegawai. Heuheu..

Meski begitu, cerita-cerita itu akan tetap saya bagikan kepada anak cucu saya. Bahwa daya juang itu penting untuk mengubah nasib. Apapun pekerjaan dan usaha kita, receh is the king. Selama kita tak menghargai receh, selamanya kita tak akan punya yang besar.

mbah saya di paseban rumahnya, saat acara ulang tahun saya yang kelima

Tulisan ini dibuat saat saya engga bisa tidur. Tiba-tiba inget Mbah saya yang meninggal waktu saya hidup jauh dari rumah.

Sewaktu mama saya sibuk berdagang, Mbah yang merawat saya. Rumah Mbah dan rumah kami berdekatan. Hanya selemparan bola kasti.

Saat saya mau berangkat ke pesantren, Mbah membekali saya dengan uang yang lebih dari cukup buat jajan seorang santriwati.

"Nih, duit buat Dian nambahin, pengen tahu nanti dia jadi apa," kata mama saya menirukan ucapan Mbah.

Walaupun cucunya banyak, Mbah saya selalu bisa membuat kami semua merasa dekat.

Duh, maaf saya belum jadi apa-apa, Mbah. Saya juga belum sempat membalas semua jasa Mbah. Karena baru tahu Mbah meninggal pas pulang liburan, dan Mbah sudah ada di dalam pusara.

Semoga saya bisa seperti Mbah saya. Cucunya banyak? Eh bukan, maksudnya punya daya juang. Seperti Marni dan Maskanah, nama Mbah saya.

Laha, Al-fatihah!

Komentar

  1. Balasan
    1. Thanks a lot, kak Imung. Maaf super late balas. Baru ngeh ada komen setelah hampir setahun posting :D

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi