Menghardik Kesedihan

​​Hal yang paling menakutkanku adalah Bapak Ibu mati. Kupikir tak mungkin melanjutkan hidup tanpa mereka. Maksudku, sejak aku lahir mereka sudah lebih dulu ada. Tak terbayang, bagaimana jika mereka tidak ada. 

Aku punya bayangan, Ibu mati karena penyakit gulanya. Sedangkan Bapak, yang tak punya penyakit bawaan, sesekali sakit perut karena punya masalah usus. Jujur, aku tak punya bayangan sedikit pun soal bagaimana Bapak akan mati. 

Tapi, akhirnya hari itu datang juga. Pagi itu ibuku berangkat mengaji dengan suka cita. Setelah beberapa bulan vakum karena rumah kami direnovasi dan harus mengungsi, dia mengaji lagi. Seperti biasa, dia masih mondar mandir naik motor sendiri. 

Biasanya jam 8 pagi pengajian selesai. Ibu sampai rumah kerap membawa aneka jajanan untuk kami sarapan. Tapi, pagi itu hanya ada telepon masuk dari nomer tak dikenal. Suara di ujung telepon bilang, ibuku dilarikan ke rumah sakit karena kecelakaan. 

Aneh rasanya, melihat Ibu yang jarang sakit berbaring dengan selimut garis-garis biru putih. Wajahnya lebam, jidatnya lecet sana sini. Dia tidak sadar. Dia tidak bisa aku ajak bicara sedikit pun. Hanya ada suara seperti ngorok dari kerongkongannya. 

Dokter bilang, ada pendarahan di otak. Harus segera lakukan CT Scan. Sialnya, rumah sakit yang sering jadi rujukan kecelakaan ini, justru tidak punya alat penting itu. 

Melarikan Ibu ke rumah sakit lain dengan alat lengkap bukan perkara mudah. Pengurus dan dokter rumah sakit itu bilang berisiko memindahkan Ibu dalam keadaan tidak sadar. Tapi, anak SD pun tahu sampai kapan pun kalau tidak dirawat seperti seharusnya Ibu tidak akan sadar. Percuma menunggu ketidakpastian. Aku tak bisa jadi orang pasif dan bodoh hanya menunggu, sementara Ibu antara hidup dan mati. 

Sungguh, aku kesal sekali dengan dokter di rumah sakit itu. Mungkin itu cara manajemen menahan agar pasien tidak jadi pindah dan tetap jadi mesin uang bisnisnya. 

Selang 6 jam, Ibu berhasil dapat rumah sakit rujukan. Berkat pencarian mandiri dan menanggung biaya ambulans sendiri. 

Di ruangan ICU yang berselimutkan sepi aku bertanya-tanya. Bagaimana bisa hidup semengerikan ini. Orang yang kita cintai bisa mati setiap saat. Malam harinya kami masih bercanda dan tertawa. Malam esoknya, bahkan Ibu tak menyaut saat aku ajak bicara. Hanya suara mesin dan alat bantu pernafasan berbunyi. 

Sumber: Freepik


Sungguh aku ingin sekali menghardik kesedihan. Tapi, dia tak juga pergi. Ternyata sedih itu begini. 

Jujur, aku jarang bersedih. Aku hampir lupa, bagaimana cara bersedih. Namun, setelah Ibu pindah rumah sakit, aku menangis sampai kesulitan bernafas. 

Dokter bilang, harapan hidup Ibu sangat tipis. Kesadarannya makin menurun seiring pendarahan yang makin meluas. Kondisi ini tak memungkinkan untuk operasi. Jika kondisi Ibu membaik dan bedah bisa dilakukan, otak yang terlanjur rusak bisa menyebabkan Ibu hidup dalam kelumpuhan. 

Tak mungkin Ibu mau hidup begitu. Dia perempuan mandiri, penuh semangat, dan sangat cinta kehidupan. Beberapa tahun lalu, saat penyakit gula membuat tubuhnya kurus dia jarang keluar rumah. Setelah badannya kembali bugar, dia mulai mau bersosialisasi lagi. Entah bagaimana reaksinya jika Ibu menjalani hidup dengan kondisi berbeda. 

Harapan hidup yang dokter bisa tawarkan lewat operasi membuat ruang gerak Ibu terbatas. Apa bedanya dengan mati? Bukankah justru kematian akan membebaskan Ibu? Membayangkan hal itu aku jadi sedih. 

Kesedihan datang bagai tamu tak diundang. Sampai sekarang, setahun setelah Ibu tiada, kesedihan itu sering tiba-tiba menyeruak. Dia seperti lubang besar yang bisa tiba-tiba menarikku ke dalamnya. Tanpa tanda dan gejala. 

Aneh rasanya. ​​

Sampai sekarang, aku masih mencari tahu bagaimana cara menghardik kesedihan itu. Kadang, jika lubang itu menarikku tiba-tiba, aku melawan. Sekuat apapun aku melawan, aku kalah. Mataku tetap basah. 

Lubang itu menghempaskan aku ke dalam lembah rindu. Kenangan demi kenangan, siap merebut hari-hari yang tak pasti. Betapapun manisnya kenangan, dia hanya menyisakan sembilu di kalbu. Aku tetap berada di lembah rindu. Sesekali ada secercah cahaya matahari masuk masuk ke lembah itu. Cukup untuk menghangatkanku dan membuatku percaya semua yang terjadi adalah skenario terbaik dari Tuhan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi