Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Kenapa perempuan bekerja? Begitu pertanyaan seorang kawan kepada saya. Saya bilang jawabannya kompleks. Tergantung kondisinya. 

Ada perempuan bekerja karena harus bekerja. Ada sebagian lain yang bekerja karena ingin bekerja. Keharusan dan keinginan tentu dua hal yang berbeda. 

Ada yang tak ingin bekerja, tapi dia harus bekerja. Ada juga yang tak harus bekerja, tapi dia ingin bekerja. 

“Lalu, kenapa kamu bekerja?” desaknya. 

Saya jawab, saya berada di kondisi harus dan ingin. Kenapa? Saya harus bekerja, karena saya butuh tempat piknik dari peran dasar perempuan. Saya ingin karena ada kebutuhan tempat piknik. Saya sering sakit kalau tidak beraktivitas dan hanya memikirkan satu hal yang sama secara konstan setiap hari. 

Bagi sebagian perempuan ruang domestik tak cukup bagi mereka. Bahasa era milenium menyebut aktivitas itu sebagai aktualisasi diri. 

Sebagian perempuan yang punya keharusan lainnya memiliki kasus berbeda. Terutama mereka para pejuang mandiri. Perempuan yang belum atau tidak menikah, sudah menikah tapi ingin membantu suami, atau para single parents yang berjuang demi masa depan anaknya. 

Biasanya, saat ada kawan galau memilih antara karir dan domestik, dengan kondisi ekonomi yang aman, saya encourage dia untuk menjalankan keduanya. Saya selalu bilang, anak-anak nanti akan besar dan dewasa, lalu saat kamu gak perlu urus mereka lagi, apa yang akan kamu lakukan?  

Kedua, saya juga bilang: kamu itu entitas sosial yang utuh. Kamu lebih dari seorang anak, kakak, ibu, istri, kamu juga alumni sekolah X yang mewakili almamater, kamu adalah perempuan itu sendiri yang mewakili kaummu. 

Namun, belakangan saya telah terusik dengan buku “Siapa yang memasak makan malam Adam Smith?” Karya Kathrine Marcal. 




Setelah baca buku itu, saya jadi bertanya jangan-jangan saya tercuci otak oleh kapitalis. Bekerjalah, dapat uang, lalu kamu bisa menikmati uangmu: membeli barang yang kamu butuhkan inginkan atau pergi pelesir (sebab kamu cukup stress kelelahan akibat kerja) dan kedua aktivitas itu bisa menggerakkan ekonomi. 

Ayo kerja, kerja, kerja! Perempuan tak sekadar butuh rumah untuk berteduh dan dapur untuk memasak, tapi butuh rumah berkonsep industrial atau nordic, dengan perabot dapur lengkap yang ditawarkan Informa, Ikea, atau Ace Hardware. Dan oh iya, sofa yang empuk dan ruangan yang wangi juga penting untuk menikmati Netflix di akhir pekan. 😂

Buku ini mengkritik para ekonom klasik yang gagal sejak awal dalam menghitung kerja dan pertumbuhan ekonomi. Mereka cenderung berpusat pada sektor formal (di ruang publik) dan bias gender.

Penulis menggugat, walaupun ekonom ini mengembangkan konsep “The Invisible Hand” untuk mengakomodasi kerja-kerja informal, di ruang domestik, dan dilakukan perempuan, namun pada kenyataannya ekonomi makro dan kebijakan publik terkait ketenagakerjaan belum benar-benar memotret realitas kerja-kerja informal.

Padahal, tangan-tangan tidak terlihat itu lah para pekerja (pelaku ekonomi) di sektor informal, bukan hanya menopang perputaran ekonomi, tapi juga seringkali luput dalam kacamata pembangunan ekonomi. Lebih dari itu, The Invisible Hand itu adalah para perempuan yang bekerja di dalam rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga dan kelas pekerja. 

Seperti memasak, mengurus anak, mengantar anak ke sekolah, mengajar mereka di rumah (yang artinya menjaga generasi dan masa depan), mencuci, merapikan rumah dan pakaian. Aktivitas semacam ini tidak masuk dalam perhitungan para ekonom kapitalis. Padahal aktivitas ini adalah kegiatan dasar yang memenuhi kebutuhan keluarga dan para kelas pekerja lain. 

Para manusia ekonomi tidak benar-benar menghitungnya sampai para perempuan masuk ke dalam bursa kerja dan meng-subkon-kan aktivitas domestiknya ini pada pekerja rumah tangga. Ironisnya, para pekerja rumah tangga ini juga meninggalkan anaknya di kampung untuk bekerja di dalam rumah sebagai Asisten Rumah Tangga bagi keluarga kelas pekerja tersebut. 

Jadi sekarang, saat ada kawan yang bertanya, kenapa perempuan harus bekerja? Saya bisa jawab tidak harus. Sistem ekonomi kita yang mengharuskannya. 

Secara tidak sadar, perempuan dimasukkan ke dalam bursa pekerja sebab mereka mau punya atau perlu uang lebih banyak. Para perempuan yang ingin membantu suami mendapatkan penghasilan lebih untuk membeli atau menyewa rumah untuk berteduh, bayar listrik, daftar sekolah anak, dan simpan uang jika butuh berobat. Kenapa? Karena era ekonomi ini, tak cukup hanya laki-laki saja yang bekerja. Bahkan, keduanya bekerja sekalipun, tak cukup membeli rumah susun di tengah kota. Kita harus naik commuter line dan transit kendaraan umum paling sedikit tiga kali. 

Jadi, kenapa perempuan masih harus bekerja cukup jelas. Perekonomian kita saat ini membuat peran domestik perempuan terpinggirkan dan tidak masuk dalam variabel ekonomi. Padahal itu yang utama. 

Meski begitu, di luar kegelisahan Mbak Katrine dalam bukunya itu, ada banyak perempuan hebat yang 'bekerja' karena passion-nya. Mereka juga mewakili para perempuan lantaran ada panggilan hidup, dan perannya tak cukup dalam lingkup domestik. Tentu saja dengan lika-liku perjuangan melawan patriarki dunia ini dan menjalankan peran ganda. Hihihi. Beruntung yang seperti Ibu Sri Mulyani, dapat dukungan dari support system (keluarga dan suami) yang tidak bias gender. 

Maka, jika ada kawan bertanya lagi "kenapa perempuan harus bekerja?" Sebaiknya saya jawab, karena mereka memiliki panggilan yang berbeda. Itu yang harus bisa kita jawab saat mempertanyakan pada diri sendiri, kenapa saya harus bekerja, lalu mencari tahu saya terpanggil di mana. Jadi, sebaiknya kita perlu membiasakan diri tidak terpaku pada term bekerja, tapi berkarya. Berkarya bisa di mana saja. Sebab, tak semua perempuan perlu bekerja seperti perempuan lainnya, di luar rumah. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

EKOFEMINISME