Segregasi Status Sosial Berawal dari Sekolah

sumber: canva

Dua hari berturut-turut Harian Kompas menerbitkan laporan investigatif tentang carut marutnya proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sekolah negeri/publik. Mulai dari maraknya calo, murid titipan, hingga pemalsuan dokumen yang dilakukan orang tua. Umumnya, pengakalan proses ini terjadi di sekolah favorit di kota besar. Jika di era saya dulu syarat masuk ke sekolah negeri favorit dan bergengsi adalah nilai, kini sistem zonasi. Sistem zonasi mengharuskan peserta didik tinggal dalam radius 10 KM dari sekolah. Bukti ini ditandai dengan data Kartu Keluarga. Sehingga sebagian orang tua melakukan segala cara untuk mengakali sistem ini, bahkan ada yang menitipkan anaknya pada keluarga lain, atau merogoh kantong hingga Rp20 juta untuk mendapatkan kursi di sekolah negeri. Sistem zonasi dibuat agar tidak ada lagi sekolah favorit/bergengsi dan meratakan status sosial-ekonomi, selain itu peserta didik yang tinggal di zona sekolah mendapatkan akses sekolah dengan lebih adil. Namun, praktik yang terjadi justru menegaskan bahwa kurangnya sekolah publik yang berkualitas membuat masyarakat merebut untuk mendapatkan sekolah 'bergengsi' dengan cara apapun. 

Sekolah Negeri versus Sekolah Swasta

Pendidikan seharusnya tetap menjadi fasilitas publik yang dapat diakses oleh semua orang, dari berbagai kalangan dan golongan. Akan tetapi, pertumbuhan kelas menengah di Indonesia tidak dibarengi dengan pertumbuhan pasokan sekolah publik yang berkualitas. Akibatnya, supply-demand tidak berimbang. Pasokan sekolah publik berkualitas tetap rendah, padahal permintaan kelas menengah untuk menyekolahkan anaknya di sekolah dengan fasilitas memadai terbilang tinggi. Masyarakat kelas menengah Indonesia mulai melek terhadap pendidikan dan memiliki banyak pertimbangan saat memilih sekolah bagi anak-anak. Alhasil, pendidikan yang seharusnya menjadi barang publik mengalami privatisasi karena ada permintaan pasar. Ini ceruk bisnis dengan pangsa pasar besar. 

Berdasarkan definisinya, privatisasi berarti “pengalihan suatu bisnis, industri, atau jasa dari kepemilikan dan kendali publik ke swasta.” Di bidang pendidikan, privatisasi merupakan upaya menjadikan sekolah berfungsi seperti bisnis dalam iklim yang didorong oleh pasar. Dalam buku mereka, Wolf at the Schoolhouse Door, Berkshire dan Schneider menguraikannya dalam empat prinsip: 
  1. Pendidikan adalah kepentingan pribadi, bukan kepentingan kolektif. Konsumen harus dapat berbelanja untuk pendidikan seperti halnya produk lainnya.
  2. Sekolah berada dalam domain pasar bebas, bukan milik pemerintah. Hal ini harus berada dalam lingkup preferensi dan pilihan pribadi, bukan pengaturan dan pengawasan.
  3. Sebatas kemampuannya, konsumen pendidikan harus membiayai sendiri.
  4. Serikat pekerja dan bentuk kekuasaan kolektif lainnya tidak efisien secara ekonomi dan bermasalah secara politik. Hal ini mewakili hambatan ideologis dan praktis terhadap agenda pasar bebas yang radikal.
Privatisasi pendidikan membuat sekolah tidak lagi menjadi barang publik. Orang tua yang memiliki akses sumber daya (ekonomi, dan kultural) dapat memilih sekolah dengan fasilitas memadai yang ditawarkan oleh sekolah swasta. Fasilitas ini dianggap dapat mengakomodir dan meyalurkan bakat setiap peserta didik. Akhirnya, kelompok sosial yang memiliki sumber daya tersebut berkumpul dalam sekolah-sekolah swasta. Sementara sekolah publik cenderung ditinggalkan, kecuali sekolah publik yang memiliki sejarah sebagai sekolah sekolah bergengsi. 

Menurut Senza Arsendy, Mahasiswa Ph.D di Universitas Melbourne, privatisasi pendidikan justru merugikan kelas menengah. Pertama, menyekolahkan anak di sekolah swasta membuat keluarga kelas menengah mengeluarkan anggaran tidak sedikit. Sehingga, mereka tidak lagi dapat bergantung pada single-income dan mengharuskan pasangan orang tua bekerja demi menjamin anak-anak mereka mendapatkan fasilitas dan kualitas pendidikan yang baik. Kedua, keluarga kelas menengah pun masih perlu berkompetisi untuk mendapatkan kursi di sekolah swasta favorit karena persaingan lebih sengit. Ketiga, anak-anak dari kelas menengah juga kehilangan kesempatan untuk memiliki pertemanan lintas kelas sosial. Ini dapat membuat anak-anak dari kelas menengah cenderung kurang empati terhadap kelompok sosial lainnya. 

Bukan hanya itu, kerugian dari privatisasi pendidikan menurut saya juga turut mengancam kebhinekaan di Indonesia. Sebab, sekolah swasta menjadi tersegmentasi menjadi sekolah-sekolah berbasis agama. Terciptanya segmen pasar ini tak lepas dari tingginya permintaan kelas menengah yang tak dapat mengandalkan single-income untuk mencukupi kebutuhan biaya pendidikan anak. Sehingga, pengajaran agama yang seharusnya berasal dari lingkungan rumah beralih menjadi fasilitas yang ditawarkan oleh sekolah swasta dengan sistem full-day school

Segregasi Status Sosial

Kelompok kelas menengah ke atas dengan akses sumber daya ekonomi dan kultural memadai dapat menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Sementara, kelompok kelas menengah bawah tidak memiliki pilihan. Akibatnya, terjadi segregasi status sosial. Padahal keberadaan kelas menengah atas dibutuhkan dalam sekolah publik. Teman saya yang menyekolahkan anaknya di sekolah publik beberapa kali melakukan advokasi. Sebab, sekolah negeri tempat anaknya belajar melakukan kesewenangan terhadap orang tua yang mayoritas dari kelompok ekonomi menengah bawah dan cenderung rentan. Mereka tidak memiliki aset kultural untuk melawan kebijakan sekolah. Seperti, mengharuskan orang tua melakukan piket jaga gerbang, dan piket jaga kebersihan setelah jam sekolah. Padahal, sekolah negeri tersebut mendapat anggaran Dana BOS untuk mempekerjakan tenaga harian atau bulanan untuk melakukan tugas semacam itu. Kebijakan ini merugikan orang tua yang mayoritas pekerja harian atau pedagang di pasar. Teman saya yang memiliki aset kultural dapat melakukan advokasi dan menghapus kebijakan tersebut sambil terus memantau perkembangan dan penggunaan Dana BOS. 

Kehadiran orang tua kelas menengah seperti teman saya di sekolah publik berpotensi mendorong keadilan bagi semua peserta didik. Posisi ekonomi dan sosial mereka yang kuat dapat mendorong advokasi kebijakan sekolah yang dapat dinikmati oleh peserta didik lain yang orang tuanya memiliki keterbatasan pengalaman pendidikan. 

Semakin homogen kelompok masyarakat dalam sekolah, semakin mempersempit pengalaman belajar anak. Sebab, sekolah sejatinya bukan hanya tempat belajar materi akademik tapi juga sosial, kultural, dan menumbuhkan empati. Namun, pada praktiknya orang tua (termasuk saya) lebih memilih jalur aman sebab perbaikan kualitas sekolah publik sangat lambat. Terlebih pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab menghadirkan sekolah publik berkualitas tidak menyadari kewajibannya untuk meratakan kualitas pendidikan. 

Sebenarnya, kelompok kelas menengah juga sangat mendambakan menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah publik agar mereka dapat mengenal betapa beragamnya budaya dan kelompok di Indonesia. Namun, dalam perspektif pendidikan sebagai investasi, kepentingan mempelajari beragamnya budaya, agama, suku di Indonesia ini tidak sebanding dengan risiko yang harus diterima oleh keluarga kelas menengah. Terlebih mereka adalah pasangan yang keduanya bekerja di luar rumah, sehingga lingkungan sekolah menjadi rumah kedua anak-anaknya. Sehingga, pilihan mereka terhadap sekolah swasta dapat dipahami dalam konteks memberikan pendidikan terbaik bagi penerus bangsa. 

Antusiasme orang tua kelas menengah tetap memperebutkan kursi sekolah publik yang bergengsi dengan mengakali sistem PPDB, menjadi bukti bahwa mereka mendambakan sekolah publik berkualitas. 

Saat saya bertanya kepada diri saya sendiri dan beberapa teman saya yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta, jawaban kami sama. "Kami ingin memberikan pengalaman bersekolah yang baik dengan fasilitas memadai untuk tumbuh kembang anak-anak, sementara di zona tempat tinggal kami tidak tersedia sekolah publik yang kami butuhkan." Selain itu, teman saya menggarisbawahi, saat ini memilih sekolah swasta bukan hanya memilih fasilitasnya tapi juga lingkungan bagi anak. Dia lantas membagikan beberapa komentar pada cuitan di aplikasi Thread dan X menyebut anak-anak yang bersekolah di sekolah swasta bergengsi umumnya bertutur kata lebih sopan dibanding anak-anak sekolah negeri. 

Jika pemerintah kerap menyebut pentingnya pemerataan ekonomi, hingga merasa perlu memindahkan ibu kota negara dengan membabat hutan, bukankah seharusnya berawal dari pemerataan kualitas pendidikan dengan memperbaiki kualitas sekolah-sekolah publik? 


Komentar