Salah Kaprah Memaknai Pembangunan
Republik Indonesia lahir dari perjuangan dan pembebasan dari ekploitasi komoditas: cengkeh, pala, kopi, tembakau, dan lainnya. Negara lain menginginkan komoditas itu untuk kemakmuran warga negara mereka sendiri dan menjajah masyarakat Indonesia dengan menjalankan tanam paksa. Semangat kemerdekaan negara ini sejatinya lahir atas keinginan membebaskan diri dari ketergantungan terhadap negara lain yang menginginkan sumber daya alam milik Indonesia. Ironisnya, sejarah itu kembali terjadi akibat pemerintah Indonesia salah memaknai arti pembangunan. Sementara masyarakat teriak #SaveRajaAmpat, pemerintah merasa ada peran ‘asing’ ingin mengagalkan program hilirisasi.
Salah Kaprah Membangun
Pemerintah melihat satu-satunya jalan bagi negara ini maju adalah menggunakan sudut pandang modernisasi. Sudut pandang ini mengasumsikan bahwa semua negara akan maju jika mengikuti jalur pembangunan negara-negara Barat, dengan fokus pada industrialisasi, pertumbuhan ekonomi, dan eksploitasi sumber daya alam.
Pola pembangunan berbasis ekstraksi sumber daya alam sering kali didasari oleh kerangka yang berkembang sejak 1950-an ini. Teori yang dikemukakan oleh Walt Rostow ini, mengasumsikan bahwa semua negara akan mengalami kemajuan jika meniru jalur industrialisasi negara-negara Barat. Dalam logika tersebut, pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi menjadi indikator utama keberhasilan pembangunan.
Tak heran, pemerintah selalu melihat pertumbuhan dan pembangunan dari indikator-indikator makro seperti Produk Domestik Bruto (PDB), memprioritaskan pembangunan infrastruktur dan investasi asing tanpa pertimbangan keberlanjutan lingkungan, mengabaikan kompleksitas lokal, kerentanan ekologis dan nilai sosial-budaya yang melekat pada alam, serta menganggap perkembangan teknologi sebagai solusi utama tanpa melihat dampak sosial atau dampak ekologisnya.
Pemerintah selalu bangga dengan indikator pembangunan versi modernisasi yang dimilikinya, padahal di akar rumput masyarakat menanggung dampak ekologis akibat pembangunan ini. Mulai dari banjir, longsor, air bersih tercemar, terkontaminasi logam berat, hilangnya mata pencarian, dan hilangnya keanekaragaman hayati sebagai sumber kehidupan mereka.
Kesalahan pemerintah adalah membangun negara ini dengan kacamata moderinisasi dan melihat pengalaman pembangunan negara Barat sebagai model universal yang harus diikuti. Pemerintah juga lupa atau justru mengabaikan sejarah kolonialisme dan perbedaan struktural antarnegara.
Indonesia merupakan negara berkembang yang akan selamanya berkembang dan tak maju-maju kalau menggunakan kerangka pembangunan modernisasi. Sebab, Indonesia tidak cocok dibangun menggunakan model pembangunan seperti negara-negara Barat. Jika pemerintah terus membangun menggunakan konsep tersebut, selamanya negara ini akan ketergantungan dengan negara Barat.
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam tidak hanya sumber mineral tapi juga keindahannya serta hutan yang menjadi pemasok oksigen, suku-suku dengan adat tradisional dan budaya serta kearifan lokalnya. Sayangnya, pemerintah justru memandang budaya tradisional sebagai penghambat kemajuan. Berapa banyak masyarakat adat bahkan kehilangan tanah ulayat mereka atas nama pembangunan. Sebagai operator, pemerintah gagal memaknai arti pembangunan, sehingga pembangunan dalam bentuk modernisasi ini menjelma menjadi bentuk baru kolonialisme ekonomi.
Membangun dengan Kekayaan Indonesia
Pepatah yang menyebut “tak kenal maka tak sayang,” itu terjadi pada Indonesia. Negara ini tak dipahami dengan baik oleh para operatornya. Sehingga mereka menggunakan ‘love language’ yang salah pada bangsa ini.
Padahal, Indonesia memiliki modal alam (natural capital)—seperti keanekaragaman hayati, hutan hujan tropis, keindahan landskap, dan gugusan pulau dengan laut yang menawan sebagai basis ekonomi alternatif seperti ecotourism (pariwisata keberlanjutan), hasil hutan non-kayu, dan jasa ekosistem lainnya.
Alih-alih mengadaptasi konsep modernisasi, Indonesia seharusnya mengaplikasi pembangunan berkelanjutan dengan model Ekonomi Donat (Doughnut Economics) yang diperkenalkan oleh Kate Rawoth, seorang ekonom dari Inggris.
Ekonomi Donat adalah model yang menggambarkan batas-batas aman dan adil bagi manusia untuk hidup. Disebut begitu karena visualnya menyerupai bentuk donat:
- Bagian dalam (lubang donat) adalah fondasi sosial, yaitu kebutuhan dasar seperti pangan, air bersih, pendidikan, kesehatan, dan keadilan gender yang harus terpenuhi agar manusia hidup bermartabat.
- Bagian luar (kulit donat) adalah batas ekologis planet, seperti emisi karbon, kerusakan keanekaragaman hayati, dan pencemaran laut, yang tidak boleh dilampaui agar bumi tetap layak huni.
- Ruang di antara keduanya adalah zona aman dan adil, tempat ideal bagi umat manusia untuk berkembang.
Model pembangunan ini lebih cocok bagi negara seperti Indonesia yang memiliki kekayaan alam. Sebab, model ini mengingatkan bahwa bumi memiliki daya dukung terbatas, dan kesejahteraan tidak akan tercapai jika batas ekologis dilampaui dan kebutuhan masyarakat diabaikan. Dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara disebutkan bahwa, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan sekelompok elit.
Memang membangun ekonomi alternatif tidak segempita ekonomi ekstraktif. Pertumbuhannya juga tak secepat laju saat kita mengekstrak sumber daya mineral dari perut Bumi Pertiwi. Tapi, membangun dengan natural capital yang sudah Indonesia miliki tanpa merusak alam dapat menghidupi anak-cucu dan masyarakat akar rumput.
Mengandalkan nikel sebagai “tiket emas” pembangunan sambil menutup mata terhadap kerusakan alam adalah bentuk kegagalan paripurna dalam memahami pembangunan. Ketika hutan ditebang, keanekaragaman hayati punah, dan lanskap rusak, bangsa itu kehilangan lebih dari sekadar potensi wisata—ia kehilangan masa depannya.
Saatnya kita bertanya: pembangunan untuk siapa, dan atas dasar apa? Jika pembangunan tidak berpihak pada keberlanjutan, maka yang kita bangun bukanlah kemajuan, melainkan krisis yang ditunda.
Komentar
Posting Komentar