Postingan

Segregasi Status Sosial Berawal dari Sekolah

Gambar
sumber: canva Dua hari berturut-turut Harian Kompas menerbitkan laporan investigatif tentang carut marutnya proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sekolah negeri/publik. Mulai dari maraknya calo, murid titipan, hingga pemalsuan dokumen yang dilakukan orang tua. Umumnya, pengakalan proses ini terjadi di sekolah favorit di kota besar. Jika di era saya dulu syarat masuk ke sekolah negeri favorit dan bergengsi adalah nilai, kini sistem zonasi. Sistem zonasi mengharuskan peserta didik tinggal dalam radius 10 KM dari sekolah. Bukti ini ditandai dengan data Kartu Keluarga. Sehingga sebagian orang tua melakukan segala cara untuk mengakali sistem ini, bahkan ada yang menitipkan anaknya pada keluarga lain, atau merogoh kantong hingga Rp20 juta untuk mendapatkan kursi di sekolah negeri. Sistem zonasi dibuat agar tidak ada lagi sekolah favorit/bergengsi dan meratakan status sosial-ekonomi, selain itu peserta didik yang tinggal di zona sekolah mendapatkan akses sekolah dengan lebih adil. Namu

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Gambar
Kenapa perempuan bekerja? Begitu pertanyaan seorang kawan kepada saya. Saya bilang jawabannya kompleks. Tergantung kondisinya.  Ada perempuan bekerja karena harus bekerja. Ada sebagian lain yang bekerja karena ingin bekerja. Keharusan dan keinginan tentu dua hal yang berbeda.  Ada yang tak ingin bekerja, tapi dia harus bekerja. Ada juga yang tak harus bekerja, tapi dia ingin bekerja.  “Lalu, kenapa kamu bekerja?” desaknya.  Saya jawab, saya berada di kondisi harus dan ingin. Kenapa? Saya harus bekerja, karena saya butuh tempat piknik dari peran dasar perempuan. Saya ingin karena ada kebutuhan tempat piknik. Saya sering sakit kalau tidak beraktivitas dan hanya memikirkan satu hal yang sama secara konstan setiap hari.  Bagi sebagian perempuan ruang domestik tak cukup bagi mereka. Bahasa era milenium menyebut aktivitas itu sebagai aktualisasi diri.  Sebagian perempuan yang punya keharusan lainnya memiliki kasus berbeda. Terutama mereka para pejuang mandiri. Perempuan yang belum atau tidak

Menghadapi Pudarnya Pertemanan

Gambar
Saya takjub betul meski baru menonton beberapa episode Hospital Playlist season satu. Betapa persahabatan di antara para dokter itu begitu sakral dan awet. Bahkan Indomie yang pakai pengawet pun punya tanggal kadaluarsa.  Saya jadi memperhatikan tren pertemanan saya beberapa tahun terakhir. Tidak ada perkelahian, tidak ada drama-drama, tidak ada pertemuan atau reuni rutin, tidak bertukar kabar kecuali ada sanak keluarga meninggal atau sakit parah. Banyak hal dalam pertemanan mulai memudar.  Saya pikir apa yang membuat para sahabat dokter di Hospital Playlist itu masih terus akrab karena mereka masih punya satu common interest : menyelamatkan nyawa manusia lewat operasi-operasi, yang keliatannya tak perlu tagihan. Sungguh mulia.  Kedua, mereka juga mulai menghangatkan kembali pertemanan yang hampir pudar dengan bekerja dalam satu tim dalam rumah sakit yang sama. Ketiga, mereka memaksakan diri untuk meluangkan waktu bermain band bersama. Itu juga awalnya terpaksa. Macam keluarga urban me

Membaca Masa Depan

Gambar
Saya kerap ngeri membayangkan masa depan. Entah kenapa. Konon, kengerian hadir lantaran ketidaktahuan seseorang. Ya, mungkin karena saya tidak tahu masa depan akan seperti apa. Penuh rahasia.  Kita pun tahu, hidup kita semua sekejap berubah drastis dengan kehadiran virus dan musim pagebluk tiada akhir ini mengubah cara kita bekerja, belajar, dan bersosialisasi. Entah kapan berakhir. Siapa yang tahu? Tak ada.  Meski kerap ngeri, saya selalu senang membaca buku yang berbau masa depan. Seperti buku Alvin Toffler yang terbit puluhan tahun lalu: Future Shock (Kejutan Masa Depan versi Indonesia). Tapi semakin saya baca dan tahu, justru saya semakin ngeri.  Era Gelombang Ketiga Toffler tak tahu banyak tentang Internet, tapi prediksinya tentang masa depan sangat luar biasa dengan membentuk mode keberadaan baru yang dia sebut "The Ad-hocracy”. Mode keberadaan ini mengubah dunia menjadi "dunia bebas" serta organisasi kinetik.  Dia juga memprediksi, hubungan kita dengan benda tidak

Ibu yang Tabah

𝗜𝗯𝘂 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗮𝗯𝗮𝗵 - 𝑱𝒐𝒌𝒐 𝑷𝒊𝒏𝒖𝒓𝒃𝒐 (2002)   Ibu itu mengasuh anak-anaknya sendirian sejak suaminya dipinjam negara untuk dijadikan kelinci dalam percobaan sistem keamanan.  Sampai sekarang belum dikembalikan, padahal suaminya itu sebenarnya cuma pemberani yang lugu dan kadang-kadang nekat.  Toh ibu itu tak pernah berhenti menunggu, meskipun menunggu adalah luka. Dan ia memang perkasa. Menghadapi anak-anaknya yang nakal dan sering menyusahkan, ia tak pernah kehilangan kesabaran. Setiap subuh ibu itu memetik embun di daun-daun, menampungnya dalam gelas,  dan menghidangkannya kepada anak-anaknya sebelum mereka berangkat sekolah.  Malam hari diam-diam ia memeras airmata, menyimpannya dalam botol, dan meminumkannya kepada anak-anaknya bila mereka sakit. Ia mendidik anak-anaknya untuk tidak cengeng. Ia paling tidak suka melihat orang mudah menangis. 𝐵𝑖𝑙𝑎 𝑎𝑛𝑎𝑘-𝑎𝑛𝑎𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎, “𝑀𝑒𝑛𝑔𝑎𝑝𝑎 𝐼𝑏𝑢 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑛𝑎𝑛𝑔𝑖𝑠?”, 𝑗𝑎𝑤𝑎

Normal Baru

Seorang sahabat datang mengeluh. Tentang cita-citanya yang tak kunjung utuh. Lalu kutanya: "memang apa cita-citamu?" Dia jawab, menikah.  Kutanya lagi. "Lantas, setelah menikah, apa cita-citamu?" Sederhana saja: ingin punya anak. Supaya dapat melanjutkan keturunan? "Bisa jadi," ujarnya.   Atau sekadar punya foto keluarga lebih utuh: ada ayah, ibu, dan anak. Setidaknya menurut versi orang kebanyakan.  Dia bilang, orang-orang di kampungnya menikah di awal usia 20-an. Dia kini berusia kepala 3. Sejawat ibunya kerap bertanya, kapan dia bercucu.  Aku kembali menegaskan, "apakah itu berarti cita-citamu adalah terlihat normal?"  Seperti orang kebanyakan. Tumbuh besar, menikah, punya anak, menghadiri wisuda, mengadakan pesta pernikahan dan mengundang tetangga hingga kolega. Syukur-syukur hidup sampai tua melihat cucu.  Dia jawab lagi, "bisa jadi." Melihat saja. Bukan merawat. Semoga si anak kelak bukan menjadi orang tua kelas pekerja kebanyakan

Menghardik Kesedihan

Gambar
​​ Hal yang paling menakutkanku adalah Bapak Ibu mati. Kupikir tak mungkin melanjutkan hidup tanpa mereka. Maksudku, sejak aku lahir mereka sudah lebih dulu ada. Tak terbayang, bagaimana jika mereka tidak ada.  Aku punya bayangan, Ibu mati karena penyakit gulanya. Sedangkan Bapak, yang tak punya penyakit bawaan, sesekali sakit perut karena punya masalah usus. Jujur, aku tak punya bayangan sedikit pun soal bagaimana Bapak akan mati.  Tapi, akhirnya hari itu datang juga. Pagi itu ibuku berangkat mengaji dengan suka cita. Setelah beberapa bulan vakum karena rumah kami direnovasi dan harus mengungsi, dia mengaji lagi. Seperti biasa, dia masih mondar mandir naik motor sendiri.  Biasanya jam 8 pagi pengajian selesai. Ibu sampai rumah kerap membawa aneka jajanan untuk kami sarapan. Tapi, pagi itu hanya ada telepon masuk dari nomer tak dikenal. Suara di ujung telepon bilang, ibuku dilarikan ke rumah sakit karena kecelakaan.  Aneh rasanya, melihat Ibu yang jarang sakit berbaring dengan selimut