Arti Menyerah

Menyerah itu gagal,
Gagal itu pecundang.

Yak! Menyerah dan Pecundang. Dua kata yang saling berkaitan, dan saling berdampingan jika terlontar dari mulut.
Pernahkah kalian merasa desprate sama keadaan? (pasti pernah donks, ayooo ngaku aja deh) kaya kena makhluk dementor (yang ga tau, baca novel Harry Potter) yang ngisep kebahagiaan seketika, dan membuat kita mendadak ngerasa ga bahagia sama sekali dalam satu waktu.
Kalau Harry Potter punya mantra Patronus, mungkin kita ga punya mantra apa-apa untuk melawan mereka (para makhluk-makhluk bejat itu)

yang bisa kita lakukan hanya menangis (lho??) eheem ga juga ya..
oke. mungkin kita harus sedikit flashback pada niat awal perjuangan.
dan sejauh apa kita melangkah.
Seperti sekarang ini, aku merasa desprate. Seperti mau menyerah, seperti sudah kalah. Terhimpit dan semakin menyempit.
ada apa ini sebenarnya? (hanya Tukul yang tau :P)

Bila kita berjalan menanjak menimbulkan keletihan, bukankah seharusnya kita semakin bersemangat karena kita akan mencapai puncak dan akan melihat keindahan yang lebih ketimbang berada di bawah?
Kenapa justru sebaliknya yang terjadi (apa mungkin kelebihan muatan? haha -__-' gak nyambung ding)
Yang terjadi malah ada rasa ingin untuk kembali turun, bahkan terjun (asal ada yang nangkep di bawah *ngareeep*)

Awal dari semua ini adalah ketika tiba-tiba aku sadar, bahwa aku ternyata semakin complicated.
Dengan organisasi baru, dengan jadwal kuliah, jadwal siaran radio dan merangkap jadi reporternya, dengan teman-teman yang selalu ingin aku kunjungi, dengan waktu yang seolah meledek dan semakin kukejar dia semakin berlari (kok kaya judul lagu apa gitu yah? -__-'), dengan prestasi yang ingin kumaksimalkan dan dengan keinginan untuk mandiri dari segi finansial (sungguh siaaalll haha). Ini yang dulu pernah kubicarakan dengan seorang sahabat bernama Karisma ketika kita masih rutin bertahajud bareng. Bahwa menjadi dewasa itu sulit dan ga enak. hmmm... kami memang fans beratnya Peterpan. Kami mau selalu menjadi anak-anak. Orang dewasa itu aneh. dan waktu pun kembali meledek ketika dia menunjukkan siapa dirinya sekarang. waktu menamparku. *plaakk* menyadarkan. *merem melek* dan menghempaskanku. *gubraakkss* (aku: aduuuhhh!! sakkiitt)

Mungkin, kalau aku telisik isik isik sik sik.. makin asik (eh, keterusan)
mantra patronusku adalah:
1. Nyanyi dengan suara lantang kayak orang stress gitu (haha..) lagu yang diputer: Secondhand Serenade, Switchfoot, Simple Plan, Linkin Park, Padi, Avenged Sevenfold, SO7, Kerispatih, dsb (sesuai tema dan judul) haha *maksa buat sok punya soundtrack deh*
2. Baca buku yang menginspirasi kaya: Fihi Ma Fihi-nya Jalaluddin Rumi, Aku Mau-nya Kartini, trus diary gw sendiri (heu.. narsiisnya teteup yah)
3. Telepon temen-temen sejiwa gila, supaya energi negatif yang bersarang di dalam tubuh ternetralisir kembali
4. Nonton film
5. Jalan-jalan ga jelas sampe bego (kalau belum bego ga pulang :P)
6. Nulis-nulis ga jelas (kaya postingan ini, ga jelas banget kan yah?)
7. (kalau udah akut) mandi shower ampe kulit kriput... sumpah 'it works' *dengan aksen kayak iklan L-Men di tipi*

[hati-hati, ritual di atas bukan untuk ditiru]

Kembali kepada kata 'Pecundang', menurutku itu bukan tentang menyerah, tapi bagaimana cara pandang kita pada sebuah hambatan (eh, sama aja yah?)
Maksudku gini.
Kita kan manusia, yang ga sempurna (meski kadang suka aneh=selalu mencari kesempurnaan) pasti dalam hidup ada krikil yang menghambat perjalanan, pasti ada motivasi yang kurang kuat dan butuh penguatan, pasti pernah ada salah niat, pasti pernah ada kebimbangan, pasti pernah tersesat dalam labirin kehidupan, intinya pasti kita pernah melakukan kesalahan.
yang kita perlukan hanyalah bagaimana kita berdamai dengan kesalahan dan kekurangan kita tapi bukan berarti untuk mendiskon diri sendiri atas kekurangan yang ada, tapi justru berdamai karena ingin melawan keterbatasan yang ada (nah lho, bingung kan? sama aku juga bingung nih ga tau nulis apaan hehe)

Dan 'Menyerah' bukan sekadar angkat tangan dan lari dari kenyataan yang ada.
tapi menyerah kadang bisa lebih kompleks dari itu. Menyerah kadang adalah klimaks dari pergulatan pikiran yang perang melawan realitas. Ketika alam ide sulit untuk dipersatukan dengan alam real (maksudnya punya ide dan angan-angan tapi susaaaahh banget mewujudkannya hehe bahasanya bikin rempoong yah maklum lagi error), kemudian menyerah menjadi ketepatan tindakan (ajaran siapa pula ini??!! haha bapakku masti marah nih kalau tau, apalagi emakku *jiiaahh*).

Intinya, seharusnya aku mengerti bahwa tidak semestinya aku menyerah, tidak semestinya aku menghilang, tidak semestinya aku pergi karena jenuh.
Mungkin aku hanya butuh waktu untuk sendiri. Karena aku belum cukup untuk mengenal diri sendiri. Padahal mengenal diri sendiri adalah inti pengalaman manusia. Aku butuh sendiri untuk menghilangkan penat ini, aku terbiasa begitu sejak dulu, dan sahabatku mengerti itu.

Well then..
tell me your mantra?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi