Memilih di Antara Dua

Ternyata memilih di antara dua pilihan tidak membuat rakyat Indonesia menjadi lebih mudah dalam menentukan pilihan calon presiden mereka. Yang terjadi justru, kita menjadi terbelah dua antara pendukung kandidat nomor urut 1 dan pendukung kandidat urut 2. Perang opini sampai kampanye ramai berseliweran di akun-akun media sosial. Media sosial yang seharusnya jadi media oase sekarang penuh dengan polusi. Dengan tulisan ini, saya ingin ikut serta meramaikan jagad media sosial. Agar tidak jadi penerima informasi saja, tapi juga jadi sumber informasi (tsaaah....).

Tulisan ini bisa jadi polusi bagi mereka yang sudah menentukan pilihan, atau siapa tahu malah jadi solusi bagi kamu-kamu yang masih galau menentukan pilihan.

Ada satu hal yang mungkin luput dari kita kebanyakan orang Indonesia. Kita lebih mengagungkan tataran wacana daripada tataran teknis dan praktis. Di negara ini, orang yang mengerti teknis dan detail entah kenapa kerap dianggap sebagai warga kelas dua atau bahkan tiga. Teknis kerap dianggap sebagai hal-hal yang sepele dan tidak penting. Yang penting adalah tataran ide dan wacana. Mereka yang punya ide dan wacana dianggap lebih mampu menyelesaikan masalah. Teknisnya? Serahkan saja pada bawahan, kan gampang tinggal diarahkan saja.

Maka, dalam debat capres yang telah berlangsung selama 3 ronde (heu, tinju kali ah ronde), calon presiden yang mengerti tataran teknis dianggap lebih cocok sebagai menteri atau bawahan presiden saja. Bukan jadi presidennya.

Padahal, wacana tanpa implementasi tentu juga menjadi penyakit. Seperti yang selama ini terjadi di sebuah gedung yang disebut ‘rumah rakyat’ alias gedung DPR. Beberapa RUU mangrak. Entah kenapa kesannya sulit sekali menyelesaikan rancangan undang-undang menjadi sebuah undang-undang yang utuh dan dapat menjerat secara hukum.

Kita harusnya takut, ketika kita dipimpin oleh orang yang tidak mengerti tataran teknis. Karena di bawah rawan akan penyelewengan, terlebih para birokrat di negeri ini telah dibentuk selama zaman orba dengan paham ABS, Asal Bapak Senang.

Contoh kenapa teknis itu sebenarnya berada di atas wacana adalah kisah kegagalan bisnis tetangga saya. Tetangga saya membuka sebuah bengkel, sebagai investor dia sama sekali tidak paham dengan mesin motor maupun mobil. Dia hanya punya banyak uang dan mengerti bagaimana harus berjualan onderdil. Untuk urusan servis, dia bergantung pada para montir. Setelah berjalan satu atau dua tahun, sang montir ternyata diam-diam menerima jasa servis pribadi di rumah kontrakannya. Pelanggannya pun beralih, karena ongkos jasanya lebih murah. Akhirnya lama-lama bisnis bengkel tetangga saya kolaps setelah si montir resign karena ia lebih untung buka jasa servisnya sendiri di rumahnya daripada jadi pegawai di bengkel tetangga saya.

Contoh kedua kenapa tataran teknis itu perlu dan seharusnya lebih penting daripada tataran wacana adalah keruntuhan kerajaan Turki Utsmani. Para raja-raja Turki saat itu juga tidak begitu paham tataran teknis, mereka merasa mereka adalah raja, urusan teknis adalah urusan para menteri dan pesuruh. Padahal kala itu, sistem birokrasi kerajaan Turki sangatlah bergantung kepada sultannya. Jadi ketika Turki Utsmani dipimpin oleh sultan yang tidak cakap dan mengerti bagaimana mengelola kerajaan, ia pun dengan mudahnya jatuh. Lengkap kisah runtuhnya kerajaan Turki bisa dibaca di buku sejarah peradaban Islam.

Masih mau contoh lagi? Contohnya SKRIPSI atau TESIS. Sebagus apa pun konsep dan teori yang kamu pakai untuk tugas akhirmu itu, kalau kamu tidak mengerti bagaimana teknis penulisannya, konsep itu hanya akan menguap menjadi udara, sukur-sukur jadi udara, kalau jadi polusi bagaimana? Hehe..
Jadi, jangan sepelekan tataran teknis. Karena masuk jurusan teknik apalagi kampusnya di ITB itu sulitnya bukan main. (aposeh...)

Terbayang, jika kita masih dipimpin oleh mereka yang hanya mampu berwacana tanpa bertindak. Kita sama saja masih berjalan di tempat. Sementara negara tetangga sudah berlari bahkan melesat jauh di depan. Apa yang kita butuhkan adalah pemimpin yang mengerti bagaimana mengurai benang kusut. Bukan memelototi benang kusut itu, sambil bingung harus mulai dari mana**. Butuh pemimpin yang turba, turun ke bawah untuk melihat masalah yang ada, bukan berada di menara gading dan hanya mampu memberikan instruksi tanpa mampu mengevaluasi.

Jangan lihat casingnya, jangan juga lihat citranya atau pemberitaan media massa terhadapnya (baik media massa yang menghujat dan menjilatnya). Lihat apa yang Indonesia butuhkan. Karena di antara dua kandidat itu tentu punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan mana yang paling dibutuhkan Indonesia, kandidat yang punya itu lah yang pantas kita pilih. 


---
  **Terinspirasi dari obrolan dengan Prof. Ari Kuncoro, S.E, M.A, Ph.D
      Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Pengalaman Batin di Pulau Dewata

Curhat Kawan: "Kenapa Perempuan Bekerja?"

Perkembangan Teknologi Komunikasi